Berbagai upaya dilakukan untuk mengurangi volume sampah di Indonesia. Tapi semua upaya itu belum membuahkan hasil. Sampah dari tahun ke tahun bukannya berkurang, malah bertambah. TPA-TPA juga makin menggunung sampahnya.
Bukan hanya pemerintah yang upayanya belum membuahkan hasil signifikan. Swasta yang ikut mengupayakan pengurangan sampah dengan metode daur ulang juga belum optimal.Â
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2022, persentase sampah yang didaur ulang di Indonesia hanya mencapai 7%. Sisanya masuk TPA atau tersebar di tempat-tempat pembuangan ilegal.
Yang dilakukan swasta untuk turut serta dalam pengurangan sampah adalah munculnya berbagai aplikasi pengumpul sampah daur ulang. Aplikasi pengumpul sampah di Indonesia mulai muncul sekitar lima atau enam tahun lalu.Â
Suatu ketika di antara tahun-tahun itu ada program 1.000 startup. Yaitu kompetisi membuat startup untuk berbagai ide bisnis dengan bantuan aplikasi. Pengolahan sampah termasuk dalam kategori dalam program itu untuk dibuat aplikasinya. Dari program itu juga banyak lahir aplikasi pengumpul sampah daur ulang.
Hingga saat ini pun aplikasi pengumpul sampah daur ulang masih bermunculan yang baru. Sementara aplikasi-aplikasi lama sudah berguguran dan hilang satu per satu, aplikasi baru muncul dengan fitur-fitur baru yang lebih canggih dan keren. Ditambah dengan berbagai tawaran keuntungan jika orang menggunakan aplikasi itu.
Aplikasi pengumpul sampah daur ulang hendak memasuki segmen middle up. Kita bisa ingat-ingat lagi bahwa dua atau tiga tahun lalu sedang gencar-gencarnya gerakan kurangi plastik, anti sedotan plastik, gerakan minim sampah, dan lain sebagainya.
Gerakan-gerakan itu memang gencar dikampanyekan saat itu oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) peduli lingkungan.
Nah, otak bisnis kan bisa muncul dalam kondisi apapun. Termasuk dalam kondisi darurat sampah pertama Indonesia tahun 2016 silam. Maka muncullah ide untuk membuat aplikasi untuk mengumpulkan sampah yang bisa dijadikan bahan baku daur ulang. Terutama plastik.
Yang pertama-tama muncul adalah Gojek pada 2018. Aplikasi ojek online (ojol) ini membuat program GoGreener. Aplikasi ini memungkinkan penggunanya untuk memesan ojol untuk mengangkut sampah daur ulangnya untuk dijadikan bahan bakar alternatif.
Sejak diluncurkan, program dalam aplikasi itu tidak familiar. Akhirnya, 2021 Gojek menutup program itu. Bersamaan dengan Gojek itu banyak aplikasi pengumpul sampah daur ulang bermunculan. Semuanya menawarkan penjemputan sampah daur ulang dan menawarkan sejumlah keuntungan.
Gojek sebagai raksasa aplikasi sudah cukup menjadi tolok ukur. Jika raksasa aplikasi saja gagal dalam program pengurangan sampah, bagaimana aplikasi lain yang baru dan kecil-kecil itu bisa bertahan?Â
Semua pada akhirnya akan mengikuti jejak Gojek menutup program pengumpulan sampah daur ulangnya. Hanya tinggal menunggu waktu saja.
Aplikasi Sampah: Bikin Mudah, Menjalankan Susah
Keberadaan aplikasi-aplikasi pengumpul sampah di Indonesia tampak hanya metafora saja. Seakan-akan bisa mengatasi masalah sampah. Padahal, jangankan mengatasi masalah sampah, mengurangi sampah saja masih belum kecuali sangat sedikit dari 70 juta ton sampah per tahun.
Namun, aplikasi-aplikasi itu memang tampak meyakinkan karena memang diisi dan dikelola oleh orang-orang kreatif. Mereka terdiri dari kreatif desain digital, kreatif promosi, kreatif marketing, dan banyak tenaga kreatif lain di dalamnya. Jadi tak heran jika tampilan dan promosinya sangat menarik.Â
Secara riil aplikasi-aplikasi itu memang tampil canggih dan keren. Bagi segmen tertentu, tampilan canggih dan keren itu sangat memikat. Dan supaya makin memikat, ditambah lagi tawaran keuntungan-keuntungan bagi para penggunanya.
Masalahnya, mengurangi sampah dan mengumpulkan sampah daur ulang itu tidak cukup dengan kecanggihan dan tampilan keren aplikasi. Tidak cukup juga dengan iming-iming keuntungan yang akan diberikan pada pengguna aplikasi.
Andai mengatasi masalah sampah bisa selesai dengan kecanggihan teknologi, pasti tidak akan ada mesin dan alat canggih pengolah sampah mangkrak. Dan jika masalah sampah bisa diatasi dengan tawaran untung ekonomis, pasti para pengepul atau perongsok yang ada sejak zaman dulu itu sudah bisa bereskan masalah sampah Indonesia.
Aplikasi-aplikasi pengumpul sampah daur ulang itu pada dasarnya hanyalah satu dari aspek-aspek pengelolaan sampah. Aplikasi persampahan adalah bagian dari aspek teknologi dan aspek bisnis pengelolaan sampah. Dia tidak bisa berjalan sendiri, karena aspek lainnya juga berjalan simultan.Â
Implementasi aspek teknologi dan aspek bisnis melalui aplikasi persampahan itu harus didukung dengan pelaksanaan aspek regulasi, aspek kelembagaan, aspek pembiayaan, dan aspek partisipasi masyarakat. Pelaksanaan semua aspek pengelolaan sampah akan melahirkan sebuah ekosistem pengelolaan sampah.
Nah, ekosistem itu hanya bisa dibentuk di tingkat kawasan. Aplikasi baru bisa landing atau dipakai di kawasan itu jika sedikitnya 60% warganya sudah terkonfirmasi valid masuk dalam ekosistem pengelolaan sampah. Di sinilah penentuan hidup matinya aplikasi pengelola sampah.
Ini seperti cara berpikir Gojek ketika memasukkan aplikasi ojol ke ekosistem transportasi perkotaan. Aplikasi Gojek tidak akan masuk ke suatu kawasan yang tingkat mobilisasinya warganya rendah. Sebab aplikasi ojol di kawasan seperti itu tidak akan berguna dan dipakai. Siapa yang mau pakai aplikasi ojol, kan tidak ke mana-mana juga.
Demikian juga dengan sampah. Kalau di suatu kawasan masih ada jasa pembuangan sampah, jangan harap aplikasi pengumpul sampah daur ulang bisa tahan lama. Paling-paling hanya bisa bertahan sampai duit investor untuk aplikasi itu habis. Atau duit sponsor yang mendukung aplikasi itu sudah habis.
Jika duit investor atau sponsor aplikasi-aplikasi itu sudah habis, maka habis juga aplikasinya. Tapi ada juga penggiat aplikasi yang terus bertahan dengan cara terus mencari duit investasi dan sponsor.Â
Akhirnya orientasi mereka berubah. Mereka yang awalnya ingin ikut serta menyelamatkan lingkungan dengan pengurangan sampah (daur ulang), berubah menjadi pemburu investasi dan sponsorship.
Yang mengerikan, jika sejak awal sesungguhnya orientasi mereka memang ingin menjadi pemburu investasi dan sponsorship. Apalagi mereka tahu bahwa banyak polluters ingin tampil sebagai perusahaan yang bertanggung jawab pada lingkungan. Maka mereka sengaja menyediakan ruang pada para polluters itu untuk greenwashing.Â
Jadi jangan heran kalau ratusan atau bahkan ribuan aplikasi sekalipun, positif kontribusinya sangat kecil pada masalah sampah. (nra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H