Sampah organik yang sudah dikomposting dengan komposter bisa jadi pupuk organik padat dan cair, bisa langsung dimanfaatkan sendiri atau dijual. Masyarakat bisa menahan sampah organik hingga 30 hari lamanya dengan proses komposting di komposter.
Sampah anorganik tanpa bercampur dengan organik menjadi lebih bersih, lebih mudah dipilah, lebih cepat laku, dan lebih mahal. Pabrik daur ulang akan senang membeli bahan baku daur ulang yang bebas kontaminasi sampah organik, karena tidak banyak biaya untuk proses pembersihan. Pengelola sampah bahagia karena lebih cepat bisa menghasilkan uang dari pengelolaan sampah.
Metode sederhana itu akan menghidupi banyak orang dan meningkatkan kualitas-kuantitas daur ulang yang selama ini selalu dikeluhkan perusahaan-perusahaan daur ulang.Â
Buruknya kualitas dan kualitas barang daur ulang selama ini menyebabkan banyak perusahaan daur ulang melakukan impor sampah dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan produksinya.
Intinya semua aspek pengelolaan sampah harus simultan dijalankan. Yaitu aspek regulasi, pembiayaan, kelembagaan, teknologi, partisipasi masyarakat, dan bisnis. Teknologi yang dimaksud cukup komposter agar desentralisasi pengelolaan sampah masuk sampai ke rumah-rumah tangga atau sumber timbulan sampah.Â
Itu diperlukan agar pengelolaan tidak sentralistik di TPS/TPS3R/PDUS/TPST/TPA. Sebab betapapun hebatnya teknologi di instalasi TPS/TPS3R/PDUS/TPST/TPA, semuanya tidak akan mampu memilah sampah yang sudah tercampur dari sumbernya.
Hanya dengan komposterisasi seluruh rumah di Indonesia itulah prinsip pengelolaan sampah yang menyeluruh, sistematis, dan berkelanjutan bisa dijalankan. Penegasan singkatnya: tanpa komposter di rumah-rumah tangga dan sumber timbulan sampah lainnya, mustahil bisa membereskan masalah sampah Indonesia.Â
Itu pun jika komposternya benar sesuai kontruksi dan kaidah komposting. (nra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H