Sebut saja Ridwan Kamil seorang yang banyak diketahui memiliki perhatian yang begitu besar pada lingkungan. Tapi, ketika membangun dan menyelesaikan Masjid Al Jabbar yang fenomenal itu, tampaknya lupa membangun sistem pengelolaan sampahnya.
Akibatnya, saat masjid itu dibuka untuk umum, kunjungan warga yang membludak saat peresmiannya pada akhirnya meninggalkan sampah. Padahal, sudah jelas-jelas dalam Islam sudah didawamkan "kebersihan sebagian daripada iman".
Tak lama setelah kejadian peresmian di mana warga meninggalkan sampah itu, ramai-ramailah aktivis dan pegiat lingkungan melakukan kegiatan bersih-bersih. Kelak, jika ada kegiatan besar lagi di masjid itu, kejadian serupa sangat mungkin terulang kembali.
Masyarakat Disalahkan Lagi
Ketika terjadi timbulan sampah di areal masjid Al Jabbar, lagi-lagi masyarakat yang kena batunya. Masyarakat dianggap tidak punya kesadaran soal lingkungan masjid. Kok bisa-bisanya buang sampah sembarangan di masjid.
Begitulah biasanya pihak-pihak yang tak mau disalahkan karena masalah sampah. Padahal, problem itu sumbernya dari mereka sendiri.
Dalam hal persampahan, kesalahan yang paling mendasar adalah meninggalkan sistem pengelolaan sampah dalam perencanaan, pembangunan, pascapembangunan, dan ketika masjid mulai dimanfaatkan khalayak banyak.
Jika sistem pengelolaan sampah dibangun sejak awal, maka kejadian penumpukan sampah di areal masjid sama sekali tidak mungkin terjadi. Karena semua potensi timbulan sampah sudah diantisipasi dengan sangat baik.
Potensi Sampah di Masjid Kapasitas 30.000 Orang
Dibangun di atas lahan 25 hektare, Masjid Al Jabbar bisa menampung 30.000 jamaah. Antara lain 10.000 di areal indoor, dan 20.000 lainnya outdoor atau areal plaza.