Peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) mesti diisi juga dengan resolusi sampah di laut. Bagaimanapun, masalah sampah di laut juga bagian penting yang membangunkan Indonesia untuk sadar soal masalah sampah.Â
Seorang peneliti dari Georgia University, Amerika Serikat, Dr. Jenna Jambeck pernah "menyudutkan" Indonesia. Tahun 2015 dalam hasil penelitiannya, dia menyatakan Indonesia adalah pembuang sampah plastik terbesar kedua ke laut setelah Cina.
Meski tak sepenuhnya penelitian itu benar, Indonesia terkaget atas pernyataan dari penelitian itu. Data itu menimbulkan banyak program, banyak gerakan, dan menciptakan banyak kepedulian dari Pemerintah Indonesia dan pemerhati lingkungan. Mereka bersama-sama melakukan sesuatu karena kekhawatiran yang sama.
Yaitu kekhawatiran laut akan makin penuh dengan sampah. Satu kekhawatiran yang sangat masuk akal. Sebab, memang ditemukan banyak sampah di laut seluruh dunia dan Indonesia. Baik di permukaan, melayang di dalam air maupun di dasar laut.
Sampah laut bukan hanya sampah yang datang dari darat. Sebagian besar sampah di laut bisa jadi adalah sampah yang memang dibuang di laut dari atas kapal. Dan potensi sampah yang terakhir ini sangat jarang terdeteksi.Â
Jika diperhatikan, sedikitnya ada 3 proses sampah akhirnya sampai di laut. Sampah di laut bisa berasal dari sampah yang dibuang sembarangan di sungai, lalu mengalir ke laut.
Selanjutnya, sampah laut bisa berasal dari darat yang beterbangan atau terbawa banjir hingga mencapai laut. Terakhir, sampah yang memang langsung dibuang ke laut oleh orang-orang yang beraktivitas di laut atau dari kapal-kapal.
Pada tahun 2018, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melaporkan hasil penelitiannya di 18 kota utama Indonesia, ada 270.000--590.000 ton sampah masuk laut Indonesia selama tahun penelitian. Itu bisa jadi patokan potensi sampah masuk laut setiap tahunnya.Â
Tapi sampah dari darat bukan masalah sebenarnya dari sampah laut. Jika kita pahami lebih dalam, sampah laut adalah sampah yang berasal dari aktivitas di laut itu sendiri.Â
Sebab peraturan nasional dan internasional mengenai sampah laut masih sangat berpotensi mencemari lautan dengan sampah. Dan hingga kini, belum ada patokan potensi sampah dari aktivitas di laut itu sendiri.
Sumber Potensi Sampah Laut
Di bidang transportasi laut, ada aturan untuk mencegah timbulnya pencemaran karena buangan dari aktivitas di atas kapal. Secara umum buangan dari atas kapal dibagi menjadi dua kategori.
Pertama, kategori kotoran. Yaitu, semua jenis limbah yang berasal dari air limbah toilet, tempat pembuangan air, buangan air besar, air buangan dari ruang medis, tempat cuci tangan (westafel) atau bak cucian, air buangan dari kotoran hewan hidup, dan air limbah yang bercampur dengan kotoran tersebut.
Ketika kapal sedang berlayar, kotoran-kotoran ini ditampung dalam sebuah tangki penampungan di atas kapal. Bila kapal berlabuh, kotoran dalam tangki penampungan ini dibuang ke "receiption facility" atau fasilitas penampungan yang ada di pelabuhan.
Ada peluang membuang kotoran-kotoran itu ke laut. Sejumlah persyaratan membuang kotoran ke laut termaktub dalam Annex IV MARPOL 73/38. Pelanggaran sangat mungkin terjadi karena kecilnya tingkat pengawasan dan sistem pengelolaan yang belum terwujud.
Kedua, kategori sampah (garbage). Yaitu, semua jenis sisa makanan, limbah domestik dan operasional, semua jenis bahan-bahan buangan dari kapal yang tidak digunakan atau bahan-bahan buangan rumah tangga. Contoh jenis sampah di kapal yaitu kertas, plastik, metal, dan lainnya.
Berbeda dengan kotoran, penanganan sampah mempunyai sebuah aturan khusus. Yakni, Garbage Management Plan dan Garbage Record Book (buku catatan sampah) yang berfungsi sebagai rekaman/catatan dalam setiap pembuangan/pembakaran sampah.
Buku ini diisi dalam Bahasa Inggris oleh perwira yang bertugas dan tiap halamannya ditandatangani oleh nakhoda. Di atas kapal dibolehkan ada insenerator untuk membakar/memusnahkan sampah.Â
Proses pemusnahan sampah itu harus tercatat rapi tentang posisi kapal, waktu pelaksanaan, volume sampah, jenis sampah yang dibuang sisa dari pembakaran.Â
Semua kapal yang berukuran > 400 GT dan membawa 15 orang harus membawa Garbage Management Plan dan Garbage Record Book. Terkait persyaratan pembuangan sampah juga diatur sesuai Annex V MARPOL 73/78.
Syarat membuang sampah di laut antara lain, pada jarak 3 mil dari daratan terdekat boleh buang sampah sisa-sisa makanan apabila telah dihancurkan dan dapat melewati saringan 26 milimeter. Pada jarak 12 mil dari daratan terdekat, boleh dibuang sisa-sisa makanan pada jarak 500 meter dari platform, dengan syarat telah dihancurkan.
Masih berdasarkan Annex V MARPOL 73/78, pada jarak lebih dari 12 mil dari daratan terdekat, boleh dibuang kertas, kain gosok majun, metal, botol, dan sisa makanan. Pada jarak lebih dari 25 mil dari daratan terdekat, boleh dibuang bahan-bahan tali dan packing yang terapung.
Yang sama sekali tidak boleh dibuang kelaut adalah: semua jenis plastik. Seperti tali plastik, jaring plastik, kantong plastik, nylon, serta sisa pembakaran plastik dari incinerator. Namun, siapa yang tahu jika pelanggaran itu dilakukan pada jarak 25 mil dari daratan terdekat?
Tidak banyak yang bisa membahas masalah sampah laut secara menyeluruh hingga masuk pada regulasi internasional mengenai pembuangan sampah di laut. Sejauh ini baru Asrul Hoesein, Direktur Eksekutif, Green Indonesia Foundation (GiF) yang secara komperhensif telah membahasnya. Bahkan sudah menuangkannya dalam rancangan kerja "Solusi Sampah Laut".
Hingga saat ini yang banyak ditemui adalah mereka yang selalu menyalahkan masyarakat soal masih banyaknya sampah di laut. Padahal, yang utama bukan soal kesadaran masyarakat yang selalu dijadikan kambing hitam persoalan sampah. Kondisi yang sebenarnya adalah tidak adanya sistem pengelolaan yang tegas, menyeluruh, sistematis, dan berkelanjutan.
Sistem pengelolaan sampah yang benar tidak akan memberi peluang sampah ke laut. Baik sampah yang berasal dari daratan, maupun sampah yang dihasilkan dari kegiatan atau aktivitas di laut dalam kapal-kapal.Â
Selama ini penyelamatan laut dari sampah hanya berbentuk jargon tanpa membangun sistem pengelolaan sampah yang sesuai regulasi. Bahkan tak melihat potensi pelanggaran regulasi internasional mengenai pembuangan sampah di laut.
Untuk potensi sampah di laut, pengelolaan sampah perlu dilakukan di kawasan pesisir maupun kawasan yang jauh dari laut. Pengelolaan sampah di kawasan pelabuhan dan di atas kapal juga harus ada dan tegas agar tak ada sampah dibuang ke laut di jarak dekat maupun jauh.
Sekali lagi, mengatasi persoalan sampah tidak bisa dilakukan secara parsial. Semua terkoneksi dan saling mempengaruhi. Sebagai contoh, menata kelola sampah laut di Indonesia tidak bisa lepas dari tata kelola sampah laut di seluruh dunia.
Selama ini Indonesia dan rakyatnya dituduh sebagai pembuang sampah ke laut, sementara pembuang sampah sebenarnya melalui kapal-kapal besar bebas dari tuduhan itu. Padahal, bisa jadi merekalah penyampah laut yang utama. (nra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H