Mohon tunggu...
Nara Ahirullah
Nara Ahirullah Mohon Tunggu... Konsultan - @ Surabaya - Jawa Timur

Jurnalis | Pengelola Sampah | Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) | Tenaga Ahli Sekolah Sampah Nusantara (SSN) | Konsultan, Edukator dan Pendamping Program Pengelolaan Sampah Kawasan. Email: nurrahmadahirullah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Refleksi HPSN dan 3 Faktor Utama Masalah Sampah Indonesia

20 Februari 2022   12:21 Diperbarui: 21 Februari 2022   00:07 1137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembayaran retribusi sampah dianggap sebagai biaya jasa pembuangan sampah. (Dokumentasi pribadi)

Bertepatan dengan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2022, baik sekali jika kita merefleksi problem dan solusi sampah Indonesia. Sebagaimana Anda ketahui, problem sampah di Indonesia belum ada juga solusinya sampai detik ini. Berbagai program dan kegiatan belum secara signifikan mengurangi sampah.

Dari banyak faktor yang menyebabkan permasalahan sampah di Indonesia, setidaknya ada tiga faktor utama yang mengemuka. 

1. Retribusi Kebersihan/Sampah

Retribusi kebersihan/sampah merupakan biaya yang dibebankan pada masyarakat dalam rangka pelayanan pembuangan sampah. Hingga saat ini pada umumnya semua tingkat pemerintahan memberlakukan retribusi untuk memenuhi layanan pengangkutan sampah. 

Upaya mengubah mindset dari buang sampah menjadi mengelola sampah pada umumnya gagal. Karena masih ada pemberlakuan retribusi kebersihan/sampah. Masyarakat umumnya menganggap retribusi kebersihan/sampah sebagai biaya pembuangan sampah. Sehingga tidak diperlukan pengelolaan sampah di sumber. Sebab mereka sudah membayar sejumlah uang untuk membuang sampahnya.

Program monetisasi (menguangkan) sampah tidak berdampak pada perubahan perilaku masyarakat karena sistem retribusi masih memberikan pilihan. Yaitu, pilihan untuk tetap membuang sampah karena telah membayar sejumlah uang retribusi.

Melihat kondisi itu, menaikkan beban biaya retribusi kebersihan/sampah pada masyarakat untuk mendorong pengelolaan sampah justru akan berdampak sebaliknya. Di Indonesia willingness to pay (kemauan membayar) untuk tidak mengelola sampah relatif tinggi. Dan itu sebenarnya berbahaya bagi lingkungan. Sehingga patut menjadi perhatian pemerintah untuk dapat membangun solusi yang baik dalam pengelolaan sampah di luar retribusi kebersihan/sampah.

Jika dipahami lebih lanjut, sistem retribusi kebersihan/sampah inilah yang paling utama sebagai faktor pendukung sentralisasi pengelolaan sampah. Karena tanpa sentralisasi tidak mungkin bisa diberlakukan retribusi. Di mana retribusi kebersihan/sampah selanjutnya menjadi sumber dana dari sampah non-pengelolaan.

Sistem retribusi inilah yang banyak menginspirasi pengusaha untuk menciptakan bisnis pelayanan angkut sampah. Dan sudah menjadi kebiasaan di suatu kawasan untuk membayar sejumlah uang guna pelayanan membuang sampah. Pada bisnis pelayanan sampah, pengusaha akan membuang sampah ke TPA dengan membayar uang pada pengelola TPA yang notabene adalah pemerintah setempat.

Retribusi sampah pada umumnya juga menjadi "tambahan penghasilan" bagi oknum-oknum tertentu. Karena pemerintah umumnya telah menganggarkan biaya pelayanan sampah dalam APBD. Di mana tanpa dana retribusi pun sesungguhnya biaya pelayanan itu telah terpenuhi. Dana retribusi biasanya dijadikan target PAD (pendapatan asli daerah) yang sangat jarang tercapai.

Disebut tidak tercapai karena terjadi kebocoran, atau karena masyarakat tidak membayar retribusi. Dari keduanya, Anda tentu lebih tahu mana yang paling sering terjadi.

2. Tanggung Jawab Produsen

Masyarakat bukan produsen sampah. Masyarakat adalah penimbul sampah. Produsen sampah adalah produsen produk. Tidak akan ada sampah di muka bumi ini jika masyarakat tidak mengkonsumsi suatu produk yang sisanya menjadi sampah.

Tidak akan ada sampah di muka bumi ini jika produk dari produsen tidak menyisakan sampah. Sampah sisa produk produsen pada umumnya adalah kemasan/wadah. Ada pula sisa produk selain kemasan/wadah, namun kita bahas lain waktu saja. Sebab, saat ini darurat sampah kita yang mengemuka baru sampai di masalah kemasan/wadah.

Karena tidak ada sampah jika masyarakat tidak membeli produk dari produsen, maka tanggung jawab pada sisa produk berada pada produsen. Bagi produsen, menghitung potensi sampah dari sisa produknya adalah hal yang amat sangat mudah sekali dan banget. Begitu juga dengan bagaimana mengatur potensi sampah itu tidak merusak lingkungan.

Tapi mengapa produsen tidak melakukan pengaturan sampah? 

Ini sangat bergantung pada tanggung jawab dan sikap produsen pada lingkungan. Selanjutnya bergantung pada ketegasan pemerintah untuk menuntut tanggung jawab produsen pada lingkungan. Dan yang terakhir, bergantung pada bagaimana masyarakat sebagai konsumen memperlakukan produsen yang tidak bertanggung jawab pada lingkungan.

Selama ini banyak pihak selalu menyalahkan masyakarat karena tidak bertanggung jawab mengelola sampah. Di masa-masa lalu upaya membiaskan persoalan tanggung jawab sisa produk pada konsumen memang bisa dilakukan. Namun, berjalannya waktu pembiasan tanggung jawab itu tidak bisa dilanjutkan karena masyarakat semakin cerdas.

Bisa jadi suatu waktu telah tercipta kesadaran masyarakat mengelola sampah, namun produsen belum mau bertanggung jawab, maka tidak akan ada solusi juga untuk sampah. Sebaliknya, jika produsen sudah memiliki langkah dan pengaturan untuk bertanggung jawab pada sisa produknya, masyarakat bisa lebih mudah diatur dan mengikuti alur.

3. Strategi Solusi Pemerintah

Meski sudah ada peraturan mengenai kebijakan dan strategi nasional tentang pengelolaan sampah, pemerintah belum punya strategi untuk solusi menyeluruh, sistematis, dan berkelanjutan. Program-program yang dibangun dan diciptakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marvest) sejauh ini masih skala percobaan.

KLHK bersikeras dengan Bank Sampah-nya. Kementerian PUPR bersikeras dengan TPS 3R-nya. Kemenko Marvest yakin dengan PSEL-nya (Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik).

Bank sampah dan TPS 3R mereduksi sampah masuk TPA hanya 3% atau paling tingg 7%. Sementara PSEL menghabiskan banyak biaya. Menghasilkan sedikit listrik. Listriknya mahal. Dan kapasitas pemusnahan sampahnya tidak mampu mengejar volume harian sampah. Apalagi di musim hujan.

Enam bulan lalu, ketika dibahas tentang RDF di Kabupaten Cilacap yang juga jadi andalan KLHK, Kementerian PUPR, Kemenko Marvest, Pemkab Cilacap akhirnya terungkap bahwa pekerjaan itu rugi. Pengeluaran dan biaya operasional tinggi, tapi hasilnya minim sekali. Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi, Kemenko Marvest, Basilio Dias Araujo, mengerut dahinya mengetahui hal itu.

Hanya pihak PT Semen Holcim Indonesia, Tbk. yang terus memastikan bahwa RDF di Kabupaten Cilacap itu tetap menguntungkan secara kualitas. Meskipun secara kuantitas dan secara bisnis, rugi besar. Itu karena pihak Holcim bisa membeli RDF murah dari sistem RDF Cilacap itu. Sementara pihak Pemkab Cilacap meskipun tak bilang terus terang, terlihat keengganannya.

Sementara itu, Kementerian Koperasi dan UKM yang telah menemukan dan mengemukakan pola koperasi dalam pengelolaan sampah dengan model multi pihak, hingga kini belum memasifkan temuannya itu. Mungkin masih ewuh-pakewuh pada KLHK, Kementerian PUPR, atau pada Kemenko Marvest. Padahal, harus diakui pengelolaan sampah dengan sistem koperasi model multi pihak itulah yang bisa jadi solusi pengelolaan sampah di Indonesia dan bisa dijadikan strategi utama.

Hanya dengan sistem koperasi pengelolaan sampah model multi pihak itulah semua pihak bisa diikat untuk bergotong royong mengelola sampah di Indonesia. Masyarakat sebagai penimbul sampah, produsen produk, bank sampah, TPS 3R, pendaur ulang, industri daur ulang, bahkan orang pemerintahan pun bisa masuk di koperasi pengelola sampah sebagai anggota dan berkolaborasi di dalam koperasi untuk mengelola sampah.

Tapi itu pun juga belum maksimal didorong. Padahal itu yang paling berpotensi jadi strategi untuk solusi pengelolaan sampah yang menyeluruh, sistematis, dan berkelanjutan.

Sebenarnya ada lebih banyak lagi faktor penyebab persoalan sampah di Indonesia. Tapi dari banyak faktor itu jika diperas maka tiga faktor itulah yang utama. 

Namun, jika dari tiga itu perlu disederhanakan lagi. Masalah Indonesia dalam persampahan disebabkan oleh 1 hal paling utama. Anda pasti lebih tahu faktor utama yang paling utama itu. 

Faktor itulah yang akan menjawab kenapa teknologi, peralatan, perlengkapan, dan mesin apapun tidak bisa menyelesaikan persoalan sampah di Indonesia. Kecuali faktor itu harus didegradasi lebih dulu. Dan sistem yang paling memungkinkan untuk mendegradasi faktor itu adalah koperasi. Di mana semua orang saling mengawasi dan saling membina. (nra)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun