Produsen Plastik Bisa Bersatu "Kalahkan" Gubernur Bali
Sebenarnya Wayan Koster kurang tepat dalam menyikapi kondisi persampahan di Bali. Dia mestinya kembali ke regulasi UUPS untuk menyelesaikan persoalan itu dengan memperbaiki kinerja pemerintahannya, bukan justru menyalahkan masyarakatnya dan lebih-lebih lagi "memusuhi" produsen dan distributor plastik.
Jika produsen pabrik plastik bersatu dan pintar, Wayan Koster justru akan digugat dengan regulasi yang lebih tinggi dari Pergub yang diterbitkan dan diberlakukannya. Belum lagi kalau Wayan Koster digugat dengan peraturan tentang kebebasan berusaha. Wayan Koster juga bisa digugat rakyatnya sendiri karena akan mematikan banyak usaha yang dijalankan rakyatnya.
Wayan Koster mungkin belum pernah melihat betapa banyaknya orang bergantung pada industri hulu hingga hilir plastik dan belum lagi mereka yang bergantung pada industri daur ulang yang berbahan baku plastik. Pabrik plastik dalam proses produksinya, lalu proses distribusinya, proses pemasarannya, semuanya banyak melibatkan manusia yang makan, minum, dan membiayai kehidupan keluarganya dari semua rantai industri plastik itu.
Di bidang daur ulang, juga banyak yang menggantungkan hidupnya dari sampah plastik itu. Wayan Koster mungkin tidak menyadari hal itu karena saking jengkelnya daerah kekuasaannya dipenuhi sampah plastik. Â
Padahal, jika mau introspeksi diri, pemerintahan Wayan Koster sendirilah yang bisa dibilang tidak mampu melakukan pengelolaan sampah. Sementara solusi pengelolaan sampah sesungguhnya sudah diatur di dalam UUPS secara gamblang dan jelas.
Terkait plastik misalnya, Wayan Koster bisa menggunakan Pasal 15 UUPS untuk "memaksa" produsen plastik bertanggung jawab pada sisa produknya. Sebab, dalam pasal tersebut secara tersurat dan jelas produsen wajib wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam. Lalu ada juga Pasal 14 yang mewajibkan produsen agar melabeli kemasan atau produknya agar mudah didaur ulang.
Mundur lagi ke Pasal 13 UUPS. Disebutkan pasal itu: Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya wajib menyediakan fasilitas pemilahan sampah. Hal-hal yang disebutkan pasal ini tujuannya adalah untuk mempermudah pelaksanaan pasal 14 dan 15. Yaitu untuk "menangkap sampah" dan meningkatkan collecting rate daur ulang.
Satu lagi, Pasal 12 UUPS. Pasal ini berisi tentang kewajiban rumah tangga dan sejenis rumah tangga melakukan pengelolaan sampah dengan tata cara yang diatur oleh pemerintah daerah. Dalam hal ini, ketika masyarakat diwajibkan mengelola sampah, maka konsekuensi logisnya adalah pemerintah yang harus menyediakan infrastruktur pengelolaan sampah hingga masuk ke rumah-rumah di samping edukasi dan sosialisasi yang terus menerus dalam mengelola sampah. Ini untuk memastikan masyarakat mengelola sampah. Dan sampah yang dikelola itu bisa dikelola lagi secara daur ulang secara teknis, biologis, atau untuk energi.
Andai Wayan Koster sudah menjalankan Pasal 12 dan 13 pada rakyatnya, memberi ruang produsen untuk melaksanakan Pasal 14 dan 15 UUPS 'namun kondisi persampahan di Bali tetap tak ada perubahan, maka dia pantas jengkel. Dan kejengkelannya bisa dilampiaskan 'bukan hanya dengan menutup distributor plastik, tapi dia juga bisa mengancam menutup semua pabrik plastik di Indonesia jika mau. Termasuk mungkin juga bisa menutup pabrik bahan baku plastik yang diresmikan Presiden Joko Widodo di Banten akhir tahun 2019 lalu.