Saat ini banyak pihak sedang membahas perihal extended producer responsibility (EPR). yaitu, tentang bagaimana produsen atau industri bertanggung jawab terhadap sisa produknya agar tak jadi beban lingkungan. Terlebih EPR akan mulai diimplementasikan pada tahun 2022.
Salah satu pola implementasi EPR yang harus dimasyarakatkan adalah konsep pengembalian sisa produk. Sebenarnya konsep itu sudah ada pada tahun 1990-an. Ada beberapa produk yang bisa dibeli dengan cara menukarkan sisa produknya.Â
Produk itu antara lain minuman ringan di dalam botol kaca, caos dan juga kecap. Jika kita membawa botol kosong saat melakukan pembelian ulang maka akan mendapatkan diskon.
Jadi sebenarnya konsep take back bukan hal baru dan pernah dilaksanakan oleh sejumlah produsen. Di mana pusat pengembalian sisa produk berada di tempat konsumen membeli produk tersebut. Saat itu dikotomi antara produsen sampah dengan penimbul sampah sangatlah jelas.Â
Sekarang masyarakat seakan-akan adalah  produsen sekaligus penimbul sampah. Sehingga selalu dijadikan kambing hitam perusak lingkungan karena menyebabkan sampah. Â
Maka harus diperjelas bahwa masyarakat bukankah produsen sampah. Masyarakat adalah penimbul sampah. Definisi produsen sampah dengan penimbul sampah harus dibedakan dan dipisahkan. Sehingga dari keduanya dapat diketahui siapa dan bagaimana tanggung jawabnya terhadap sampah.
Produsen sampah adalah industri atau perusahaan yang memproduksi produk yang menimbulkan sisa produk. Sisa produk adalah kemasan ataupun produk itu sendiri.
Penimbul sampah adalah orang atau sekumpulan orang yang mengkonsumsi produk yang menghasilkan timbulan sisa produk. Sisa produk adalah kemasan atau produk itu sendiri.
Dengan memisahkan dua definisi tersebut maka kita akan tahu siapa dan bagaimana tanggung jawabnya terhadap sisa produk yang yang akrab kita sebut dengan sampah. Jika kita kembali ke tahun 1990-an maka saat ini kita akan segera memahami hal tersebut.
Konsep take back 1990-an yang masih dijalankan sampai sekarang adalah kemasan air minum galon. Semua produsen air mineral dalam kemasan galon mengambil kembali kemasan tersebut saat masyarakat hendak membeli produk itu kembali. Ini adalah konsep reuse yang dilakukan oleh produsen.
Konsep take back juga dilakukan oleh produsen gas elpij. Produsen menarik kembali sisa kemasan gas tersebut saat masyarakat melakukan pembelian ulang. Andai 2 hal itu tidak dilakukan maka saat ini lingkungan kita juga pasti akan penuh sampah galon atau tabung gas elpiji.
Pola take back seharusnya tidak hanya dilakukan oleh produsen air galon maupun gas bahan bakar. Semua produsen produk seharusnya menjalankan pola tersebut agar sisa produk mereka tidak menjadi beban lingkungan dalam bentuk sampah.
Namun yang terjadi saat ini, mayoritas produsen seolah-olah tidak peduli dan mengalienasi sisa produk itu dari pola produksi dan distribusi produk.Â
Menganggap sisa produk yang jadi sampah itu bukan lagi tanggung jawab mereka, meski sejak awal merekalah yang memproduksi sampah timbulan masyarakat di kemudian hari.
Adapun produsen yang peduli pada sisa produknya justru kurang tepat dalam implementasi kepeduliannya. Ada yang mencoba membangun sendiri jalur take back dan ada yang meredesain kemasan atau produknya agar kalau dibuang bisa terurai secara alami.
Pada sebuah acara diskusi EPR, nyata disampaikan oleh salah satu produsen produk berkemasan bahwa jalur take back yang dibangunnya tidak suistan.Â
Tentu hal itu pasti terjadi karena jalur take back yang dibangun akhirnya membebani operasional mereka sendiri. Jelas tidak ekonomis jika jalur take back dibangun sendiri-sendiri oleh produsen setiap produk.
Akhirnya produsen mencoba pakai cara kedua. Meredesain kemasan menggunakan bahan yang biodegradable. Supaya jika kemasan produk itu dibuang bisa terurai secara alami.
Tapi pilihan ini dianggap tidak relevan dengan konsep EPR yang di dalamnya ada semangat circular economy. Cara redesain itu dianggap banyak pihak sebagai upaya produsen melarikan diri dari tanggung jawabnya terhadap sisa produknya.Â
Sebab, dengan alasan sudah menggunakan bahan biodegradable, produsen akan kembali mengalienasi sisa produknya pada alam. Padahal, sisa-sisa produk belum tentu sesuai klaim yang berasal dari hipotesa penelitian dan tetap jadi beban lingkungan.
PKPS Menjawab Kebutuhan EPR
Tidaklah berlebihan dan salah jika Direktur Eksekutif Green Indonesia Foundation (#GiF) dan Supervisor Yayasan Kelola Sampah Indonesia (Yaksindo) Asrul Hoesein menyatakan Primer Koperasi Pengelola Sampah (PKPS) yang diinisiatif dan digagasnya sebagai poros sirkular ekonomi.Â
Dalam hal EPR, lembaga PKPS lah yang dapat memenuhi kebutuhan dan menjadi jembatan antara produsen sampah, penimbul sampah, pengelola sampah, industri daur ulang dan pemerintah.
PKPS-lah yang bisa menyambungkan semua pihak itu dalam melaksanakan kewajibannya dan mendapatkan haknya masing-masing. Dengan PKPS, produsen bisa menjalankan tanggungjawabnya pada sisa produknya secara suistan, ekonomis dan berhenti membebani lingkungan.Â
Dengan mau mengelola sisa produknya secara tersistem dan terstruktur, maka produsen tersebut akan mendapatkan insentif dari pemerintah. Masyarakat sebagai penimbul sampah juga bisa mendapatkan haknya atas pengelolaan sisa produk sesuai jalurnya.
Para pengelola sampah yang menangkap sampah dari masyarakat bisa mendapat keuntungan yang baik atas apa yang dilakukan karena masuk dalam sistem yang tidak terputus di pengelolaan sampah.
Dari pengelola, sampah akan masuk ke industri daur ulang. Sebagai pihak yang membantu produsen dalam mengelola sisa produknya dan sebagai pihak yang mengurangi beban lingkungan dengan proses daur ulang, maka industri ini akan mendapatkan insentif dari pemerintah.
Pemerintah akan mendapatkan informasi mengenai siapa saja yang harus diberi insentif atas pengelolaan sampah itu dari PKPS yang dibentuk di setiap kabupaten/kota seluruh Indonesia.Â
Sebab, PKPS yang mengetahui dan mendokumentasi rentetan pengelolaan sisa produk atau sampah mulai dari produsen hingga akhirnya masuk ke industri daur ulang. Karena produsen, masyarakat, pengelola sampah dan industri daur ulang adalah anggota dalam lembaga PKPS sesuai jenjangnya.
PKPS yang sejak awal digagas sebagai lembaga koperasi yang berjenjang dan berjejaring memungkinkan sinkronisasi data yang validitasnya dapat dipertanggungjawabkan pada semua pihak yang berkepentingan. Dalam eksplanasi demikianlah PKPS dikatakan sebagai poros sirkular ekonomi.Â
Secara wacana hingga saat ini PKPS belum terbantahkan. Diyakini, secara teknis sistem PKPS juga tidak terbantahkan. Karena itulah, PKPS mendapatkan dukungan Kementerian Koperasi dan UMKM sebagai lembaga koperasi yang paling prospek.(nra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H