Pola take back seharusnya tidak hanya dilakukan oleh produsen air galon maupun gas bahan bakar. Semua produsen produk seharusnya menjalankan pola tersebut agar sisa produk mereka tidak menjadi beban lingkungan dalam bentuk sampah.
Namun yang terjadi saat ini, mayoritas produsen seolah-olah tidak peduli dan mengalienasi sisa produk itu dari pola produksi dan distribusi produk.Â
Menganggap sisa produk yang jadi sampah itu bukan lagi tanggung jawab mereka, meski sejak awal merekalah yang memproduksi sampah timbulan masyarakat di kemudian hari.
Adapun produsen yang peduli pada sisa produknya justru kurang tepat dalam implementasi kepeduliannya. Ada yang mencoba membangun sendiri jalur take back dan ada yang meredesain kemasan atau produknya agar kalau dibuang bisa terurai secara alami.
Pada sebuah acara diskusi EPR, nyata disampaikan oleh salah satu produsen produk berkemasan bahwa jalur take back yang dibangunnya tidak suistan.Â
Tentu hal itu pasti terjadi karena jalur take back yang dibangun akhirnya membebani operasional mereka sendiri. Jelas tidak ekonomis jika jalur take back dibangun sendiri-sendiri oleh produsen setiap produk.
Akhirnya produsen mencoba pakai cara kedua. Meredesain kemasan menggunakan bahan yang biodegradable. Supaya jika kemasan produk itu dibuang bisa terurai secara alami.
Tapi pilihan ini dianggap tidak relevan dengan konsep EPR yang di dalamnya ada semangat circular economy. Cara redesain itu dianggap banyak pihak sebagai upaya produsen melarikan diri dari tanggung jawabnya terhadap sisa produknya.Â
Sebab, dengan alasan sudah menggunakan bahan biodegradable, produsen akan kembali mengalienasi sisa produknya pada alam. Padahal, sisa-sisa produk belum tentu sesuai klaim yang berasal dari hipotesa penelitian dan tetap jadi beban lingkungan.
PKPS Menjawab Kebutuhan EPR