Mohon tunggu...
Dara Ginanti
Dara Ginanti Mohon Tunggu... Jurnalis - Sampoerna University - The University of Arizona

A Beginner in Writing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Fantasi - Andira dan Sebuah Awal (Mulanya Takhayul Bulan Suro Kalender Jawa)

13 September 2017   20:46 Diperbarui: 2 Maret 2018   14:05 1387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Topik berita utama di koran menceritakan seorang wanita tua yang meninggal di gubuknya. Sebuah desa yang tak asing lagi ditelinganya. Ya, sudah tak dapat dielakkan lagi. Itu pasti sang ibu. Andira nampak panik karenanya, bukan karena sedih kehilangan ibunya, tapi karena takut orang -- orang menuduhnya atas kematian si ibu. Andira kebingungan kesana kemari memikirkan cara bagaimana dia bisa lepas dari masalah kriminal ini. Apakah dia akan berakhir di penjara? Polisi tidak boleh menemukannya. Pada akhir berita di koran mengabarkan jika polisi masih mengusut kasus ini dan menelusuri apakah wanita itu dibunuh tau mengalami kecelakaan. Setidaknya Andira masih bisa sedikit bernafas akan masalah ini, dia hanya perlu berpura -- pura tak tau akan wanita itu.

Andira bergegas meninggalkan hotel itu. Dia mengambil tasnya dan memakai sepatu. Betapa kagetnya Andira ketika mendapati cairan merah kental di sepatunya dan melekat mengotori telapak kakinya, seperti darah. Apa ini? Andira semakin curiga dan membuka tasnya, yang tak kalah mengejutkannya dia mendapati kertas -- kertas peringatan didalamnya yang ditulis menggunakan lipstik merah.

'Hargai waktumu, jangan rusak masa depanmu.' Itu hanya sebagian dari tulisannya. Teror -- teror tak masuk akal ini sangat mengganggu. Isinya sama saja dengan nasihat -- nasihat emak, bahkan lebih parah. Pengirim surat ini tak pandai dalam mengintimidasi orang, pikirnya. Andira menemukan sebuah amplop didalam tas itu, sepucuk surat bertengger rapi di dalamnya. 'Masa bahagia Andira' itu tulisan di depan amplopnya, sangat kekanak -- kanakan.

Andira membaca surat itu dengan segenap emosinya, raut wajahnya berubah seketika setelah membaca surat itu. Teror lagi. Apakah orang yang kemarin? "Acha, adakah orang yang memegang tas ku semalam kemarin?"

"Tidak seingatku, kau hanya mabuk dan mabuk. Lalu kau tertidur dengan tas itu disebelahmu." Jawab teman kaya itu. Nyatanya memang tak ada orang yang melakukannya.

Hari demi hari teror datang. Peringatan -- peringatan itu tak habisnya sampai kepada Dira. Andira sudah tidak lagi percaya dengan teror receh itu. Sebagai wanita, dia sudah terasah akan hal -- hal seperti itu. "Kau mau aku lepas dari dunia malam? Lihat saja apa yang justru kulakukan. Jangan coba -- coba ceramahi aku!"

Seorang Andira kini terjebak dalam dunia malam yang lebih keras, semakin teror itu mendatanginya semakin pula dia tidak mengikutinya. Peringatan -- peringatan tertulis berisi ajakan untuk mejauhi dunia malam itu kini hanya menjadi tamu semata. Andira ingin menunjukkan bahwa tidak ada yang bisa menghentikan langkahnya.

***

Pintu rumah kos itu diketuk lagi, isinya pastilah paket teror lagi. Aku hanya tertawa mendengar ketukannya. Tidak bosan -- bosannya si pengirim melakukannya. Kali ini aku menemukan sebuah kotak berisi foto -- foto sebuah gubuk yang dikelilingi polisi dengan seorang wanita sebagai pusatnya. Kertas dibawahnya tertulis 'Jangan biarkan masa ini menimpamu'. Apa dia mengatakan kalau hal itu akan terjadi padaku? Yang benar saja, jangan membual.

Tak hanya clubing dan minuman keras, kini aku juga mendekati rokok. Biarkan saja si pengirim itu melihat Andira yang sangat ia inginkan untuk berubah itu menjadi semakin berandal. Siapapun peneror itu pastilah dia seorang yang bodoh.

Pintu itu kembali diketuk, foto yang ada didalamnya kali ini adalah foto seorang wanita tertidur di sebuah kamar rumah sakit dengan dahi yang diperban. Wajah itu adalah wajahku sendiri. Wajah Trias Marwah Andira. Apa -- apaan ini? Keterlaluan. Dari mana dia mendapatkan foto ini? Apakah ini nyata?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun