Di hatinya selalu berperang antara mencintai suami yang bersikap baik, mengalah, melimpahinya dengan gengsi dan kemewahan atau tetap menjaga harga dirinya sebagai feminis mandiri dan  tidak tergiur kemewahan yang dipamerkan lelaki. Ia seolah seterusnya tergoda untuk meyakinkan hatinya bahwa ia bukanlah perempuan yang begitu saja melupakan kekasih yang meninggalkannya setelah menemukan pengganti bergengsi, tampan, dan kaya.
      Walaupun demikian, ada yang perlu digarisbawahi dari kecemburuan Tini akibat trauma tersebut. Kecemburuan berlatar konflik masa lalu memang tidak wajar. Ketidakwajaran yang mengikat gerak lelaki. Secara umum tugas utama lelaki adalah memberikan penghidupan kepada keluarganya. Atas dasar kewajiban tersebut, lelaki adakalanya harus menjalani tugas ke tempat yang jauh. Dengan demikian, hal nomor satu bagi lelaki memang bukan isterinya, melainkan kewajibannya terhadap pekerjaan yang dipilihnya.
      La Rose (1984)  menyatakan bahwa Mendiang Presiden Dwight D. Eisenhower pada hari pertama pernikahan mereka mengatakan kepada isterinya,"Sayang, aku harus jujur padamu, negeriku adalah yang utama bagiku, kemudian Dikau." Begitulah syarat pernikahan mereka yang telah berjalan selama 53 tahun.
      Selanjutnya, La Rose (1984)  menyatakan bahwa ketika wanita menempatkan suami pada urutan paling atas, itu berarti pekerjaannya pun ditempatkan pada urutan yang sama. Kecemburuan Tini yang tidak beralasan selain bersikap kasar kepada suaminya, juga adakalanya membuang data pasien, tidak mencerminkan dukungan kepada pekerjaan suaminya.
      Walaupun menyukai kemewahan yang berarti membutuhkan banyak uang demi keinginan yang adakalanya tidak logis bagi pria, sesungguhnya tidak semua wanita menggantungkan pemenuhan kebutuhan tersebut dari pria. Pada era emansipasi ini banyak wanita yang berusaha mengais rezeki sendiri, adakalanya bersaing pula dengan pria untuk mendapatkannya.
      Bahwa keinginan untuk mencintai dan dicintai adalah kebutuhan terbesar wanita, bukan hal yang diragukan lagi. Adakalanya  demi pemenuhan hasrat tersebut, wanita rela membantu mencari nafkah asalkan tidak berjauhan dengan pria yang dicintainya. Walaupun demikian, kesanggupan tersebut bukan berarti merasa bebas menuruti kecemburuan yang diakhiri dengan "merusak hak pasien" seperti yang dilakukan Tini.
Jika terjadi hal berlebihan seperti ulah Tini, seorang wanita  terpelajar yang semestinya memahami pekerjaan suami, tentulah layak dicari penyebab penyimpangan perilaku tersebut. Pernyimpangan perilaku yang dilakukan Tini ternyata bukan semata tuntutan emansipasi melainkan akibat trauma masa lalunya yang merasa ditinggalkan begitu saja oleh mantan kekasihnya.
Dari kasus Tini semakin jelas terasakan bahwa cinta adalah sumber kebahagiaan wanita. Kebutuhan akan cinta yang merupakan sebagian saja bagi kehidupan pria, bagi  wanita justru mencintai dan dicintai merupakan keseluruhan hidupnya. Oleh karena itu, ketika mendapati pria begitu mudah melarikan diri dari kekecewaaan dengan cara lari ke pelukan wanita lain atau melakukan ghosting, hal itu sangat sulit diterima wanita.
Sedemikian sulit menerima sehingga mereka adakalanya melakukan tindakan bodoh dan tidak logis bagi lelaki, misalnya menutup diri dari perhatian lelaki, seperti yang dilakukan Tini yang memilih bersibuk di dinas sosial daripada menerima kembalinya Hartono maupun Sukartono, kendati sanggup mengguyurnya dengan materi berlimpah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H