Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Didera Trauma dan Belenggu Emansipasi

23 Februari 2024   17:24 Diperbarui: 23 Februari 2024   17:28 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel Belenggu dalam Periodisasi Sastra Indonesia merupakan novel Angkatan Pujangga Baru. Novel yang ditulis pada tahun 1940 oleh Armijn Pane tersebut merupakan novel psikologis berpijak pada teori psikoanalisis Sigmund Freud, bahkan menurut Wikipedia merupakan novel psikologis pertama di Indonesia

Dalam pembahasan ini, adalah Sumartini (Tini), isteri dokter Sumartono. Ia seorang perempuan modern yang tidak ingin terkungkung dalam belenggu domestik keluarga, menuntut emansipasi dengan langkah awal telah melakukan hubungan seks dengan pacarnya, Hartono. Ketika Hartono tiba-tiba menghilang, perilaku yang belum berterima di masyarakatnya tersebut membuat batinnya terguncang.

Luka batin yang dialaminya, tanpa kehilangan hasrat mempercantik penampilan, adalah garang kepada lelaki. Kedua hal tersebut sanggup membuat dokter Sukartono penasaran dan bertekat menaklukannya. Sebagai lelaki  yang terbiasa diarahkan sebagai hunter, memburu Sumartini yang sulit ditundukkan memang memberikan tantangan dan kepuasan tersendiri, terlebih bagi dokter Sukartono yang tentunya diburu banyak perempuan.

"Patient, patient, selamanya patient, isterinya terlantar, tidak malu Engkau isterimu sendirian pulang?"

Tini masuk ke kamar tidur, pintu ditutupnya keras-keras, kedengaran dikunci dari dalam, sebentar lagi kedengaran badan terempas dalam tempat tidur.

Sukartono terduduk. Malam itu dia tidur di sofa.(Pane,2008:37)

Sikap garang Tini yang tak pernah berubah, mengguratkan rasa hampa dan duka di hati Sukartono.  Paradigma konvensional dalam pernikahan tetap menjadi semacam tuntutan yang mendarah daging bagi Sukartono. Akan halnya Tini tetap beranggapan, perempuan pun berhak "memiliki kemauan sendiri".Tuntutan emansipasi ditambah konflik batin akibat trauma masa lalunya pun menghalangi cintanya yang mulai bertumbuhan untuk suaminya. Semakin cinta itu tumbuh semakin ditekannya dalam-dalam dengan tetap memelihara sikap garang yang semula membuat Sukartono penasaran untuk menaklukkannya.

 Pikirannya dihantui kecemasan suaminya akan berselingkuh. Kecemasan yang akhirnya terbukti. Kesimpulan dan penilaian tersebut, sudah sesuaikah dengan fakta? Apakah tidak tersusupi bias-bias yang memunculkan ketidakakuratan kesimpulan? Sedangkan informasi yang diperoleh sangat terbatas, bahkan masih dalam angan-angan seperti yang dialami Tini? Menurut Mulyadi (2020) proses penilaian ini yang seringkali berlangsung bahkan tanpa proses kognitif yang kompleks dikenal dengan istilah prasangka, sedangkan Tuhan telah memberikan petunjuk agar manusia tidak berburuk sangka

  Pikiran kita atau apa yang kita pikirkan, really matters (Mulyadi,2020) selanjutnya disampaikan pula bahwa hal itu bisa menjadi akar  dari banyak persoalan. Pikiran sebaiknya dikelola agar objektif, kalaupun bias, usahakan outputnya positif atau positive thinking. Tetap berfokus pada objektivitas dan kejujuran. Pikiran positif akan memberikan dampak emosi yang positif. Perilaku positif pun demikian.

Kecemasan dan prasangka buruk yang dialami Tini telah teraduk menjadi satu dengan tuntutan emansipasi, sehingga ia tidak juga mau berperilaku sebagai isteri yang menghargai suami. Posisi perempuan yang dimarginalkan dalam tradisi patriarki, membuat Tini berkeinginan mendobrak hal itu. Kesimpulan yang disamaratakan, padahal dalam hal ini, Sukartono dapat dianggap memiliki tuntutan yang wajar, karena ia telah melakukan tanggung jawabnya sebagai suami dengan wujud sanggup memberikan gengsi dan kelimpahan materi.

"Yu,Yu, benarkah kita perempuan, baru boleh dikatakan benar-benar cinta, kalau kesenangannya saja yang kita ingat, kalau kita tiada ingat akan diri kita, kalau kesukaan kita cuma memelihara dia? Kalau tiada perasaan yang demikian, benarkah kita belum benar-benar kasih akan dia? Aku bingung, yu, bukankah kita berhak juga hidup kita sendiri?... (Pane, 1937: 71).

Pikiran-pikiran Tini  dan gagasan yang disampaikannya dapat dikatakan sebagai pemikiran yang telah maju pada zamannya. Akan tetapi, ia lupa, bahwa tuntutan Sukartono pun bukan asal menuntut karena ia telah berjuang menunjukkan tanggung jawabnya sebagai suami. Andaikan ia keberatan dengan tuntutan suaminya karena merasa sanggup mengais rezeki, seharusnya ia menolak menikah dengan dokter tersebut.

Dokter Sukartono, seperti pada umumnya lelaki, terlebih lelaki bergaji tinggi, juga menyukai perempuan cantik. Deskripsi fisik Tini yang cantik, suka bersolek, memakai rouge di bibir dan pipi telah dituliskan untuk menunjukan Tini sebagai ratu pesta yang menarik. Penggambaran secara fisik untuk tokoh Tini terdapat pada kutipan sebagai berikut.

 "... diamat-amatinya sebentar badan yang terlentang itu, molek, karena suka sport dahulu. Tetapi, nafsunya tiada tertarik, tiada berkobar seperti dahulu. Sambil menuju ke kursinya, dia berfikir: badannya masih cantik. Memang Tini cantik, pandai memakai sembarang pakaian. Suka mata memandang dia." (Pane, 1937:61)

Isterinya cantik. Sebagai perempuan terpelajar, ia pun tampil selayaknya wanita modern serta dikenal sebagai ratu pesta pula dengan kecantikan menggoda mata.

Tuntutan emansipasi yang dilakukannya dengan Hartono, membuat luka dua kali lipat. Pertama, ia wanita Timur, manakala perilakunya tidak umum, tentu ia merasa tidak nyaman. Kedua, Hartono tiba-tiba menghilang tanpa alasan jelas. Ia merasa terkena ghosting, yang membuat hatinya terluka lalu trauma tidak dapat lagi merasakan cinta pria, kendati pria itu dokter.

Mengapa Hartono melakukan ghosting? Ternyata, karena ia tiba-tiba menghadapi masalah berat berkaitan dengan masa depan.

  ...Hartono tiada menjawab, seolah Tini memperkatakan keadaan jiwanya. Serupa dengan kelayuan dalam jiwa Tini? Dia, didalam hatinya layu, karena kehilangan cita-cita, karena tiada tempat bersandar lagi. Bagaimana Tini? Cita-cita perempuan? Budi perempuan? (Pane, 1937:121)

Hartono yang tidak memahami bahwa "merasa dicintai dan mencintai" merupakan kebutuhan mendasar wanita, sedangkan kecerahan masa depan sesuai dengan emosional mereka semata, tidak terlalu dinomorsatukan, merasa tidak bersalah ketika memutuskan menghilang dari Tini yang banyak penggemar. Ulah yang mengguratkan sakit hati teramat dalam bagi Tini. Seolah hidupnya sudah tamat setelah itu. Keputusan yang akhirnya dilakukannya dengan cara menghindari lelaki. Sedemikian emosionalkah wanita dalam menghadapi cinta?

...Tini memandang Hartono tenang-tenang,"Aneh, engkau pandai berkata begitu. Kamu laki-laki tiada terasa padamu, betapa sedihnya bagi perempuan, kalau jiwanya layu (diapun berpaling, termenung). Pernahkah engkau melihat daun tua? benar-benar kauperhatikan?"

Tiba-tiba Hartono berdiri, katanya dengan gembira,"Pop! Tono cinta padamu...mengapa tiada engkau ingat nasibnya?"

 Ujar Tini dengan sungguh-sungguh,"Karena dialah...kasih sayangnya membuatku takut, bimbang, hatiku layu, menjadi kusut hatiku layu, menjadi kusut di dalam hatiku bertambah hampa...tiada yang dapat kuberikan padanya, lain dari pasir belaka, padang pasir, padang padang pasir, tiada kasih sayang tempat bernaung...pada hal itulah dia perlu. Kasih sayang...tidak ada apa-apa, padaku, kosong belaka..."

Manakala Hartono yang merasa tersudut karena dipersalahkan pernah melakukan ghosting serta sarannya agar Tini mencintai Tono pun dibantah, ia pun mengajak Tini untuk kembali kepadanya karena ia telah memiliki pekerjaan.

Akan tetapi, Tini yang merasa sakit hati lagi-lagi menolak. Hartono hendak berkata, tapi ditahan Tini, kata Tini dengan cepat...tidak perlu aku dihiburkan, aku sendiri dapat menemukan jalan...

"Sekarang namamu dulu boleh kaupakai lagi,"kata Tini mengejek.(Pane,1937: 121-123)

Ungkapan sinis dan sakit hati  seolah ingin menggoreskan kesan  bahwa cintanya pada Hartono saat itu bukan sekadar karena kecerahan masa depan. Mengapa Tono tidak memercayainya malah melakukan ghosting toh Tini menerimanya apa adanya? Buktinya ia tidak bisa segera mencintai Sukartono kendati dokter tersebut melimpahinya dengan kemewahan?

"Engkau cinta padanya."

Tini tersenyum meringis,"Cinta? Aku cinta? Hatiku cinta? Semua perasaan sudah mati dalam hatiku, hatiku sudah seolah-olah kuburan. (Pane, 1937:120)

Ungkapan yang seolah semakin menyudutkan Hartono karena melakukan ghosting kendati hal itu dilakukannya saat ia merasa tidak memiliki masa depan. Ulah  yang tidak dapat diterima Tini setelah ia menyerahkan dirinya, kendati melawan tradisi zaman itu. Ulah yang tidak dapat dimakluminya. Ulah yang masih menyisakan sakit hati karena ia sangat mencintai Hartono saat itu. Cinta yang sepenuh cinta, yang tak akan dapat tumbuh kendati ia dinikahi dokter, walaupun pria tersebut sanggup memberikan kebanggaan dan kelimpahan materi pula.

Konflik batin yang menjadikannya trauma akibat merasa dighosting Hartono diungkapkan kepada Rohayah yang mengetahui masa lalunya.

"Bukan dia yang tak dapat engkau lupakan, tapi...perbuatan Kamu."

   ..."Barangkali benar katamu itu.  Kami kawin, lambat laun aku mencintainya, berangsur-angsur dalam, aku tiada dapat menahannya. Aku tiada suka ia pergi-pergi, hendakku banyak-banyaklah ia didekatku, tapi ia tak tahu, ia tak dapat, karena ia mesti pergi, memang sudah pekerjaannya begitu. Aduh, tidak tertahankan rasa cemburu dalam hatiku. Entah siapa-siapa diterimanya untuk diperiksa, entah siapa yang dikunjunginya, diraba-rabanya. Barangkali perempuan cantik lagi muda dan tidak berpakaian pula... ((Pane, 1937:140)            Dari sini terlihat jika Tini yang cantik; yang suka berdandan dan tampil dengan segala kemewahan itu, manakala suaminya menganggap dirinya tidak dihargai isteri, bukan semata pengaruh emansipasi. Sebagai wanita Timur yang masih lekat dengan tradisi patriarki tentu ia tidak kesulitan menjalani tradisi yang juga dilakukan sekitarnya.        

     Keberatannya selain arus emansipasi yang melandanya, ia ternyata memendam trauma. Trauma akibat menjalani perilaku yang belum berterima bagi tradisi sekitarnya, yaitu melakukan seks pranikah kemudian dighosting pula oleh kekasih yang tengah tidak memiliki pekerjaan. Sakit hati serta kecemasan dicurigai tidak dapat menerima kondisi kekasih yang belum mapan, semakin menghalanginya untuk larut mencintai dokter Sukartono.

            Di hatinya selalu berperang antara mencintai suami yang bersikap baik, mengalah, melimpahinya dengan gengsi dan kemewahan atau tetap menjaga harga dirinya sebagai feminis mandiri dan  tidak tergiur kemewahan yang dipamerkan lelaki. Ia seolah seterusnya tergoda untuk meyakinkan hatinya bahwa ia bukanlah perempuan yang begitu saja melupakan kekasih yang meninggalkannya setelah menemukan pengganti bergengsi, tampan, dan kaya.

            Walaupun demikian, ada yang perlu digarisbawahi dari kecemburuan Tini akibat trauma tersebut. Kecemburuan berlatar konflik masa lalu memang tidak wajar. Ketidakwajaran yang mengikat gerak lelaki. Secara umum tugas utama lelaki adalah memberikan penghidupan kepada keluarganya. Atas dasar kewajiban tersebut, lelaki adakalanya harus menjalani tugas ke tempat yang jauh. Dengan demikian, hal nomor satu bagi lelaki memang bukan isterinya, melainkan kewajibannya terhadap pekerjaan yang dipilihnya.

            La Rose (1984)  menyatakan bahwa Mendiang Presiden Dwight D. Eisenhower pada hari pertama pernikahan mereka mengatakan kepada isterinya,"Sayang, aku harus jujur padamu, negeriku adalah yang utama bagiku, kemudian Dikau." Begitulah syarat pernikahan mereka yang telah berjalan selama 53 tahun.

            Selanjutnya, La Rose (1984)  menyatakan bahwa ketika wanita menempatkan suami pada urutan paling atas, itu berarti pekerjaannya pun ditempatkan pada urutan yang sama. Kecemburuan Tini yang tidak beralasan selain bersikap kasar kepada suaminya, juga adakalanya membuang data pasien, tidak mencerminkan dukungan kepada pekerjaan suaminya.

            Walaupun menyukai kemewahan yang berarti membutuhkan banyak uang demi keinginan yang adakalanya tidak logis bagi pria, sesungguhnya tidak semua wanita menggantungkan pemenuhan kebutuhan tersebut dari pria. Pada era emansipasi ini banyak wanita yang berusaha mengais rezeki sendiri, adakalanya bersaing pula dengan pria untuk mendapatkannya.

            Bahwa keinginan untuk mencintai dan dicintai adalah kebutuhan terbesar wanita, bukan hal yang diragukan lagi. Adakalanya  demi pemenuhan hasrat tersebut, wanita rela membantu mencari nafkah asalkan tidak berjauhan dengan pria yang dicintainya. Walaupun demikian, kesanggupan tersebut bukan berarti merasa bebas menuruti kecemburuan yang diakhiri dengan "merusak hak pasien" seperti yang dilakukan Tini.

Jika terjadi hal berlebihan seperti ulah Tini, seorang wanita  terpelajar yang semestinya memahami pekerjaan suami, tentulah layak dicari penyebab penyimpangan perilaku tersebut. Pernyimpangan perilaku yang dilakukan Tini ternyata bukan semata tuntutan emansipasi melainkan akibat trauma masa lalunya yang merasa ditinggalkan begitu saja oleh mantan kekasihnya.

Dari kasus Tini semakin jelas terasakan bahwa cinta adalah sumber kebahagiaan wanita. Kebutuhan akan cinta yang merupakan sebagian saja bagi kehidupan pria, bagi  wanita justru mencintai dan dicintai merupakan keseluruhan hidupnya. Oleh karena itu, ketika mendapati pria begitu mudah melarikan diri dari kekecewaaan dengan cara lari ke pelukan wanita lain atau melakukan ghosting, hal itu sangat sulit diterima wanita.

Sedemikian sulit menerima sehingga mereka adakalanya melakukan tindakan bodoh dan tidak logis bagi lelaki, misalnya menutup diri dari perhatian lelaki, seperti yang dilakukan Tini yang memilih bersibuk di dinas sosial daripada menerima kembalinya Hartono maupun Sukartono, kendati sanggup mengguyurnya dengan materi berlimpah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun