Air mataku kubiarkan tercurah tanpa sisa menumpahkan segala kegundahan di hatiku. Aku baru saja kehilangan ibuku. Masih sepuluh hari dimakamkan, abangku sudah datang menuntut akan mengalihkan warisan ke kampung halaman isterinya. Duh....aku wanita, iparku juga wanita. Aku sebetulnya malu harus mencurigainya. Akan tetapi, ulahnya memepetku, memaksaku untuk mencurigainya.
Tuhan, tabahkan hatiku, kataku dalam hati dengan lunglai. Ibu-ibu tetangga masih menemaniku, menggosok tubuhku dengan minyak angin. Abangku tampak  duduk di sudut sambil menunduk. Entah apa yang dipikirkannya. Takut dimarahi isterinya karena gagal meminta sertifikat rumah atau ceritaku akan nasib sepupu ibu yang mbambung akibat dominasi isterinya telah menyadarkannya? Entahlah. Aku masih belum bisa melupakan makam ibu yang baru kudatangi sore tadi, sebelum marah-marah akibat sikap penurut abangku terhadap isterinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H