Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misteri Kakak Ipar

13 Januari 2021   07:41 Diperbarui: 13 Januari 2021   07:51 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kutinggalkan makam ibu dengan air mata yang sulit ditahan untuk tidak bertumpah. Demikian cepat waktu berjalan. Tahu-tahu ibuku sudah berpulang. Kini, aku berstatus sebagai yatim piatu kendati sudah dianggap dewasa karena sudah lewat tujuh belas tahun. Akan tetapi, aku selalu membutuhkan kedua orang tuaku.

Sejak kecil kami tak pernah berpisah, bahkan saat kuliah pun aku lebih memilih berangkat pagi-pagi dari rumah dengan risiko seolah seharian berada di kampus. Apalagi jika masih harus belajar kelompok. Aku dapat dipastikan tiba di rumah dengan tubuh lungkrah hampir pukul 23 malam. Hanya senyum ibu yang segera menyediakan makan malam hangat, membuatku bertahan seolah semua lelahku hilang.

Kini ibu tiada lagi, menyusul ayah yang berpulang tiga tahun lalu, setelah aku lulus S1. Aku masih berjalan gontai keluar makam menuju motor yang kuparkir dekat rumah juru kunci. Angin sore menjelang magrib mulai mencubiti kulitku. Suasana terasakan sepi mencekam, membuatku bergegas keluar makam, mengambil motor, lalu ngebut untuk pulang.

Sebelum memasuki rumah, seperti adat kebiasaan nenek moyang jika pulang dari kuburan, kami selalu diwajibkan mencuci kaki dan tangan. Selain tradisi wajib cuci kaki dan tangan sebelum memasuki rumah jika pulang dari kuburan, kami pun diwajibkan cuci kaki dan tangan jika di rumah ada bayi. 

Tradisi yang kembali berulang, bahkan masih harus mencuci tangan dengan sabun, ketika covid-19 menyerbu muka bumi. Sedemikian cepat persebaran mereka, seisi bumi pun dihinggapinya. Seolah serbuk-serbuk dari karat besi yang digosok. Debunya mengerikan semua orang yang lewat. Semua cemas serbuk karat besi tersebut memasuki mata dan hidung, menggelitiki tenggorokan, mengacak-acak paru-paru kemudian menyesakkan pernapasan.

"Apa?" jawabku setengah berteriak. Telingaku salah dengar ataukah ucapannya yang benar? Yang bener saja dong. Makam ibu masih basah, abangku sudah merengek meminta sertifikat rumahnya. Untuk apa? Untuk dijual, katanya.

"Aku banyak utang. Ayolah, Dik. Mana sertifikat rumahku. Pasti Kamu tahu walaupun ibu yang menyimpan."

"Utang apa?" jawabku masih setengah berteriak. Kekesalan sudah menyesaki dada kemudian merambat menuju ubun-ubun. Ujung-ujung rambutku seolah dicabuti karena keluhannya akan hutang.

"Isteriku yang punya utang," jawabnya pelan," Ia diam-diam membangun rumah di kampung halamannya," lanjutnya, "Tapi, gajinya semua sudah untuk membayar tukang. Kamu tahu kan, biaya tukang itu mahal, lebih mahal daripada harga material?" ia menatapku.

"Lalu?" aku sudah mulai memahami arah bicaranya dan segera ingin menyemburnya, tapi kutahan.

"Material belum dibayar. Ia dikejar-kejar pemilik galangan agar segera membayar...

"Lho, Kamu kan sudah membayarnya dengan menjual mobilmu?" kilahku, "Tahu nggak? Ibu kepikiran saat Kamu cerita jual mobil dan motor untuk bayar galangan. Ibu heran dengan jalan pikiran isterimu. Mengapa harus membangun rumah di kampung halamannya? Bukankah kalian bekerja di kota ini? Kamu pun sudah dibelikan rumah dan mobil? Itu pun atas namamu. Mengapa isterimu masih mikir bikin rumah di kampung halaman?"

"Membongkar rumah orangtuanya yang sudah hampir roboh."

"Lalu, Kalian di sini tinggal di mana? Mau nebeng di rumahku? Oh...no. nggak bisa, "aku gelengkan kepala berkali-kali," Kita sudah dibelikan ibu masing-masing sebuah rumah, sebuah mobil, dan sebuah motor. Perbedaannya, kamu sudah menikah dan aku belum. Milikku ini kelak akan kutempati dengan keluargaku. Bukan untuk tebengan kalian. Enak aja," suaraku kembali meninggi.

Hm...untung abangku sejak kecil bersikap sabar, pengalah, dan penurut pula. Ia anak lelaki yang baik. Kakak yang baik. Mestinya juga menjadi suami yang baik. Sedemikian baik, sampai-sampai ia dibodohi isterinya, dan ia menurut saja, seperti peribahasa, "ibarat kerbau dicocok hidung". Hm....ingin kutampar dirinya tapi kutahan.

Bagaimanapun ia lelaki. Jika kutampar, bagaimana jika ia balas menamparku? Tentu aku kalah. Selain kalah, tentu akan mengundang kehebohan. Bagaimana kalau ada orang yang merekam, lalu mengunggahnya ke media sosial? Lalu menjadi viral? Ih....malu deh. Apalagi aku perempuan. Kendati sudah memiliki warisan rumah, mobil, dan motor, jika viral pernah menampar abangnya, tentu bikin ngeri kamu lelaki.

"Ibu kepikiran saat Kamu jual mobil dan motor untuk bayar galangan. Ibu jadi mikir yang bukan-bukan. Jangan-jangan dana rumah masih kurang, lalu merembet minta jual rumah dengan dalih rumah di sini maupun di kampung halaman isteri sama saja, toh sudah ada anak," aku menghela napas menata emosi.

"Tapi ibu sudah pengalaman. Sangat pengalaman. Wanita, walaupun ada banyak malah, yang sepolos ibu. Tapi banyak juga yang licik. Lelaki pun demikian. Banyak yang polos bertanggung jawab menafkahi isteri, tapi banyak juga yang berperan sebagai tukang porot," aku kembali berhenti bicara untuk meneguk segelas teh hangat yang baru kubuat.

"Walaupun dengan dalih lebih baik bikin rumah di kampung halaman isteri toh sudah ada anak, tapi itu angin segar bagi wanita yang ingin mengakali kamu. Mengapa? Pernah terjadi, sepupu ibu. Mereka bikin rumah di kampung halaman isteri toh ada anak. Seluruh warisan si lelaki dijual untuk membangun istana di kampung halaman mertua. Tatkala isteri cantik tergoda lelaki lain, apa yang dilakukan sepupu ibu itu? 

Pantaskah minta rumah dijual toh ada anak? Akhirnya, ia pun pulang kampung dalam keadaan mbambung. Tahu apa itu mbambung? Dalam bahasa Jawa artinya orang yang tidak punya rumah lalu tinggal di kolong jembatan. Begitulah nasib sepupu ibu. Usaha ternak lele dan rumah yang dibangun di lahan mertua dari hasil menjual warisan, ditinggalkan begitu saja tatkala isteri selingkuh, karena nggak tega meminta gono gini demi anaknya."

Abangku diam tidak menjawab. Hanya airmata mengaliri kedua pipinya tanpa suara. Aku pun ikut menangis sesenggukan, "Tahu nggak? Setelah kamu cerita jual mobil dan motor untuk bayar galangan, ibu sakit. Tekanan darahnya tinggi. Hatinya gundah gulana. Covid pun mengerubutinya seolah senang menemukan inang yang antibodinya kalah. Tubuh ibu pun tumbang di rumah sakit sebagai penderita covid," teriakku mengguncang lengannya.

"Itu gara-gara Kamu. Harusnya salat istikharah dulu sebelum menikahi perempuan. Jangan asal sosor. Memang cuma dia yang cantik?  Aku benci Kamuu!!!! Sana pergiiii!!! Aku nggak mau, jika kelak kamu cuma diakali oleh wanita itu setelah seluruh warisanmu berpindah ke kampung halamannya, kamu merengek minta tinggal di rumahku. Aku nggak mau. Sana pergiii!!!!" teriakku histeris seperti kesurupan. Beberapa tetangga berdatangan menenangkan.

Air mataku kubiarkan tercurah tanpa sisa menumpahkan segala kegundahan di hatiku. Aku baru saja kehilangan ibuku. Masih sepuluh hari dimakamkan, abangku sudah datang menuntut akan mengalihkan warisan ke kampung halaman isterinya. Duh....aku wanita, iparku juga wanita. Aku sebetulnya malu harus mencurigainya. Akan tetapi, ulahnya memepetku, memaksaku untuk mencurigainya.

Tuhan, tabahkan hatiku, kataku dalam hati dengan lunglai. Ibu-ibu tetangga masih menemaniku, menggosok tubuhku dengan minyak angin. Abangku tampak  duduk di sudut sambil menunduk. Entah apa yang dipikirkannya. Takut dimarahi isterinya karena gagal meminta sertifikat rumah atau ceritaku akan nasib sepupu ibu yang mbambung akibat dominasi isterinya telah menyadarkannya? Entahlah. Aku masih belum bisa melupakan makam ibu yang baru kudatangi sore tadi, sebelum marah-marah akibat sikap penurut abangku terhadap isterinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun