Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misteri Kakak Ipar

13 Januari 2021   07:41 Diperbarui: 13 Januari 2021   07:51 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lho, Kamu kan sudah membayarnya dengan menjual mobilmu?" kilahku, "Tahu nggak? Ibu kepikiran saat Kamu cerita jual mobil dan motor untuk bayar galangan. Ibu heran dengan jalan pikiran isterimu. Mengapa harus membangun rumah di kampung halamannya? Bukankah kalian bekerja di kota ini? Kamu pun sudah dibelikan rumah dan mobil? Itu pun atas namamu. Mengapa isterimu masih mikir bikin rumah di kampung halaman?"

"Membongkar rumah orangtuanya yang sudah hampir roboh."

"Lalu, Kalian di sini tinggal di mana? Mau nebeng di rumahku? Oh...no. nggak bisa, "aku gelengkan kepala berkali-kali," Kita sudah dibelikan ibu masing-masing sebuah rumah, sebuah mobil, dan sebuah motor. Perbedaannya, kamu sudah menikah dan aku belum. Milikku ini kelak akan kutempati dengan keluargaku. Bukan untuk tebengan kalian. Enak aja," suaraku kembali meninggi.

Hm...untung abangku sejak kecil bersikap sabar, pengalah, dan penurut pula. Ia anak lelaki yang baik. Kakak yang baik. Mestinya juga menjadi suami yang baik. Sedemikian baik, sampai-sampai ia dibodohi isterinya, dan ia menurut saja, seperti peribahasa, "ibarat kerbau dicocok hidung". Hm....ingin kutampar dirinya tapi kutahan.

Bagaimanapun ia lelaki. Jika kutampar, bagaimana jika ia balas menamparku? Tentu aku kalah. Selain kalah, tentu akan mengundang kehebohan. Bagaimana kalau ada orang yang merekam, lalu mengunggahnya ke media sosial? Lalu menjadi viral? Ih....malu deh. Apalagi aku perempuan. Kendati sudah memiliki warisan rumah, mobil, dan motor, jika viral pernah menampar abangnya, tentu bikin ngeri kamu lelaki.

"Ibu kepikiran saat Kamu jual mobil dan motor untuk bayar galangan. Ibu jadi mikir yang bukan-bukan. Jangan-jangan dana rumah masih kurang, lalu merembet minta jual rumah dengan dalih rumah di sini maupun di kampung halaman isteri sama saja, toh sudah ada anak," aku menghela napas menata emosi.

"Tapi ibu sudah pengalaman. Sangat pengalaman. Wanita, walaupun ada banyak malah, yang sepolos ibu. Tapi banyak juga yang licik. Lelaki pun demikian. Banyak yang polos bertanggung jawab menafkahi isteri, tapi banyak juga yang berperan sebagai tukang porot," aku kembali berhenti bicara untuk meneguk segelas teh hangat yang baru kubuat.

"Walaupun dengan dalih lebih baik bikin rumah di kampung halaman isteri toh sudah ada anak, tapi itu angin segar bagi wanita yang ingin mengakali kamu. Mengapa? Pernah terjadi, sepupu ibu. Mereka bikin rumah di kampung halaman isteri toh ada anak. Seluruh warisan si lelaki dijual untuk membangun istana di kampung halaman mertua. Tatkala isteri cantik tergoda lelaki lain, apa yang dilakukan sepupu ibu itu? 

Pantaskah minta rumah dijual toh ada anak? Akhirnya, ia pun pulang kampung dalam keadaan mbambung. Tahu apa itu mbambung? Dalam bahasa Jawa artinya orang yang tidak punya rumah lalu tinggal di kolong jembatan. Begitulah nasib sepupu ibu. Usaha ternak lele dan rumah yang dibangun di lahan mertua dari hasil menjual warisan, ditinggalkan begitu saja tatkala isteri selingkuh, karena nggak tega meminta gono gini demi anaknya."

Abangku diam tidak menjawab. Hanya airmata mengaliri kedua pipinya tanpa suara. Aku pun ikut menangis sesenggukan, "Tahu nggak? Setelah kamu cerita jual mobil dan motor untuk bayar galangan, ibu sakit. Tekanan darahnya tinggi. Hatinya gundah gulana. Covid pun mengerubutinya seolah senang menemukan inang yang antibodinya kalah. Tubuh ibu pun tumbang di rumah sakit sebagai penderita covid," teriakku mengguncang lengannya.

"Itu gara-gara Kamu. Harusnya salat istikharah dulu sebelum menikahi perempuan. Jangan asal sosor. Memang cuma dia yang cantik?  Aku benci Kamuu!!!! Sana pergiiii!!! Aku nggak mau, jika kelak kamu cuma diakali oleh wanita itu setelah seluruh warisanmu berpindah ke kampung halamannya, kamu merengek minta tinggal di rumahku. Aku nggak mau. Sana pergiii!!!!" teriakku histeris seperti kesurupan. Beberapa tetangga berdatangan menenangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun