"Kamu ragu bukan karena aku berangan-angan ingin menjadi ratu lebah,"kilahnya memukul lenganku dengan ujung topinya.
"Kamu ragu karena aku tidak secantik yang Kaubayangkan. Andaikan aku berpostur tubuh seperti peragawati atau pramugari, tentu Kamu tidak keberatan aku berangan-angan bak ratu lebah," lanjutnya.
Aku terdiam. Yang dikatakannya mungkin benar. Yang kuherankan hanyalah, jika ia menyadari hal itu, mengapa bersusah payah ingin membiayai perjalanan kami? Apakah ia beranggapan, kalau pun saat ini, seleraku bukan seperti dirinya, tapi dengan uangnya, ia berharap seleraku bisa berubah?
Rasa sayang dan selera jelas berbeda. Rasa sayang melibatkan seluruh hati sedangkan selera menyenangkan mata. Kelak, bisa saja dengan perhatiannya akan timbul rasa sayangku kepadanya. Terlebih ia sudah baik kepadaku sejak SMP, sejak kami belum apa-apa. Akan tetapi, bagaimana dengan seleraku?
"Maksudku, aku laki-laki. Biarkanlah aku menjadi lelaki. Biarkanlah aku menjadi hunter. Suatu saat, bisa saja perasaanku luluh, lalu mengabaikan seleraku karena terhalangi oleh perhatian dan kasih sayangmu yang besar kepadaku,"aku menghentikan kata-kataku.
"Tapi jangan dengan cara memburuku, terlebih kini warisanku sudah di depan mata meski belum diberikan kepadaku. Itulah yang membuatku curiga jangan-jangan Kamu ingin berperan sebagai ratu lebah pula."
"Haruskah kubuktikan?" tantangnya.
"Buktikan sebagai wujud cintamu kepada dirimu sendiri, semisal upaya tanteku untuk berhemat demi tabungan masa tua. Kamu pun bisa kan? Kalau bisa mengais rezeki secara mandiri, maju mundur tentu cantik dan memesona, bukan? Hal itu bisa Kamu lakukan tanpa mepet terus kepadaku."
"Aku kadang takut Kamu diambil orang."
"Berarti nggak jodoh. Jika Kamu sudah mandiri, maju mundur cantik, aku diambil orang, memang menjadi masalah berat bagimu? Kali aja malah menemukan pengganti yang lebih tampan?"
"Cinta tak semudah itu melenyap."