Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sahabat Kecilku, Marinda

20 November 2020   10:17 Diperbarui: 20 November 2020   10:28 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

              Kami masih berfoto-foto bersama para wisatawan jip Lereng Gunung Merapi. Sekali lagi kulihat ke arah atas sambil membayangkan  manakala lembah yang kami gunakan berfoto itu dilewati lahar dingin. Andaikan dalam keadaan bersantai begini lahar dingin tiba-tiba datang, apa yang harus kami lakukan? Mau tak mau, kami memang harus berjuang menuju ketinggian agar tidak terseret lahar.

Oleh karena itu, aku sebagai keponakan tidak pernah mengkritik tanteku atas kegemarannya membeli aset berwujud tanah jika ada uang berlebih. Ia hidup sendiri dan tengah menunggu proses cerai yang tidak bisa secepatnya karena ia pegawai negeri. Dalam kondisi hidup sendiri tanpa suami dan anak, apalagi yang harus dilakukan jika bukan menabung untuk persiapan hari tua?

"Kalau aku mati besok pagi, sudah jelas siapa yang harus memiliki. Itu teserah Kalian. Yang menjadi masalah justru, bagaimana jika aku panjang umur seperti mantan perdana menteri Malaysia, Mahathir itu? Umur 95 tahun masih seperti umur 60-an? Aku tidak ingin merepotkan Kalian kelak."

Begitulah yang dikatakannya kepada kami, keponakan-keponakannya. Kami hanya mengiyakan, karena masih belum pernah membayangkan masa tua mereka. Jangankan masa tua tante dan mama, masa tua nenek pun belum terpikir padahal kini umurnya sudah 75 tahun. Itu karena mereka suka tampil modis. Nenek bahkan setiap mengambil uang pensiun selalu cek up kesehatan. Koelsterol, asam urat, tekanan darah, dan gula darah, normal, katanya riang, membuatku yang sesekali mengantarnya jika sedang di rumah pun ikut senang.

Jika nenek dalam umur 75 tahun masih seperti  beberapa ibu yang baru pensiun, maka aku tidak pernah ikut berkomentar tatkala mama maupun tante suka membeli aset berwujud tanah untuk jaminan hari tua, katanya. Bahkan dulu kata mama aku sering menangis jika melihat rambut nenek mulai memutih. Aku saat SMP selalu mengantarkan nenek ke salon untuk mengecat rambutnya agar berwarna kecoklatan.

Semasa muda, nenek dan anak-anak perempuannya memang terbiasa hidup sederhana. Sebagai remaja yang berangan-angan bekerja sebagai guru, dipatahkan begitu saja oleh kakek yang juga guru karena anak-anaknya lahir beruntun. Jadilah, nenek harus mencukup-cukupkan gaji agar bisa digunakan untuk hidup selama sebulan. Kebiasaan hidup sederhana terlebih dalam pola makan, membuat mereka tetap membiasakan diri untuk itu. Jika ada waktu hanya lima menit, dapat dipastikan mereka lebih suka menghabiskan waktu di depan cermin daripada di meja makan.

Kesalahannya dalam melangkah tidak segera menikah karena merasa belum tuntas kuliah, dimaknai beragam di tradisi patriarki, ia pun mencoba mengerti dan memahami. Walaupun sempat syok, namun laporan PISA bahwa hasil membaca kami yang berarti kemampuan literasi kami belum menunjukkan hasil yang bagus, membuatnya tenang sesaat tatkala diterpa suara sumbang.

Suara-suara sumbang yang terdengar manakala melihatnya betah menyendiri adalah cap pilih-pilih lelaki.  Prasangka buruk bagaimana lagi, jika bukan dicurigai ingin menjadi isteri lelaki kaya agar berperan sebagai ratu lebah yang hanya berdiam diri sambil makan royal jelly? Prasangka yang asal saja mungkin sekadar bergurau, seringkali ditanggapi dengan sakit hati olehnya.

Maka, kebiasaan mandiri sejak kecil yang membuatnya lebih cepat memiliki tabungan dibandingkan wanita pekerja bergaji sama dengannya, yang acapkali mengundang tanya untuk apa? Membuatnya semakin terluka. Kami para keponakannya tertawa saja mendengar keluhannya.

"Tidak perlu ditanggapi, Tante. Toh itu uang tante, hasil berhemat dan menabung, bukan hasil korupsi, bukan pula hasil dari memoroti kaum lelaki,"hiburku.

Bagaimanapun, sebagai keponakan, aku sangat mendukung tekatnya untuk tidak merepotkan kami pada masa tuanya. Terlebih jika ia meninggal cepat toh kami dapat pula warisannya. Hehehe. Untuk yang ini bergurau deh. Warisan dari orangtuaku pun aku tidak pernah mikirin, bahkan aku tengah berjuang untuk bekerja sambil berwirausaha, apalagi warisan tante. Tapi, salahkah jika aku mendukungnya untuk memiliki tabungan masa tua? Hal itu memang keharusan, bukankah sebagai anak nenekku, mama dan tanteku pun menjaga kesehatannya?

"Termenung. Mikir apa sih?" tanya Marinda memandangku yang melihat ke arah lembah bekas terjangan lahar dingin.

"Aku tak habis pikir dengan jalan pikiran wanita,"jawabku asal saja.

"Bukankah banyak informasi tentang ABRI gadungan yang memoroti wanita habis-habisan...

"Ada kebanggaan jika berpasangan dengan profesi yang ngetop di Indonesia, misalnya ABRI, Pilot, dokter,"lanjutnya.

"Dengan mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk melakukan pendekatan bahkan biaya berwisata?" kataku yang akhirnya kuhentikan.

Bukankah biaya wisata kami ke Jogyakarta ini semula Marinda yang ingin membiayai, namun aku menolaknya. Toh akhirnya tante yang membiayai. Aku cemas ia semakin mencintaiku sementara aku belum memiliki rasa apa-apa selain sebagai teman baik. Selain semakin mencintaiku, bagaimana jika ia malah merasa sudah memilikiku, sudah merasa "membeliku" lantaran seringkali mengeluarkan uang untukku? Lalu berulah semaunya demi menunjukkan kepada massa bahwa aku telah "dibelinya"? 

"Adakah yang mengherankan?" ia balik bertanya.

"Aku heran kepadamu. Mengapa tidak memburu profesional yang bergengsi di Indonesia, mengapa memburu aku?" juga kukatakan asal saja. Semata agar ia tidak semakin mencintaiku.

"Aku ingin menjadi pekerja keras seperti mamamu,"jawabnya ringan seolah tanpa beban. Betulkah yang dikatakannya? Jangan-jangan ia berangan-angan menjadi ratu lebah karena warisanku? Dalam laut dapat diduga, dalam hati orang siapa yang tahu?

"Kalian selalu curiga. Aku tidak berangan-angan sejauh itu. Bukankah kita berteman sejak SMP? Sejak saat itu aku pun sudah baik kepadamu yang rajin mengerjakan PR,"jawabnya seolah dapat menyelami prasangka burukku.

Aku kembali diam termangu. Yang dikatakannya memang benar. Ia sudah akrab denganku sejak kami kelas satu SMP. Saat itu orangtuaku belum memiliki pabrik dan baru merintis usaha.

"Kamu ragu bukan karena aku berangan-angan ingin menjadi ratu lebah,"kilahnya memukul lenganku dengan ujung topinya.

"Kamu ragu karena aku tidak secantik yang Kaubayangkan. Andaikan aku berpostur tubuh seperti peragawati atau pramugari, tentu Kamu tidak keberatan aku berangan-angan bak ratu lebah," lanjutnya.

Aku terdiam. Yang dikatakannya mungkin benar. Yang kuherankan hanyalah, jika ia menyadari hal itu, mengapa bersusah payah ingin membiayai perjalanan kami? Apakah ia beranggapan, kalau pun saat ini, seleraku bukan seperti dirinya, tapi dengan uangnya, ia berharap seleraku bisa berubah?

Rasa sayang dan selera jelas berbeda. Rasa sayang melibatkan seluruh hati sedangkan selera menyenangkan mata. Kelak, bisa saja dengan perhatiannya akan timbul rasa sayangku kepadanya. Terlebih ia sudah baik kepadaku sejak SMP, sejak kami belum apa-apa. Akan tetapi, bagaimana dengan seleraku?

"Maksudku, aku laki-laki. Biarkanlah aku menjadi lelaki. Biarkanlah aku menjadi hunter. Suatu saat, bisa saja perasaanku luluh, lalu mengabaikan seleraku karena terhalangi oleh perhatian dan kasih sayangmu yang besar kepadaku,"aku menghentikan kata-kataku.

"Tapi jangan dengan cara memburuku, terlebih kini warisanku sudah di depan mata meski belum diberikan kepadaku. Itulah yang membuatku curiga jangan-jangan Kamu ingin berperan sebagai ratu lebah pula."

"Haruskah kubuktikan?" tantangnya.

"Buktikan sebagai wujud cintamu kepada dirimu sendiri, semisal upaya tanteku untuk berhemat demi tabungan masa tua. Kamu pun bisa kan? Kalau bisa mengais rezeki secara mandiri, maju mundur tentu cantik dan memesona, bukan? Hal itu bisa Kamu lakukan tanpa mepet terus kepadaku."

"Aku kadang takut Kamu diambil orang."

"Berarti nggak jodoh. Jika Kamu sudah mandiri, maju mundur cantik, aku diambil orang, memang menjadi masalah berat bagimu? Kali aja malah menemukan pengganti yang lebih tampan?"

"Cinta tak semudah itu melenyap."

"Jatuh cinta semudah melupakan kukira. Apa yang harus dikenang jika aku telah terbukti bersama wanita lain?  Lalu Kamu masih cinta? Apanya yang Kaucintai? Memangnya mau diduakan? Atau ingin menjadi pelakor? Maka, raih dan kejarlah hal yang sekiranya membuatmu mencintaiku."

"Misalnya jika aku mencintai warisanmu?"

"Berupayalah Kamu bisa memiliki warisan setara. Walaupun hanya dalam bayangan, jika ada mujizat tentu terlaksana. Jika tidak terlaksana, setidaknya Kamu tidak memberi kesan menyukaiku karena warisanku. Kesan yang harus Kauhapus dari semua orang termasuk kepadaku. Makanya, aku menolak saat Kamu menawari biaya wisata kita kan? Karena kesan itu menggangguku, membuatku lupa bahwa kita telah berteman sejak SMP, sejak orangtuaku masih merintis usaha dan belum sukses."

"Okelah, aku akan berusaha menepis kerinduanku kepadamu. Perasaan yang telah muncul sejak kita masih SMP."

"Setidaknya, beri aku kesempatan sebagai lelaki. Sebagai hunter. Aku akan memburumu jika yakin akan ketulusanmu."

"Atau malah melupakanku jika ternyata aku bukan seleramu?"

Aku hanya tertawa saja karena memang belum bisa menjawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun