Aku pun mengangguk. Jurusan managemen pilihanku pun tidak membuatku lolos SNMPTN. Baru lolos saat aku ikut tes SBMPTN. Itu pun di kota yang berjauhan dengan Dani.
"Kita berjauhan?" ekspresi Dani kecewa. Sekali lagi kutatap wajahnya yang memerah. Apakah ia bersedih harus terpisah dariku? Mungkin saja. Aku  belum bisa merasakannya karena kami masih belum mengawali perkuliahan yang harus menuju kota masing-masing.
Hari-hari berkuliah di kota dingin pun kumulai. Pada hari-hari pertama harus belajar, aku selalu teringat masa SMA. Masa-masa bersamanya.Â
Ia pun setiap hari menelepon. Lucunya, walaupun kami selalu belajar bersama, ia pun dengan sabar mengajariku bahkan memberiku sontekan, kedekatan kami pun sudah menyulut isu bahwa kami pacaran, sesungguhnya ia baru menyatakan cinta sehari menjelang ia berangkat ke Bandung.
"Wah, ini jurusan pilihanmu?"tanyaku membaca program studi yang harus ditempuhnya,"Mana aku bisa suka? Teganya Kamu dulu menyuruhku memilih jurusan ini juga?" aku merajuk. Ia tertawa
"Karena aku tak ingin jauh darimu,"jawabnya ringan.
"Kalau aku kena drop out?"
"Setidaknya Kamu bisa menyuportku untuk segera lulus kuliah, lalu kita menikah. Kamu nggak usah capek-capek kerja,"jawabnya.
Kembali aku melihat keluar. Jalan Ahmad Yani sedang padat merayap. Suamiku semoga tak dapat menangkap ekspresi wajahku yang sedang terkenang dirinya. Semoga ia menganggapku sedang gelisah ingin segera tiba di rumah.
"Sebetulnya Kamu memilih siapa? Putuskan segera. Aku atau Faris. Bila perlu, Faris kita undang ke sini. Kamu harus mengatakan dengan tegas di depan kedua lelaki ini, aku dan Faris. Putuskan memilih siapa? Biar aku kembali dengan lega,"pintanya tiba-tiba begitu berada di ruang tamu tempat kosku.
"Faris teman sekelasku. Wajar kami selalu bersama. Kami sering mengerjakan tugas. Itu sajaa. Mengapa Kamu cemburu?"kilahku.