Aku baru tersadar. Bukankah selama ini ia seringkali memberiku sontekan PR? Baik kuminta maupun tidak, ia selalu bertanya sudahkah aku mengerjakan PR? Kebiasaan yang membuatku bergantung toh ia pasti memberiku sontekan jika tidak mengerjakan.Â
Anehnya, kebiasaannya itu kuanggap biasa saja. Toh, ia lelaki. Kaum lelaki sudah biasa bersikap baik kepadaku yang lantas kumaknai mereka pun bisa baik kepada semua perempuan. Oleh karena itu, dalam hal perhatian dari lelaki, aku teramat sangat tidak peka, jika mereka tidak mengutarakannya.
"Hm...,"hanya itu yang diucapkannya sambil memasukkan buku-buku ke dalam tasnya, mengambil kacamata dari saku jaketnya kemudian mengenakannya pula.
"Ayo makan bakso. Aku dapat honor dari lomba menulis opini tentang energi terbarukan."
Aku pun membawa motorku mengikutinya, membuntuti di belakangnya sampai akhirnya kami tiba di tempat tujuan.
"Jika kita lulus kuliah, kita kerja, aku ingin kita bisa berjalan-jalan ke Jepang. Kita berdua menikmati keindahan bunga tabebuya."
Kembali kulihat bunga tabebuya yang bermekaran di jalan Ahmad Yani dalam perjalanan pulang dari mengunjungi kerabat. Suamiku yang memegang setir melirikku.
"Melamunkan apa atau melamunkan siapa?"
"Itu tuh, bunga tabebuya bermekaran. Indah kan?" jawabku tak ingin menyulut kecemburuannya. Bagaimanapun, peristiwa masa laluku dengan Dani pernah membuat kami saling merasa tidak nyaman. Saling merasa curiga bahwa tatkala kami berdua dalam keintiman, jangan-jangan bayangan masa lalu itu ikut melintas-lintas menghantui kemesraan kami.
Akan tetapi, hanya Dani yang lolos. Di ruang BK, aku yang menduduki peringkat keenam sebagai pemilih fakultas teknik pertambangan dipanggil bu Mira.
"Peringkat kesatu diduduki Dani, peringkat kedua Kayla. Yang lain-lain anak-anak lelaki, baru kemudian kamu di peringkat keenam. Kecil kemungkinan Kamu lolos. Bagaimana jika memilih jurusan lain saja?" tanya bu Mira.