Dani pun berpamitan keluar. Anehnya, tatkala langkah kaki Dani mendekati pintu, aku spontan teringat masa lalu itu. Masa lalu lengkap dengan semua impian kami ke depan.
"Dani!!,"teriakku memburunya dengan airmata yang semakin berlinangan.
"Jangan tinggalkan aku," kutarik jaketnya dari belakang. Tatkala ia membalikkan badan, aku pun segera menghambur ke pelukannya dengan air mata yang semakin tumpah ruah. Ia mendekapku dalam diam, disaksikan oleh Faris yang kebingungan lalu diam-diam melangkah pergi kembali ke rumah barunya yang dibelikan orangtuanya tiga bulan lalu.
Hari-hari di perkuliahan kembali harus kujalani dengan cara mulai menghindar dari Faris. Aku harus berlatih mandiri. Dani pun setiap hari minimal sekali mengirimiku teguran via gawainya, kadang menelepon, kadang sekadar pesan singkat.
Akan tetapi, Faris yang belum bisa menemukan penggantiku, kembali mendekatiku. Akhirnya, kami kembali bersama-sama seperti sebelum aku memutuskan memilih Dani.Â
Entah kabar darimana atau siapa, akhirnya Dani mengetahui juga kedekatan kami. Ia marah walaupun tidak mengajak berpisah. Ia hanya mengataiku manja lalu berjanji akan segera mencari kerja.Â
Faris melihatku bersedih semakin menghiburku, semakin membuatku melupakan Dani, sampai akhirnya orangtua Faris datang ke Jawa untuk melamarku saat Dani tengah mengerjakan tugas akhir.
Peristiwa yang telah berlalu. Bukannya aku tidak berbahagia dengan Faris yang selamanya mencintaiku bahkan ditinjau dari ekonomi pun kami hidup lebih dari keberkecukupan, tidak kalah dengan kehidupan Dani yang kini bekerja di Dubai.
Akan tetapi, setiap kenangan yang terlihat, selalu saja datang menggurat, meremas, seolah menuduhku pengkhianat, hal yang membuatku tak bisa selalu merasakan nikmat dalam menjalani keberkahan hidupku.Â
Seperti saat ini, saat mobil kami dalam kondisi padat merayap di Jalan Ahmad Yani, tabebuya yang bermekaran mengingatkanku akan ucapan Dani bahwa ia ingin mengajakku berjalan-jalan ke Jepang di antara tabebuya yang bermekaran.Â
Airmataku kembali memburamkan bening kacamataku yang segera kuganti dengan kacamata berlensa hitam. Lensa yang membuatku membiarkan airmata memburamkannya tanpa cemas terlihat suamiku.