Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Haruskah Aku Mencegahnya?

3 November 2020   02:40 Diperbarui: 3 November 2020   11:16 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Angin pagi membawaku kembali melangkah ke pantai itu. Pantai penuh kenangan karena di sanalah kali pertama kami bertemu. Aku berenangan di tepian bersama teman-teman. Kakiku mendadak seolah tergelincir. Tubuhku sangat susah kugunakan untuk berdiri. Lututku serasa lunglai. Aku pun hanya bisa jongkok dengan membiarkan pasir laut seakan semakin lama semakin menyedot tubuhku.

Air laut yang semula hanya sebatas leher sudah mulai naik dan naik menuju dagu, hidung. Air yang memasuki hidung membuat seolah tersedak, tapi bukan tenggorokan yang merasakan tersedak melainkan hidung. Kepalaku terasa berat. Sayup-sayup terdengar suara,"Dorong tubuhnya ke tepian."

Aku tersadar. Seorang diri terbaring di amben bambu milik penjual es kelapa muda. Beberapa temanku tampak riang melihatku membuka mata. Dia tersenyum menyodorkan segelas air kelapa muda tatkala aku sudah dapat duduk.

"Dialah yang menolongmu. Kamu sih, hampir tenggelam tidak berteriak minta tolong. Kalau saja mas ini tidak menolek ke arahmu, lalu dengan sigap mengangkat tubuhmu, entahlah bagaimana jadinya."

Karlie memberondongku dengan omelan yang kutanggapi dengan senyum. Aku pun tak sadar mengapa tidak sanggup berteriak meminta tolong? Bahkan untuk berdiri pun aku tak sanggup padahal aku masih berada di tepian pantai yang airnya  hanya setinggi pinggang.  Kakiku yang serasa terkilir malah membuatku jongkok sehingga air laut pun dengan leluasa mengacak-acak wajah dan kepalaku.

Sejak saat itu, kami sering bertemu. Aku sulit melupakan upayanya dalam menolongku berlanjut dengan sikapnya yang selalu perhatian bahkan cenderung romantis. Entah mengapa. Mungkinkah karena aku telah bekerja sejak usia belia? Sejak lulus diploma dua? Sehingga aku sulit mencerna ketulusan para pemburuku? Seringkali aku tidak percaya terhadap ketulusan mereka. Seringkali aku berkhayal andaikan aku belum bekerja belum berpenghasilan, akankah mereka antusias memburu?

Prasangka buruk yang diperparah dengan kondisiku sebagai anak sulung dengan sejumlah adik, membuatku seolah lebih mementingkan mereka daripada diriku sendiri. Maka, manakala ada seseorang yang terkesan begitu peduli kepada keselamatanku, aku pun takluk tanpa perlu dirayu.

"Sebagai lelaki, kelak aku ingin berpoligami. Boleh kan?" pintanya senja itu, juga di pantai ini. Kami berjalan-jalan di sepanjang pantai yang pasirnya terasa masih hangat setelah seharian bercengkerama dengan mentari.  Aku tertegun sesaat tanpa bisa segera menjawab, hingga ia mengulangi permintaannya.

Entah karena pesaingku belum tampak wujudnya, entah karena cemas kehilangan dirinya karena pernikahan sudah semakin dekat? Pesaing yang masih berada dalam angan-angannya karena menjelang pernikahan itu hanya aku yang dimilikinya. Yang pasti, tanpa sosok yang nyata, yang jelas-jelas dibandingkannya dengan diriku, yang terlintas di hati bukan kecemburuan, melainkan persetujuan. Dalam anggapanku, bisa saja ia menguji kesabaranku.

Anak-anak pun lahir beruntun tiga orang dalam jarak berdekatan. Tiba-tiba ia kembali teringat akan permintaannya.

"Waktuku akan banyak tersita untuk mencari uang."

"Anak-anak tolong dibiasakan mandiri tidak harus bergantung kepadaku,"lanjutnya senja itu, masih di pantai ini.

Pantai favorit kami tatkala ingin bercakap-cakap hal yang penting. Kami tentu akan berjalan menyusuri sepanjang pantai. Yang sulit terlupakan adalah lengannya selalu dilingkarkan ke bahuku.

"Jangan terlalu bersibuk sampai mengabaikan anak-anak. Bukankah aku pun membantumu mencari nafkah?" kilahku. Ada getar tak nyaman yang tiba-tiba melintas tanpa kuundang. Ketidaknyamanan yang menyulut jantung berdebaran.

"Hm...bukankah dulu aku pernah meminta izin berpoligami? Kamu pun sepakat dulu itu kan, Sayang?"katanya dengan lengan yang masih melingkar di bahuku.

 "Sudah adakah orangnya? Mana? Aku ingin lihat, ingin kenal. Barangkali aku mati cepat, bisakah ia menggantikanku sebagai ibu dari ketiga anakku?" ucapku beruntun.

"Tentu belum ada,"jawabnya,"Memangnya mudah mencari jika aku tidak banyak uang?" lanjutnya.

Dalam hati aku ingin menertawainya yang berniat mencari uang sebanyak-banyaknya demi keinginannya beristeri empat. Akan tetapi, tawa itu tertahan dalam hati. Yang kulakukan kemudian hanyalah mengingat lalu lalang para ibu, para wanita yang keluar masuk mall mencoba aneka baju sebelum membelinya. Niatan semula ingin membelikan baju untuk anaknya pun bisa saja berubah karena godaan untuk berbelanja.

Jika wanita hobi membeli baju baru, maka lelaki pun hobi memberi wanita uang pembeli baju baru. Aku mungkin merupakan pengecualian karena demi anak-anak, kuhemat uang belanjaku, kucukup-cukupkan selain mengatur menu agar tidak membosankan dimakan seharian, aku pun membiasakan menjahit bajuku.

"Bagaimana jika wanita-wanita itu pemboros nantinya?" jawabku spontan dengan nada kecemasan dibumbui kecemburuan.

"Tidak apa-apa. Karena itulah, aku akan mencari uang sebanyak-banyaknya demi menyenangkan wanita," jawabnya tetap dalam suara lembut yang membuatku tak kuasa marah kepadanya. Selama ini ia memang belum pernah membuatku marah.

Kemarahan kepadanya bahkan hampir putus hanya terjadi sekali. Saat itu ia dekat dengan seseorang, sebelum kenal denganku. Tatkala hatinya condong kepadaku, ia ingin meninggalkan pacarnya itu namun kesulitan mencari cara yang mudah dan wajar. Oleh karena itu ia memintaku untuk berpura-pura memburunya, berlagak sebagai pelakor agar hubungan mereka bubar.

Hal yang tidak diingini orangtuaku. Aku pun tidak berminat menikah dengan cara begitu. Maka, aku pun mengatakan rela mundur agar ia kembali kepada pacarnya, tapi janganlah memosisikan aku bahkan memaksa aku untuk menjadi pelakor. Aku tak sanggup, isakku senja itu di teras rumah orangtuaku.

Ia pun mengalah dengan cara mengajak seorang teman perempuannya untuk bersandiwara bahwa mereka telah jadian. Perilaku yang tidak membutuhkan waktu lama untuk meminggirkan pacarnya tanpa campur tanganku. Aku tidak ingin dicap sebagai pelakor.

Sandiwaranya berhasil. Mantan pacarnya itu akhirnya mengundurkan diri diselimuti kecemburuan sehingga kami pun akhirnya leluasa menikah.

"Mengapa enggan diposisikan sebagai pelakor? Takut terkena karma?" godanya saat itu. Awal kami menikah.

"Tentu saja. Andaikan kelak Kamu menduakanku, itu  urusanmu. Jangan libatkan aku,"jawabku.

Tiba-tiba ia pulang dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia pun berbaring sambil memintaku duduk di samping ranjangnya. Napas yang kian tampak menyesak membuatku membawanya ke rumah sakit.

"Serangan jantung,"bisik kakaknya. Aku terkejut. Apalagi kakaknya itu menceritakan bahwa adiknya baru saja menyampaikan berita duka. Usaha yang dirintisnya dengan modal tidak sedikit, itu pun pinjaman dari bank, telah hancur karena tertipu.

Kami berada di rumah sakit hanya sehari semalam itu pun malam tidak penuh. Selepas Isya, ketika aku dan anak-anak tengah berada di luar, kudengar ranjang rumah sakit seolah terhempas. Kami pun berlari memasuki kamarnya.

"Saat sakaratul maut, ranjang yang ditempatinya mendadak ambyar,"bisik kakaknya dengan ekspresi sedih mendapati adiknya telah tidak tertolong.

"Sebetulnya apa yang dicarinya? Mengapa ia demikian getol mencari uang? Kamu menuntut dibelikan apa sih?"kakaknya menatapku tajam seolah memarahiku. Sebagai sesama wanita, aku merasa iba kepadanya. Tentu ia merasa berduka kehilangan adik satu-satunya. Akan tetapi, tuduhannya bahwa aku banyak tuntutan sehingga suamiku bisnisnya tertipu lalu meninggal, tentu tak akan kubiarkan diriku  tenggelam dalam prasangka yang tak kulakukan.

"Mbak,"bisikku kelu. Cinta mendalam seperti awal bertemu memang tidak bersisa. Yang ada hanyalah fakta bahwa ia ayah anak-anakku yang bersiap-siap menduakanku. Walaupun demikian, air mataku tetap saja berlinangan mengenang romantisme yang ditampilkan dulu. Dulu, pertama kali kami bertemu di pantai ini.

"Ia pernah minta izin untuk berpoligami. Karena itu aku diminta lebih perhatian kepada anak-anak.  Ia ingin bisa leluasa keluar dari rumah sepulang kerja untuk mencari rezeki tambahan."

"Mengapa Kamu mengiyakan?" di luar dugaan, kakaknya berteriak histeris,"Seharusnya Kamu melarang!! Wanita macam apa Kamu!  Seharusnya Kamu mengatakan tidak mau dimadu, bukan malah mengizinkan yang membuatnya mati karena ingin banyak uang!!"ia masih marah sambil menarik ujung selendang yang kugunakan untuk menggendong anak bungsuku. Ia marah seolah kesurupan, membuatku ketakutan.

Duh...aku pula yang salah? Seharusnya aku mencegahnya? Air mataku pun berlinangan. Cinta lama yang menghilang karena permintaannya mendua, kini membayang lagi. Terbayang lagi sikap manisnya. Terbayang lagi perhatiannya. Dan aku membiarkan lamunan atas dirinya membayangiku sampai sore datang meredupkan sang surya. Saat aku harus pulang kembali ke rumah menemani anak-anakku lagi seperti biasanya. Anak-anak yang begitu cepatnya menjadi tak berayah. Anak-anak yang ada dan tiadanya ayahnya, tetap saja bakal tak berayah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun