Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Haruskah Aku Mencegahnya?

3 November 2020   02:40 Diperbarui: 3 November 2020   11:16 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hal yang tidak diingini orangtuaku. Aku pun tidak berminat menikah dengan cara begitu. Maka, aku pun mengatakan rela mundur agar ia kembali kepada pacarnya, tapi janganlah memosisikan aku bahkan memaksa aku untuk menjadi pelakor. Aku tak sanggup, isakku senja itu di teras rumah orangtuaku.

Ia pun mengalah dengan cara mengajak seorang teman perempuannya untuk bersandiwara bahwa mereka telah jadian. Perilaku yang tidak membutuhkan waktu lama untuk meminggirkan pacarnya tanpa campur tanganku. Aku tidak ingin dicap sebagai pelakor.

Sandiwaranya berhasil. Mantan pacarnya itu akhirnya mengundurkan diri diselimuti kecemburuan sehingga kami pun akhirnya leluasa menikah.

"Mengapa enggan diposisikan sebagai pelakor? Takut terkena karma?" godanya saat itu. Awal kami menikah.

"Tentu saja. Andaikan kelak Kamu menduakanku, itu  urusanmu. Jangan libatkan aku,"jawabku.

Tiba-tiba ia pulang dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia pun berbaring sambil memintaku duduk di samping ranjangnya. Napas yang kian tampak menyesak membuatku membawanya ke rumah sakit.

"Serangan jantung,"bisik kakaknya. Aku terkejut. Apalagi kakaknya itu menceritakan bahwa adiknya baru saja menyampaikan berita duka. Usaha yang dirintisnya dengan modal tidak sedikit, itu pun pinjaman dari bank, telah hancur karena tertipu.

Kami berada di rumah sakit hanya sehari semalam itu pun malam tidak penuh. Selepas Isya, ketika aku dan anak-anak tengah berada di luar, kudengar ranjang rumah sakit seolah terhempas. Kami pun berlari memasuki kamarnya.

"Saat sakaratul maut, ranjang yang ditempatinya mendadak ambyar,"bisik kakaknya dengan ekspresi sedih mendapati adiknya telah tidak tertolong.

"Sebetulnya apa yang dicarinya? Mengapa ia demikian getol mencari uang? Kamu menuntut dibelikan apa sih?"kakaknya menatapku tajam seolah memarahiku. Sebagai sesama wanita, aku merasa iba kepadanya. Tentu ia merasa berduka kehilangan adik satu-satunya. Akan tetapi, tuduhannya bahwa aku banyak tuntutan sehingga suamiku bisnisnya tertipu lalu meninggal, tentu tak akan kubiarkan diriku  tenggelam dalam prasangka yang tak kulakukan.

"Mbak,"bisikku kelu. Cinta mendalam seperti awal bertemu memang tidak bersisa. Yang ada hanyalah fakta bahwa ia ayah anak-anakku yang bersiap-siap menduakanku. Walaupun demikian, air mataku tetap saja berlinangan mengenang romantisme yang ditampilkan dulu. Dulu, pertama kali kami bertemu di pantai ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun