Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengapa Si Cantik Dikalahkan?

1 Oktober 2020   20:13 Diperbarui: 4 Oktober 2020   04:56 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi karakter perempuan. (sumber: KOMPAS/Handining)

Setelah menulis tentang tokoh Tuti, Maria, dan Yusuf dalam novel Layar Terkembang kemudian mengunggah ke Kompasiana, saya pun mengirimkan link tersebut kepada siswa kelas XII. 

Selain sebagai tambahan bahan bacaan tatkala mengerjakan tugas yang berkaitan dengan pandangan pengarang novel terhadap kehidupan dalam novel yang dibaca, tentu juga berharap mereka pun meniru untuk menulis. Hehe.

Begitu mereka telah bergabung dalam Google Meet, saya pun bertanya apakah mereka telah membaca link yang saya kirimkan? Pada umumnya mereka menjawab sudah. 

Tatkala saya bertanya bagaimana pendapat mereka tentang tokoh Maria, mereka pun ikut menjawab, "Matre,Bu." Mengapa harus sama dengan judul dalam ulasan saya? Kalian tidak dilarang menjawab berbeda. Ada seorang siswa lelaki menjawab,"Tidak rasional Bu, saya suka yang rasional, bukan yang emosional."

Sebetulnya pembahasan belum sampai kepada kompetensi dasar tersebut. Oleh karena itu, pembahasan pun kembali kepada materi yang berkaitan dengan kompetensi dasar sesuai yang telah terprogram.

Tiba-tiba seorang siswa bertanya, "Bu, mengapa nama Ibu diganti Kiranti?" Wah...ini pertanyaan pura-pura salah baca atau sengaja diplesetkan? 

Akhirnya saya pun menjawab bahwa itu nama saya jika dibalik, dari Nanik menjadi Kinan dan Thi, merupakan singkatan dari Wijayanti. Jika digabung akan menjadi nama sebuah tembang macapat,"Kinanthi".

Masih berkaitan dengan nama Kinan, saya tiba-tiba teringat akan novel "Perahu Kertas" karya Dewi Lestari. Novel yang menarik dengan tokoh-tokoh yang pada umumnya protagonis, kecuali Wanda, si tokoh paling cantik dengan tubuh tinggi langsing yang diposisikan sebagai tokoh antagonis. 

Bukan antagonis parah sebetulnya, hanya saja ulahnya malah membuat tokoh Keenan, semakin tidak menyukainya, padahal pada awalnya Keenan,seperti umumnya kaum lelaki, juga suka melihatnya.

Wanda yang agresif dan membeli semua lukisan Keenan agar lelaki tersebut menyukainya, mengesankan bahwa Wanda ingin dianggap sebagai pahlawan, sekaligus ingin menguasai Keenan yang sulit ditaklukkan, tidak seperti lelaki lain yang dikenalnya, lalu beranggapan bahwa yang dirasakan menggebu di hatinya itu adalah cinta. Pada kenyataannya, Keenan menjadi marah bahkan menjauhinya.

Mengapa wanita cantik dengan postur tubuh manekin oleh pengarang malah diposisikan bernasib tidak baik, ditolak cintanya oleh Keenan yang lebih memilih Kugy, wanita mungil dengan tampilan yang cenderung semaunya? Enak juga menjadi pengarang, bisa menentukan jalan hidup orang sesukanya. 

Sebetulnya tidak sesimpel itu juga. Bagaimanapun, nasib baik maupun buruk tokoh harus terkesan logis dan umum, bukan hanya sesuai dengan selera pengarang.

Pengarang meminggirkan wanita cantik, tentu bukan karena iri. Selain kecantikan adalah anugerah, yang berarti semua manusia pada dasarnya indah, kecantikan pun tidak untuk disombongkan apalagi diberdayakan untuk memanfatkan orang lain. 

Pada era masa kini setelah produk kecantikan dan sarana mempercantik berserak dan bisa dibeli oleh yang memiliki uang, menyorot tokoh yang masih mengandalkan kecantikan, tentu dapat dicari nilai-nilai yang akan disampaikan pengarang berkaitan dengan karakter tokoh tersebut.

Dalam novel Layar Terkembang juga dapat dicari alasan mengapa pengarang "mematikan" tokoh Maria, bukan? Maria dianggap jalan pikirannya tidak seirama dengan Yusuf. 

Yusuf sebagai dokter kelak tentu sibuk, ditunjang dengan keinginannya untuk ikut serta memajukan bangsanya yang saat itu belum merdeka, tentu sangat sibuk. Maria, apa kesibukannya? Ia hanya senang berdandan, setelah itu ia akan melewatkan waktunya untuk merindukan Yusuf.

Waktu 24 jam sebetulnya sangat singkat jika Maria mau meniru kakaknya, Tuti, selain sibuk membereskan pekerjaan rumah, juga mengajar dan menulis. 

Dalam kesendiriannya, ia tidak merasa kesepian, bahkan berani "memutuskan" pertunangan dengan Hambali yang dianggap jalan pikirannya tidak seirama dengannya. Tuti menganggap Hambali hanya memikirkan pekerjaan kemudian mengharap kapan menerima gaji. 

Maria yang tidak setuju dengan jalan pikiran kakaknya semakin membantah ketika diingatkan agar mencari kesibukan.Ia membantah ketika diingatkan agar tidak menggunakan waktu luangnya untuk memikirkan Yusuf yang bisa jadi, sibuk bekerja.

Seseorang yang tengah bekerja kemudian diganggu dengan ditelepon-telepon walaupun menyatakan rindu, tentu terganggu apalagi jika dilakukan berkali-kali dalam sehari. 

Selain menelepon juga stalking, memfollow semua media sosial pasangannya, lalu mencurigai sedang apa pasangannya? Jangan-jangan tengah bersama wanita lain? Prasangka yang akhirnya menjadikannya posesif. Semakin memfokuskan waktunya untuk mencurigai pasangannya. Ulah yang membuat pasangan merasa gerah dan merasa dibatasi gerak-geriknya.

Selain itu, bisa jadi semakin mengirimi dengan ungkapan-ungkapan betapa beruntung pasangannya memiliki perempuan seperti dirinya, yang mau menghamba kepadanya sampai mengabaikan pekerjaannya, padahal pekerjaannyalah  yang memberikan kemandirian. 

Kemandirian yang malah menjadikan wanita memiliki nilai lebih di mata lelaki.

Ketika sibuk memikirkan pasangannya yang sedang bekerja, tentu pekerjaan kantor dan pekerjaan rumah dari cucian sampai seterikaan menumpuk tidak segera dikerjakan karena sibuk memikirkan pasangannya. 

Kebiasaan mengabaikan pekerjaan sendiri sampai menumpuk, lama-lama bertumbuh menjadi kemalasan. Bagaimana jika satu dan lain hal, rezeki pasangannya menjadi surut karena covid-19 misalnya? Tentu tidak mudah membiasakan diri dari bermalasan menjadi rajin dalam sekejap.

Maria pun mengatakan kepada kakaknya ia tidak takut menjadi sahaya karena cinta. Ungkapan yang membahayakan juga. Kebetulan Yusuf lelaki yang baik. Akan tetapi, ia juga manusia. 

Konon, kesalahan itu dilakukan manusia karena adanya niat dan kesempatan. Walaupun tidak ada niat mengakali, jika diberi kesempatan, bagaimana jika keisengannya timbul? Iseng meminta Maria datang menemuinya, semula hanya bertemu, tatkala Maria dengan ringan menurutinya, ia pun mengajak bertemu lagi dan lagi.

Semula hanya memegang tangan dan foto bersama, pertemuan berikutnya apalagi yang akan dilakukan lelaki terhadap wanita? 

Jika suatu ketika mendapati Yusuf telah bosan karena ia telah menuruti segala permintaan Yusuf dari kedatangan sampai uang, siapa yang disalahkan, toh keduanya telah cukup umur? 

Mungkin karena berbagai pertimbangan selain hal di ataslah, jika akhirnya pengarang "tega" mematikan Maria, yang digambarkan sebagai sosok cantik.

Pria menghagai wanita yang memiliki standar wanita dan batasan. Ketika wanita berani mengatakan tidak untuk hal yang tidak seharusnya dilakukan, bila situasi dirasa tidak pantas, maka pria akan mengatahui dan memaklumi, karena wanita itu memiliki nilai bagi diri sendiri. 

Jika ia adalah pria sejati yang ingin menjadi jodohmu, ia akan menghargainya. Maria, selain dianggap akan merepotkan dirinya sendiri karena prinsip "menghamba" yang salah arah, juga akan merepotkan Yusuf kelak sebagai dokter yang pekerjaannya berkaitan dengan nyawa manusia.

Demikian pula yang dialami si cantik Wanda. Ia sebagai anak orang kaya, pemilik sanggar lukisan, dengan seenaknya membeli lukisan Keenan agar Keenan mencintainya. 

"You know that, Nan? Aku udah nggak bisa ngitung berapa cowok yang setengah mati berjuang ngedeketin aku hanya untuk dapat 10 persen perhatian yang aku kasih ke kamu...

"Wanda, sebetulnya tidak kesulitan memperoleh cinta dari lelaki lain. Akan tetapi, sikap Keenan yang cenderung cuek, seolah membuatnya menjadi tertantang. Keenan yang menangkap ketidaktulusan itu semakin ragu. Keraguan yang seolah penolakan itu membuat Wanda semakin mengejarnya dengan gaya arogansi "orang kaya".

Padahal seharusnya yang mengingini menjadi pahlawan itu pria. Pria pun butuh dikagumi.  Ulah Wanda yang dengan seenaknya membeli lukisan Keenan, bukan sekadar membuatnya merasa diremehkan, namun juga membuat Keenan merasa dibeli. Ia pun marah karena cinta dan komitmen memang tidak dapat dibeli. ...Keenan memungut gulungan-gulungan itu dengan hati remuk redam....

"Kamu bisa beli lukisan-lukisan ini, Wanda,"desis Keenan sambil membuka pintu,"Tapi kamu nggak akan pernah bisa membeli saya," Dipanggulnya keempat lukisan itu, berjalan pergi dan tak menoleh lagi.

Bahan Bacaan
merdeka.com
merdeka.com
Lestari, Dewi. 2010. Perahu Kertas. Jakarta: Bentang Pustaka dan Truedee Pustaka Sejati

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun