Boy termenung di teras rumah orangtuanya. Ia segera pulang begitu jam tutup kantor, tidak mengerjakan apapun seperti kebiasaannya jika Tania sedang kuliah sore hari. Kali ini ia tidak pulang ke rumah melainkan menuju rumah orangtuanya. Beberapa kali ia dibuat kesal oleh informasi seseorang yang disampaikan melalui media sosialnya, tanpa nama, tapi isinya selalu berwujud laporan tentang kedekatan Tania dengan Ade.
Semula ia berlagak masa bodoh. Namun, lama kelamaan kesal juga yang menjalari hatinya. Simpulan yang melintasi hatinya pun hanya ada tiga. Pertama, seseorang yang tidak menyukai Ade. Kedua, seseorang yang tidak menyukai Tania. Ketiga, orang yang tidak menyukai keduanya. Dugaan kedua baginya sangat lemah, karena Tania berkuliah lagi ke S2 kan atas anjurannya.
Itu pun sama sekali Tania tidak menampakkan diri sebagai seseorang yang ambisius, sedemikian berambisi sampai-sampai tidak peduli bahwa  yang dilakukannya itu keliru. Kalaupun Tania berangkat lebih awal ke kampus, itu karena ia ingin mengerjakan PR daripada datang terlambat karena terlalu keasyikan mengerjakannya di rumah. Selama ini, ia percayai pengakuan isterinya karena tak ada yang aneh dari ulahnya, selain dua hal yang semula dipermasalahkannya, yaitu perubahan tampilan dan kedatangannya ke kampus lebih cepat. Setelah Tania menceritakan semuanya, ia pun lega dan percaya.
Mungkinkah informan itu seseorang yang tidak menyukai Ade? Jangan-jangan Ade terkesan ambisius, kemudian ada satu dua teman kuliahnya yang tidak menyukainya, berlanjut berkeinginan mengadu domba dirinya dan Ade agar berkelahi demi Tania. Hal itu mungkin saja.
Walaupun ia tidak begitu menyukai gaya petualangan Ade dalam menekuni pekerjaan, atau lebih tepatnya tidak ingin mengikuti, tapi ia tak ingin memasuki urusan Ade terlalu jauh, sepanjang hal itu tidak melibatkan isterinya. Akan tetapi, manakala Tania mulai terseret-seret dalam kasus yang diciptakan Ade, entah disengaja maupun tidak, ia menjadi kesal.
Tania memang pernah bercerita sekilas tentang seorang mahasisiwi S1 yang baru lulus. Si gadis setelah pulang kampung sambil menunggu panggilan pekerjaan malah terbawa perasaan pada keramahan Ade kepadanya. Hal itu berlanjut dengan Ade yang merasa terteror ulahnya, lalu  memintanya bersandiwara seolah menjadi teman dekatnya.
"Huh, childis,"gerutu Boy sambil membuka-buka beberapa buku tentang energi masa depan. Buku-buku yang dipinjamnya dari perpustakaan tempat kerjanya itu pun hanya dibuka-buka saja tanpa membekas menjadi tambahan isi kepalanya.
        "Kamu mengapa gelisah, Boy?" sebuah teguran yang sudah sangat dikenalnya. Pasti ibunya ikut gelisah karena ulahnya.
        "Mengapa mampir ke sini? Ada perlu atau sekadar menengok kami?"
        "Ingin menengok saja, sudah lama tidak ke sini,"jawabnya dengan tubuh yang mendadak terasakan letih.
        "Segera mandi dan makan, biar segar,"ujar ibunya sambil beranjak menuju masjid sebelah rumah karena azan Isya sudah diperdengarkan.
        Boy pun menuruti saran ibunya. Selain itu, ia pun mendadak lapar karena baginya maupun bagi sebagian anak-anak walaupun sudah beranjak dewasa, masakan mama tetaplah paling enak dan sulit tergantikan. Setelah mandi,  ia pun makan dengan lahap. Sayur lodeh kacang panjang dan rebung ditemani goreng ikan tongkol serta tahu dan tempe, membuatnya teringat masa kecil di rumah orangtuanya.  Untuk sesaat, kekesalan di hatinya serasa lenyap.
        "Tania pulang kuliah jam berapa?" ibunya yang sudah kembali dari masjid menanyainya.
        "Biasanya jam sembilan," jawabnya sambil kembali membuka-buka buku yang dibawanya.
        Bisa-bisanya membuat baper seorang gadis. Itu ulah orang kurang kerjaan mungkin, gerutunya dalam hati, kendati ia belum mengenal Ade dan gadis yang baper pada keramahan Ade.
        "Tani berniat menolong saja mungkin, agar masalah tidak menjadi rumit,"ibunya menjawab keluhannya sambil menatap sekilas wajah anak lelakinya yang tampak kuyu.
        Boy memang tidak terbiasa meluangkan waktunya untuk iseng. Sedemikian tertata waktunya, sampai-sampai tidak sempat membuka media sosial kecuali pada jam-jam tertentu, bahkan akhirnya untuk memperoleh jodoh pun ibunya dan pak Wira yang turun tangan mendekatkannya dengan Tania.
        "Jangan berkomentar seperti itu sebelum mengenal keduanya,"jawab ibunya menengahi.
        "Tapi siapa yang beberapa kali mengirim foto kebersamaan mereka di kantin kampus?" gerutu Boy yang segera dijawab ibunya,
        "Anggap saja orang iseng. Orang yang tidak suka pada Ade, pada Tania, dan pada keduanya." ibunya menjawab sambil beranjak menuju ruang makan begitu melihat ayah Boy sepulang dari masjid langsung menuju meja makan.
        "Memang Boy ada masalah apa dengan Tania?" tanya ayahnya sambil mengambil sendok dan garpu.
        "Sedang kesal pada isterinya. Ada informasi yang menjengkelkan, seperti yang diceritakan kemarin."
        "Tania mengapa melibatkan diri terlalu jauh pada masalah Ade?"
        "Mungkin tanpa kesengajaan. Ade bercerita dan ia mencoba menengahi."
        "Itu kan ulahnya sendiri. Mana mungkin ada gadis berani baper tanpa pancing-pancing dari ulah Ade,"sahut ayah Boy sambil meneguk air hangat dari gelas.
        "Itu kan cewek zamanku. Zaman sudah berubah. Kita mana paham ulah anak muda zaman sekarang? Jangan sampai terdengar Boy, ia bisa makin kesal. Anak itu memang pendiam, tapi lihat kalau sedang kesal, menjengkelkan, bukan? Gara-gara menerima informasi gelap dengan foto-foto. Padahal tidak menunjukkan keintiman antara Ade dan Tania, hanya makan berdua di kantin kampus. Ia sudah mencoba mendiamkan isterinya dengan pulang kemari. Jangan-jangan ia nggak mau pulang?" ibunya menoleh ke ruang tengah, ke tempat Boy yang sedang duduk di karpet di depan TV.
        "Ingatkan agar pulang lalu menanyai isterinya secara baik-baik, menegurnya dengan baik-baik pula jika dirasa ulah Tania sudah membuatnya kesal. Jangan biarkan ia tidak pulang."
        Ibunya pun mendekat dan mendapati Boy sibuk membuka-buka media sosial, sehingga buku-bukunya tidak disentuh, masih tersusun rapi di atas tasnya seperti sebelum ibunya beranjak menuju meja makan.
        "Buku itu mengapa tidak segera dibaca?"
        Boy tidak segera menjawab. Jemarinya sibuk mencari-cari kenalan di media sosial. Ibunya yang memerhatikan ekspresi anak lelakinya, perasaannya menjadi tidak nyaman.
        "Kamu mengikuti jejak Ade?" spontan ibunya melontarkan pertanyaan yang membuat Boy agak terkejut.
        "iya."jawabnya tanpa mengangkat wajah dari gawainya.
        "Kamu ini gimana sih, Boy?"ibunya gusar,"Bagaimana kalau cewek-cewek yang Kauajak kenalan itu kebaperan? Kamu kesal pada Ade yang terbelit masalah tiada akhir gegara cewek kebaperan, karena untuk terlepas dari masalah itu ia melibatkan Tania, kini Kamu malah ikutan," ibunya berkata-kata secara beruntun seolah menahan napas.
        Adik Boy, Widuri, yang masih SMA kelas X tiba-tiba mendekat dan nyeletuk,
        "Walah, ngadepin orang baper tuh nggak sulit. Nggak perlu dibikin ribet, apalagi pusing," ujarnya semakin mendekati kakaknya yang tengah sibuk dengan gawainya.
        "Bagaimana caranya?" Boy bertanya dengan ekspresi bersungguh-sungguh.
        "Dimintai belikan pulsa,"jawabnya tenang seolah tidak menyadari jika ibunya sudah bersiap memarahinya.
        "Minta pulsa? Jika yang baper sepuluh, bagaimana?" tanya ibunya membatalkan marahnya yang kemudian diubahnya menjadi pertanyaan.
        "Yang dimintai pulsa yang paling baper saja. Biasanya yang paling baper kan yang paling cinta."
        "Ah, sok tahu Kamu,"jawab Boy mencubit lengan adik bungsunya. Tak disangka, waktu sedemikian cepat berjalan. Adik bungsu yang dulu saat bayi sering dicubiti pipinya itu, tahu-tahu kini sudah kelas X SMA.
        "Boleh juga idemu. Tapi Ide itu tidak berlaku untuk Ade, ya Bu," Boy tertawa sambil menoleh ke arah ibunya.
        "Tidak berlaku untuk Ade dan juga untuk Kamu. Kalian sudah memiliki isteri. Yang benar memang tidak usah membuat wanita lain menjadi baper."
        "Wah, asyik dong. Memang ada yang baper padamu, Mas? Mintai pulsa saja Mas. Bagi ke aku,"goda Widuri. Boy mengacungkan genggaman tangan ke arahnya, membuatnya berlari menjauh sambil menjulurkan lidah.(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H