Perubahan penampilan yang membuat Boy merasa terganggu intuisi ataukah hanya buruk sangka? Teman-temannya pun bertanya-tanya ada apa gerangan yang membuat Tania mengubah drastis tampilannya?
   "Saya pernah dengar Ade mengkritik penampilannya yang tomboy."
   "Oo...karena itukah?"
   "Ade sudah tahu Tania  bersuami. Kulihat akhir-akhir ini ia menjauh."
   "Tapi Tania yang terbakar penasaran makin berjuang untuk menundukkan tuh."
   "Untuk apa? Toh ia sudah bersuami."
   "Karakter hunter seolah mengaliri darahnya."
   "Nggak heran, kakaknya si Rendy itu playboy parah."
   "Tapi Tania semula tidak segitunya. Dulu ia sering tampak nggak percaya diri."
   "Kini, ia telah menemukan rasa percaya dirinya setelah mendapat perhatian dan cinta penuh suaminya. Bukankah semula ia down saat mendapati Rico menduakannya?"
   "Seharusnya ia malah bersyukur suaminya bersikap bucin setelah ia terluka ulah Rio. Bukan malah ingin menduakan."
   "Itu kan seharusnya. Tapi Tania lain."
   "Kasihan. Ia tengah terjangkiti karakter bawaan dan tak sanggup menepisnya."
   "Karakter bawaan yang mana?"
   "Kalau untuk pamer pada kita bahwa ia sanggup menaklukkan Ade, apa perlunya?"
   "Betul. Apa perlunya? Toh selama ini kita bersikap masa bodoh. Kita hanya mengamati dengan saksama kelakuannya, tanpa sedikitpun menggodanya, mengkritiknya, maupun mengomentarinya."
   "Betul, kita mahir berperan sebagai pengamat ulah Ade dan Tania, ternyata."
   "Pengamat dan peneliti jeli. Apalagi?"
   "Sudahlah, kita lihat saja bagaimana akhirnya."
   Tania sekali lagi melirik ke arah suaminya. Ia bukannya tidak mau mendengar bisikan hati nuraninya, bahwa ia dan Ade tengah menjadi bahan amatan teman-temannya. Akan tetapi, ia masa bodoh. Ia yakin suatu saat akan sanggup membuat Ade pun takluk kepadanya seperti yang dilakukan suaminya. Betapa bangga. Seorang manager perusahaan ternama tergila-gila dan memburu  dan seolah tergila-gila kepadanya. Kebanggaan yang sanggup menggantikan kekecewaan dan kekesalannya lantaran dilarang suaminya memenuhi panggilan sebagai PNS.
   Hm...mengapa kekesalan ini masih saja mengendap? Apa yang dicari? Bukankah tanpa bekerja pun suaminya memberi uang belanja lebih dari cukup? Mengapa ia masih kecewa dan kesal kendati menurut? Yang dilirik membisikkan prasangka yang melintasi hatinya walaupun sekilas.
   "Kamu masih kesal karena kularang memenuhi panggilan kerja sebagai PNS?" tiba-tiba pertanyaan tersebut meluncur begitu saja dari bibir Boy. Intuisi berbaur informasi yang sengaja dicari-cari, di luar dugaan telah memunculkan prasangka yang menggerogoti relung-relung hati.
   "Apa sih yang Kamu cari, Nyonya? Bukankah seharusnya Kamu bangga, semuda ini sudah berstatus nyonya. Menikah dengan lelaki yang Kaucintai pula,"goda Boy,
   "Tapi, betulkah Kamu cinta padaku? Jangan-jangan risih saja karena dulu aku getol memburumu."
   "Memang kesal. Bukankah tes PNS tidak mudah? Begitu lolos, Kamu dengan seenaknya melarangku,"jawabnya dengan ekspresi kesal tanpa memandang ke arah suaminya.
   "Walah...itu namanya berbagi nasib. Barangkali posisimu digantikan oleh orang lain yang lebih membutuhkan."
   "Bukankah aku telah memberimu uang belanja?"
   "Tapi aku ingin bekerja."
   "Jika bekerja didefinisikan dengan mencari uang, aku tidak melarang. Aku malah senang,"tegas jawaban Boy, yang membuat Tania terkejut.
   "Kamu kan bisa belajar membuat kue kering seperti ibuku. Bisa ditawarkan online."
   "Jika bekerja Kaumaknai harus keluar rumah, itu aku keberatan."
   "Mengapa?"
   "Untuk apa harus keluar rumah?" tanya Boy lagi sambil menatapnya,
   "Sesungguhnya perubahan penampilanmu yang membuat aku dihantui intuisi walaupun sering kutepis. Kuanggap itu hanya prasangka buruk. Tapi mencolok banget. Membuatku terganggu."
   "Terganggu prasangka buruk atau intuisi? Nggak jelas banget."
   Tapi tak urung Tania terkejut. Wajahnya memerah. Perubahan rona wajah yang juga tertangkap oleh mata Boy. Untuk sesaat darahnya seakan tersirap.
   "Hm...ada apakah di kampus?"
   Tania pun kesal.  Ia menjawab dengan suara agak tinggi,
   "Apa sih maumu? Bekerja dilarang, kuliah juga dicurigai."
   Boy menggenggam kedua tangan isterinya sambil menjawab lembut,
   "Tania. Sejujurnya aku masih nggak yakin akan kondisi mentalmu."
   "Mentalku kenapa?"
   "Kamu labil ataukah rakus? Nggak jelas banget," jawab Boy sedikit emosi.
   "Andaikan dulu aku tidak memburumu membawa mobil papamu, kukira Kamu akan tak acuh selamanya. Cuekmu hanya di awal-awal saja, karena Kamu trauma ulah Rico kan? Tapi di hati terdalam Kamu matre. Wajar. Kamu perempuan. Tapi, nggak nyangka, Kamu masih haus perhatian dari orang lain setelah kebutuhan materi terpenuhi."
   Tania terisak di sela keheranannya. Ia memang tidak pernah menganggap Boy bodoh. Tapi ia tidak menyangka, Boy ternyata pintar. Sepintar Ade yang diam-diam menjauhinya setelah mengetahui ia memiliki Boy? Tania masih menangis. Gurat-gurat kehampaan menjalari hatinya. Boy yang mencintai sepenuh hati, memeluknya. Sekali lagi prasangka buruk seolah menjalari sekujur tubuh Boy.
   "Aku tahu Kamu mengalami kehampaan sejak kecil. Ayah tidak ada. Kakak lelaki satu-satunya pun tidak sanggup memberikan keteladanan bersikap...
   "Aku nggak mau Kautuduh rakus,"keluhnya sambil balas memeluk suaminya.
   "Jika nggak mau disebut rakus, kuganti tidak bersyukur. Mau?"
   "Apa buktinya?"
   "Tania. Kamu tahu dan sadar bahwa Dirimu cantik. Sewajarnya jika Kamu memperoleh perhatian satu dua teman lelaki karena itu...
   "Kamu tahu darimana?" Duh Tania terkejut tapi pertanyaan konyol tersebut sudah telanjur meluncur.
   "Jadi, memang ada yang memberi perhatian berlebih kepadamu?"
   "Apa buktinya?"
   "Bukti? Perubahan tampilanmu."
   "Ah, jangan cemburu. Kini tidak lagi setelah tahu aku telah bersuami,"jawabnya kembali santai.
   "Tapi, Kamu tidak bisa menghadapi hal itu. Kamu marah dan kecewa, bukan?"
   "Berangkat kuliah lebih awal agar tiba di kampus paling awal. Berdandan cantik layaknya mau ke pesta. Aneh banget. Ulah begitu masih bertanya kok Kamu tahu. Semua teman kuliahmu tentu juga tahu. Mereka bukan orang bodoh. Mereka pasti juga heran lihat ulahmu."
   "Lalu, apa urusan mereka?"
   "Jika benar yang Kaukatakan, teman kuliah penggodamu itu mulai menjauh begitu tahu Kamu masih menjadi isteriku, tapi Kamu masih berusaha menaklukkannya, itulah yang menggoreskan kesan bahwa Kamu tidak bersyukur."
   "Ah, nggak jelas banget. Jelaskan maksudmu."
   "Siapa sih yang nggak senang memperoleh perhatian dari teman lelaki di kampus? Tentu orangnya hebat kan? Nggak kalah dengan Rico? Jika ia menghindar, itu sudah benar. Mengapa Kamu malah penasaran? Padahal mereka yang sejak awal nggak diperhatikan sama sekali oleh lelaki teman kuliahmu itu, tidak apa-apa. Tidak penasaran, kendati ingin."
   "Karena...
   "Karena apa? Karena mereka sadar diri tidak cantik? Berarti Kamu merasa cantik?"
   "Tentulah."jawab Tania asal saja, didera keheranan akan kecurigaan suaminya.
   "Jika berhasil membuatnya membucin kepadamu, tentu Kamu akan memilih salah satu kan? Kamu pilih aku atau dia?"
   "Pilih Kamu. Kan Kamu suamiku. Ia sudah pernah mundur dariku. Untuk apa kupilih. Aku kan hanya penasaran saja."
   "Hm...Tania. sadarkah bahwa ulahmu itu membuatku malu?"
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H