"Memang Kamu tega? Kapan mereka istirahat di hari tua?"
"Tapi sudah umum."
"Yang umum belum tentu aku suka,"sanggahku saat itu,"Coba lihat para wisatawan asing itu. Banyak yang tua kan? Mereka menikmati hari tua dengan berkeliling dunia setelah melewati masa muda untuk mencari nafkah dan membesarkan anak-anaknya. Mengapa Kamu malah membebani ibu dengan menitipkan anakmu kelak? Lalu, kapan Kamu bertindak sebagai ibu?"
"Kamu patriarkis. Kamu menentang feminisme,"bantahnya. Kusentuh bahunya agar duduk. Kemudian kucoba berbicara tanpa nada tinggi,
"Sebagai guru, Kamu tentu paham, bagaimana kelakuan murid lelaki dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah, kan? Lebih rajin mana dengan murid perempuan?"
Ia lama terdiam.
"Lebih rajin anak perempuan, bukan?"
"Begitu dewasa, aku tetap beranggapan bahwa para wanita tentulah lebih rajin. Jika mereka berlomba dengan kaum lelaki untuk bekerja, tentu kaum lelaki akan kalah."
"Kenyataannya tidak kalah kan?"
"Tidak kalah bukan berarti mereka tidak pernah salah. Bayangkan andaikan untuk menang melawan kalian, kaum emak-emak, mereka menjadi curang? Saling sikut, adu bentak, lalu korupsi? Itu karena Kalian merampas hak mereka dengan mengabaikan kodrat sebagai isteri dan ibu."
"Kamu mengaitkan laranganmu dengan ulah murid-murid lelaki. Nyatanya nggak semua begitu. Banyak pula yang rajin. Kamu dulu juga rajin kan? Sejak dulu selalu berperan sebagai aktivis sekolahlah, kampuslah. Lalu aku harus di rumah saja? Untuk apa aku sekolah? Kuliah? Aku nggak ingin bergantung sepenuhnya pada suami. Aku sudah terbiasa menderita. Aku nggak mau berperan seolah hanya sebagai benalu di rumahmu ini. Belum tentu kelak Kamu nggak berubah pikiran seperti papa," ia mulai menangis. Tentu saja dengan iba kupeluk dirinya.