Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dalam Selubung Kabut (14)

21 Juli 2020   07:59 Diperbarui: 21 Juli 2020   08:01 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Ada es kelapa muda. Aku ingat Kamu. Tentu suka,"katanya sambil menuangnya ke dalam gelas.

"Kamu nggak lapar? Aku lapar," katanya sambil meraih piring yang telah diletakkan di meja beserta sendok dan garpunya.

Tania membuka tutup magic com kemudian mengambilkan nasinya,

"Aku sudah makan di warung es kelapa muda tadi. Tapi makan sedikit. Sekarang, aku ingin makan lagi bersamamu. Sayur bening daun kelor dan sambalnya menggugah selera, kan? Ada penyet ikan bakar dan tempe pula. Tentu enak."

Ia pun duduk di sebelah suaminya dan makan dengan lahap. Boy mengamatinya sekilas dari samping. Apakah aku terlalu berprasangka buruk? Ia terkesan tidak melakukan hal yang mencurigakan di luar rumah.

Jangan-jangan aku terganggu egoku. Semula, melihatnya seolah ingin memberontak dari aturanku untuk bekerja di luar rumah, aku merasa menang. Aku merasa tidak bersalah. Bukankah aku memberinya uang belanja lebih dari cukup? Mengapa ia harus memaksa diri bekerja di luar rumah lalu kami hidup berjauhan, jika kebutuhannya untuk memiliki rumah dan mobil sudah terpenuhi? Bagaimanapun, jika kelak kami memiliki anak, aku ingin mereka bisa tumbuh dalam pengawasan ibunya setiap detik setiap saat dan setiap waktu, seperti ibuku memperlakukan kami.

Jika dalam kondisi hidup pas-pasan, ibuku masih bisa mengais rezeki sekaligus mengasuh kami, mengapa Tania tidak bisa? Aku tidak biasa melihat wanita bermanja. Ibuku turun tangan mengatasi semuanya manakala ayah dalam kondisi syok karena kegagalan usahanya. Tania harus terlatih untuk itu.

Saat itu, permintaannya agar kuizinkan menuruti panggilan kelulusannya tes PNS tapi ditempatkan di luar provinsi, kuanggap upaya untuk "melarikan diri" dari tanggung jawab. Tanggung jawab seorang ibu dalam mendidik dan mengawasi tumbuh kembang anaknya, termasuk tanggung jawab menemani suami.

"Seingatku, mendidik anak itu tanggung jawab suami deh," kilahnya saat itu. Ekspresinya tampak sedih, tapi aku harus tegar. Ayahnya sudah membelikan kebutuhan kami. Jadi kuanggap ia tidak harus berpayah-payah berjauhan denganku. Entahlah. Aku selalu beranggapan bahwa kesibukan sebagai ibu rumah tangga merupakan kesibukan yang sangat berat. Sepele tapi tiada hentinya, terlebih jika sudah memiliki anak. 

"Untuk apa punya anak kalau dititipkan pada orang lain?"

"Kutitipkan pada ibu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun