Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dalam Selubung Kabut (14)

21 Juli 2020   07:59 Diperbarui: 21 Juli 2020   08:01 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Boy beberapa kali menengok ke pintu pagar. Mengapa Tania belum pulang juga? Waktu sudah menunjukkan pukul 13.12 menit. Di luar mentari tengah memamerkan kemampuannya memanasi. Perutnya sudah mengirimkan sinyal minta makan. Akan tetapi, tidak ada keinginan untuk membuka magic com maupun tudung saji di meja makan. Pagi tadi sebelum berangkat isterinya sudah menyiapkan hidangan untuk makan siang.

Walaupun ia menyadari, pergi bersama teman-teman tentu memerlukan waktu lebih lama karena masing-masing kepala memiliki keinginan dan minat berbeda. Adakalanya, jam berangkat maupun pulang yang sudah dipersiapkan secara terjadwal,   bisa mendadak kacau karena satu dan lain hal demi masalah yang dihadapi seseorang.

Akan tetapi, ada perasaan tidak nyaman sejak isterinya menginjak semester kedua kuliahnya. Dulu awal-awal kuliah, ia sering bermalasan. Ulah yang membuat Boy merasa tidak nyaman. Ia melarangnya berangkat memenuhi panggilan padahal lolos tes PNS tapi di provinsi lain.

Ulah serupa protes yang membuatnya meminta Tania untuk berkuliah lagi. Satu semester dijalani dengan ogah-ogahan, bermalasan, dan beberapa keluhan. Akan tetapi, begitu menginjak semester kedua ini, Tania mulai tampak bersemangat. Sedemikian bersemangat sampai-sampai terlintas prasangka yang bukan-bukan.

Seringkali ia menepis gurat kegelisahan dan ketidaknyamanan yang menjalari hatinya. Ia mencoba berpikir realistis bahwa yang dirasakan adalah prasangka buruk. Suatu hal yang terlarang. Negative thinking. Suuzon. Sama-sama terlarang. 

Akan tetapi, betulkah getar ketidaknyamanan melihat isterinya yang tampak gembira begitu saatnya berangkat kuliah, merupakan prasangka buruk? Mengapa berprasangka buruk? Bukankah ia tidak pernah melihat kejanggalan yang dilakukan isterinya?

Jangan-jangan getar ketidaknyamanan yang sesekali melintas dan menyulut desir lembut tapi sedikit menggigit itu intuisi. Sebuah firasat tentang hal tidak baik yang bakal mengacaukan biduk yang baru dikayuhnya.

Pukul 14.01 tampak mobil Tania memasuki pagar. Dalam kegelisahan ia ingin marah, tapi ditahannya. Apalagi sebagai anak sulung dengan kondisi mental ayahnya yang sering down manakala menghadapi kegagalan dalam berusaha, ia seolah tak lagi mengenal kata marah.

Maka, ia pun duduk di dekat meja makan menunggu reaksi isterinya. Ia ikut makan tidak? Jika tidak ikut makan berarti ia telah makan di luar. Akan tetapi, ditepisnya lagi prasangka buruknya itu. Bukankah Tania pergi dengan teman-teman sekelompoknya? Teman-teman kuliahnya? 

Kalaupun mereka sudah makan di luar, apa salahnya? Apalagi kebanyakan dari mereka itu ibu-ibu, ada beberapa yang berperan sebagai ibu rumah tangga. Jika satu dua di antara mereka membawa bekal makan siang, tentu Tania sudah merasa kenyang setiba di rumah.

Namun Tania segera mendekat ke arahnya kemudian mengeluarkan bungkusan air kelapa muda dari plastik yang dibawanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun