Beberapa waktu lalu sebelum berangkat kerja, saya mendengar sekilas seorang dokter menyampaikan opini tentang utang dalam acara Titik Nol di radio Suara Surabaya.Â
Beliau mengatakan tidak terbiasa berutang sejak masih bersekolah. Pertemanan yang dilandasi dengan niat untuk berutang biasanya tidak bertahan lama. Wah...menarik dan inspiratif  juga pendapat tersebut. Boleh juga nih dipilih sebagai bahan tulisan, gumamku dalam hati sambil mengeluarkan kendaraan untuk menuju jalan raya.
Dalam perjalanan,  ingatan tentang utang menjadi terbang menuju suatu masa. Masa awal saya  terhubung dengan teman-teman sekolah melalui media sosial. Seorang teman yang terlihat sukses dalam bisnisnya, begitu bertemu denganku, tanpa basa-basi langsung mengatakan bahwa ia senang bertemu dengan teman-teman sekolah, asalkan petemanan tersebut tidak dijadikan sarana untuk utang.
Duh, aku tertegun, mengapa ia berkata demikian? Akhirnya ia menelepon bahwa ia terbawa emosi sehingga berkata-kata demikian. Hal itu karena ada teman seprofesi denganku (kurang jelas yang dimaksudkan itu guru atau PNS atau malah keduanya seperti aku), beberapa waktu yang lalu datang kepadanya untuk meminjam uang. Hmm...karena nila setitik rusak susu sebelanga nih ceritanya.
Utang atau hutang? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bentuk yang baku bukan hutang melainkan utang, sedangkan arti utang dalam KBBI adalah uang yang dipinjam dari orang lain. Jika kata tersebut memperoleh akhiran --an, menjadi "utangan", artinya menjadi uang yang diperoleh karena berutang. Lain halnya jika kata tersebut berbunyi "mengutangi" artinya pun berubah menjadi memberi pinjaman uang kepada (seseorang).
Seorang mahasiswi dari kota kecil yang jauh dari ibukota provinsi pernah bercerita sambil mengeluh dengan sendu. Ia mengatakan bahwa demi uang saku yang tidak seberapa, ia berusaha berhemat.Â
Selain membawa bekal yang berwujud beras, bumbu pecel, telur, minyak goreng, tak lupa rempeyek sekaleng biskuit, di tempat kos pun  memasak,  mencuci dan menyeterika pakaiannya sendiri. Oleh karena ia tergolong mahasiswi yang rajin mengerjakan tugas-tugas perkuliahan dengan nilai lumayan bagus, gaya hidup sederhananya tidak membuatnya rendah diri kendati kerap dijadikan bahan candaan.
Justru keluhan yang mengherankan adalah tatkala melihat uang sakunya yang masih banyak karena ia selalu mengerjakan kebutuhan hidupnya sendiri. Beberapa temannya di tempat kos dengan seenaknya mendekatinya untuk meminjam uang,"Pinjamin dong, uangku habis. Uang sakumu kan masih banyak,". Sesekali ia berkilah juga,"Agar hemat, cobalah mengerjakan sendiri.Â
Sesekali memasak dan mencuci pakaian sendiri," Si berniat meminjam uang hanya tertawa kemudian menjawab,"Mana sanggup aku meniru Kamu. Ayo, pinjami aku uang. Lusa setelah ditransfer orangtua, kukembalikan,"ujarnya sambil menelepon pesanan makanan online beserta loundry. Ulah yang membuat si hemat kesal sekaligus sedih merasa upaya hematnya malah dimanfaatkan, kadang dijadikan sebagai bahan candaan, bukan ditiru.
Jadi, perlukah berutang dan kapan kita "merasa tidak bersalah" saat berutang? Ada pendapat yang menyatakan bahwa ada beberapa orang yang mau tak mau terpaksa meminjam uang atau berutang ketika merasa terdesak, misalnya untuk biaya berobat.Â
Walaupun  kondisi terdesak masih bisa dimaklumi, tetapi janganlah dijadikan sebagai suatu kebiasaan. Kebiasaan melihat teman yang sanggup menabung, tidak berusaha meniru gaya hidupnya yang hemat, malah dimanfaatkan untuk arena berutang. Sungguh mengenaskan.
Sebagai seseorang yang terbiasa berhemat demi memiliki tabungan, tentu rawan didekati orang lain untuk berutang, bukan? Ikhlas maupun tidak ikhlas, memang menjadi risiko hidup bermasyarakat.Â
Oleh karena pengadilan tidak boleh memidanakan seseorang karena ketidakmampuannya membayar utang, sebaiknya kita memang waspada jika ada orang yang ingin berutang.Â
Bahkan ada pendapat dalam bahasa Jawa,"Aluwung elek ngarep tinimbang elek mburi", maksudnya lebih baik jelek/ tidak mengutangi di awal daripada bertengkar belakangan (setelah pengutang nyata tidak mau membayar utangnya).
Untuk itu, beberapa tipe pengutang seperti yang saya ringkas dari dari DuitPintar.com dan bagaimana cara menghadapinya, dapat  kita jadikan pegangan menghadapi pengutang.
Tipe kesatu adalah tipe pengutang inisiatif. Ia merupakan pengutang teladan karena tanpa ditagih bahkan tanpa disindir pun, ia ingat akan kewajibannya untuk segera membayar utang; 2. tipe pelupa. Jelas bahwa tipe ini mudah lupa semoga ia tak berharap yang mengutangi pun lupa; 3. Tipe si pengalih pembicaraan, seseorang yang sangat pintar mengalihkan topik pembicaraan jika sudah ditagih;Â
4. Si pura-pura lupa. Ia mendadak amnesia jika pembicaraan sudah mengarah ke utangnya; 5. Tipe sok sibuk, tipe yang tatkala ditagih selalu menghilang dengan alasan sibuk; 6. Tipe pura-pura miskin, orang yang berlagak miskin agar tidak ditagih, yang terakhir adalah tipe ada dan tiada, karena keberadaannya sulit dilacak.
Sebetulnya, salahkah berutang? Jika utang tersebut tidak mengacaukan jalinan pertemanan, persaudaraan, maupun persahabatan, tentu masih bisa dimengerti. Walaupun demikian, ada utang yang aman untuk itu, yaitu utang ke bank. Ada asuransi pula sehingga tidak membebani ahli waris kelak, apabila kita meninggal dunia.
Ada beberapa contoh berutang yang masih dalam kewajaran, misalnya berutang untuk biaya pendidikan, karena pendidikan yang lebih tinggi dan sesuai dengan kebutuhan akan mempermudah memperoleh pekerjaan. Utang berikutnya yang masih wajar adalah utang untuk modal berusaha, utang untuk membeli rumah karena membeli tunai seakan tak tergapai jika tidak berutang, kemudian utang untuk berinvestasi juga masih dapat dianggap wajar.
Selain utang yang masih dapat dianggap wajar, ada juga utang yang terkesan "memaksa" misalnya utang untuk membeli mobil pribadi, karena selain pajaknya tinggi, harga mobil pun pada umumnya masih berkisar di atas 100 jutaan.Â
Utang tak wajar berikutnya adalah utang untuk membeli pakaian dan barang bermerk serta biaya habis pakai misalnya biaya rekreasi. Bukankah hal itu bukan merupakan kebutuhan melainkan keinginan yang dapat ditunda kali lain? Utang yang memberatkan berikutnya adalah kartu kredit.Â
Kartu yang dianggap memudahkan dalam berbelanja berbagai keperluan. Untuk mengantisipasi agar tidak terpuruk karena kartu kredit, kita  memang harus selalu mengontrol pengeluaran.
Pembahasan terakhir tentang utang adalah kiat halus menolak teman yang ingin berutang. Caranya? Cobalah memperkecil kesalahpahaman, misalnya dengan mengatakan sejujurnya bahwa gaji sudah dialokasikan untuk membayar berbagai rekening. Uang yang tersisa hanyalah uang untuk biaya kebutuhan hidup sehari-hari. Janganlah mengatakan,"Tidak punya uang," jika tidak ingin mendengar sumpah serapah, bahwa kita dianggap tidak bersyukur dengan adanya rezeki karena mengatakan tidak mempunyai uang. Hehehe.
Cara berikutnya jika ingin menagih utang sebaiknya tidak langsung menagih secara spontan karena uang adalah masalah sensitif. Sebaiknya mengajak berbicara tentang  kondisi terkini, misalnya aneka kesulitan hidup sejak kemunculan covid 19, sehingga kita memerlukan dana yang dulu dipinjamnya untuk menyambung hidup kita.
Akhirnya, utang piutang merupakan topik yang tak membosankan untuk dibahas. Lain penulis bisa saja lain isinya. Yang pasti, semuanya harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian agar pertemanan tidak menjadi renggang karenanya. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H