Sebagai seseorang yang terbiasa berhemat demi memiliki tabungan, tentu rawan didekati orang lain untuk berutang, bukan? Ikhlas maupun tidak ikhlas, memang menjadi risiko hidup bermasyarakat.Â
Oleh karena pengadilan tidak boleh memidanakan seseorang karena ketidakmampuannya membayar utang, sebaiknya kita memang waspada jika ada orang yang ingin berutang.Â
Bahkan ada pendapat dalam bahasa Jawa,"Aluwung elek ngarep tinimbang elek mburi", maksudnya lebih baik jelek/ tidak mengutangi di awal daripada bertengkar belakangan (setelah pengutang nyata tidak mau membayar utangnya).
Untuk itu, beberapa tipe pengutang seperti yang saya ringkas dari dari DuitPintar.com dan bagaimana cara menghadapinya, dapat  kita jadikan pegangan menghadapi pengutang.
Tipe kesatu adalah tipe pengutang inisiatif. Ia merupakan pengutang teladan karena tanpa ditagih bahkan tanpa disindir pun, ia ingat akan kewajibannya untuk segera membayar utang; 2. tipe pelupa. Jelas bahwa tipe ini mudah lupa semoga ia tak berharap yang mengutangi pun lupa; 3. Tipe si pengalih pembicaraan, seseorang yang sangat pintar mengalihkan topik pembicaraan jika sudah ditagih;Â
4. Si pura-pura lupa. Ia mendadak amnesia jika pembicaraan sudah mengarah ke utangnya; 5. Tipe sok sibuk, tipe yang tatkala ditagih selalu menghilang dengan alasan sibuk; 6. Tipe pura-pura miskin, orang yang berlagak miskin agar tidak ditagih, yang terakhir adalah tipe ada dan tiada, karena keberadaannya sulit dilacak.
Sebetulnya, salahkah berutang? Jika utang tersebut tidak mengacaukan jalinan pertemanan, persaudaraan, maupun persahabatan, tentu masih bisa dimengerti. Walaupun demikian, ada utang yang aman untuk itu, yaitu utang ke bank. Ada asuransi pula sehingga tidak membebani ahli waris kelak, apabila kita meninggal dunia.
Ada beberapa contoh berutang yang masih dalam kewajaran, misalnya berutang untuk biaya pendidikan, karena pendidikan yang lebih tinggi dan sesuai dengan kebutuhan akan mempermudah memperoleh pekerjaan. Utang berikutnya yang masih wajar adalah utang untuk modal berusaha, utang untuk membeli rumah karena membeli tunai seakan tak tergapai jika tidak berutang, kemudian utang untuk berinvestasi juga masih dapat dianggap wajar.
Selain utang yang masih dapat dianggap wajar, ada juga utang yang terkesan "memaksa" misalnya utang untuk membeli mobil pribadi, karena selain pajaknya tinggi, harga mobil pun pada umumnya masih berkisar di atas 100 jutaan.Â
Utang tak wajar berikutnya adalah utang untuk membeli pakaian dan barang bermerk serta biaya habis pakai misalnya biaya rekreasi. Bukankah hal itu bukan merupakan kebutuhan melainkan keinginan yang dapat ditunda kali lain? Utang yang memberatkan berikutnya adalah kartu kredit.Â
Kartu yang dianggap memudahkan dalam berbelanja berbagai keperluan. Untuk mengantisipasi agar tidak terpuruk karena kartu kredit, kita  memang harus selalu mengontrol pengeluaran.