Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Berteman, Bagian dari Makhluk Sosial

11 Juli 2020   11:14 Diperbarui: 11 Juli 2020   11:35 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ayo Bu, ikut offroad," ajak wakasek kesiswaan suatu hari ketika bertemu di tangga. "Kapan? Memang banyak peserta? Mengapa mendadak banget?" tanyaku. Akan tetapi, pertanyaan tersebut langsung kututup dengan jawaban,"Ok. Lagipula peserta pun lumayan banyak.", karena berpijak pada pengalaman-pengalaman, menunda-nunda rencana demi kesibukan seringkali menjadi gagal.

Semua pun sibuk jika menuruti kesibukan. Semua pun lelah jika menuruti kelelahan. Akan tetapi, kesempatan pergi bersama teman-teman, belum tentu dapat terlaksana tiga bulan kemudian. Jika alasanku hanyalah sebuah tanya mengapa mendadak? Bukankah waktu yang dibutuhkan hanya sehari semalam?

Siang tadi kubuka WA, ada pertanyaan dari seorang teman di grup sekolah SMA, "Mengapa nggak komen?" Wah, komen apa? Ternyata ada grup baru lagi dan aku yang semula dimasukkan sebagai anggota, karena tidak pernah membuka dan berkomentar, dikeluarkan lagi.

Untuk hal yang berkaitan dengan grup memang sudah terlalu banyak grup sehingga ada yang tidak pernah kubuka. Grup teman-teman di kantor ada empat. Grup resmi info kedinasan, grup bergurau, grup dengan para pensiunan, dan grup ibu-ibu. Saya belum bertanya apakah bapak-bapak pun mempunyai grup tersendiri tanpa memasukkan nama ibu-ibu.

Demikian pula grup teman-teman sekolah. Grup dari sejak sekolah tingkat dasar, menengah, sampai perguruan tinggi pun ada. Grup SMA ada tiga bahkan empat. Ada grup seluruh warga SMA seangkatan, grup IPA seangkatan, grup IPS seangkatan.

Ada juga grup iseng, semua anggotanya lelaki, satu dua wanita yang dimasukkan grup, karena yang diomongkan ala lelaki, para wanita pun keluar dari grup. Ini grup iseng namanya, karena kaum wanita yang dicomot dalam grup pun dipilih yang masih gadis dan janda. Tapi, para wanita tersebut segera keluar dari grup begitu menyadari ulah iseng mereka.

Ada yang unik dari grup-grup ala teman-teman dari SMP sampai perguruan tinggi, terutama dari cara mengungkapkan tulisan. Teman-teman SMP seolah masih merasa sebagai anak-anak SMP ketika tergabung dalam grup tersebut dari cara bergurau sampai saat bertemu jika kebetulan ada acara pertemuan.

Demikian pula teman-teman SMA, tidak jauh berbeda dengan teman-teman SMP. Sekilas menjengkelkan, tapi jika dihayati lebih jauh, ada juga perasaan iba dan tidak semestinya kejengkelan tersebut dibiarkan. Mengapa?

Teman-teman sekolah kita, baik teman SD, SMP, maupun SMA, mereka tentu sekarang sudah dewasa. Hampir semuanya sudah bekerja, sudah berkeluarga, sudah memiliki anak, bahkan beberapa orang ada yang sudah memiliki jabatan. Akan tetapi, mereka tetaplah manusia biasa. 

Manusia yang sesekali membutuhkan refreshing, membutuhkan terlepas sejenak dari belitan tanggung jawab baik sebagai pekerja maupun sebagai orang tua. Adakalanya mereka ingin melepas beban semua itu dengan kembali ke masa kanak-kanak maupun masa remaja. Lalu, di manakah tempat nyaman tersebut diperoleh? Ternyata, ada kesan mereka memperoleh tempat nyaman tersebut di pertemanan dalam grup di media sosial misalnya whatsapp.

Ada celetukan kepada teman,"Kamu di kantor sudah dipanggil Pak. Di rumah juga dipanggil Pak. Saudara dan kerabat pun segan karena sekarang Kamu sudah menjadi pejabat. Lalu, siapa yang berani tetap memanggilmu dengan namamu, bahkan berani berkamu-kamu, sesekali misuhi, jika bukan teman?"

Adakalanya dalam grup mereka bertengkar dengan aneka tulisan yang menjengkelkan. Akan tetapi, kami yang tidak ingin bertengkar hanya mengikuti sambil tertawa dalam hati sekaligus iba. Jika tidak di grup teman-teman sekolahnya, di mana lagi mereka bisa bergurau dan bebas berpendapat sambil bertengkar sama persis seperti saat mereka masih bersekolah?

Bahkan adakalanya dengan emosional, seorang teman yang tidak sependapat, dikeluarkan oleh admin. Setelah tersadar, dimasukkan lagi. Yang bersangkutan pun tidak marah. Kami hanya tertawa saja menanggapi ulah mereka.

Sesekali ikut berkomentar, sesekali diam sambil sekadar menyimak. Akan tetapi, manakala ada berita duka, berita gembira, maupun ada yang berulang tahun, tak disangka-sangka, hampir semuanya menyampaikan komentar sebagai tanda empati.

"Teman-teman di grup kalau bergurau, bertengkar, seperti anak kecil ya," ada juga komentar seorang teman. "Mereka memang seolah mengulang kembali masa remaja. Masa-masa bertengkar tidak saling mengalah. Ulah yang mengingatkan kepada para siswa yang ingin segera mendengar bel pulang berbunyi.

Tapi begitu bel pulang berbunyi, mereka tidak segera pulang, malah bermain bola sampai menjelang magrib. Mereka bergurau dan bertengkar secara spontan sepertinya hanya di grup teman-teman sekolahnya saja. Mana mungkin mereka bisa bertengkar seperti itu di tempat kerjanya, di grup keluarga besarnya, bahkan di rumahnya maupun di lingkungan tempat tinggalnya?  Grup SMP gaya berguraunya seperti anak SMP. Di grup SMA pun sama seperti masa SMA."

Saat reuni pun sama. Adakalanya mantan ketua kelas menelepon teman-teman agar datang reuni sambil mengatakan,"Awas yo kalau nggak datang, tak antemi Koen," Kemudian yang ditelepon pun menyempatkan diri untuk datang walaupun hanya sebentar, masih dengan pakaian kerja, karena masih ada pekerjaan yang belum terselesaikan.

Sesekali, saat di sekolah, satu dua teman juga ada yang meneleponku,"Kami sedang bertemu di rumah makan ini dekat dengan kantormu kan? Masak sih nggak ada jam kosong?" sambil mengirimkan video call, di situ terlihat  beberapa teman sekolah yang melambai-lambaikan tangan.

Walaupun demikian, ada beberapa batasan dalam berteman yang sebaiknya tidak dilanggar, misalnya mengutip pendapat m. Brilio.net, bahwa manusia sebagai makhluk sosial memang wajar memiliki banyak teman dan adakalanya juga berharap memiliki jalinan keakraban dengan teman. Akan tetapi ada pesan yang perlu diperhatikan, misalnya jangan mudah membuat ikatan emosi yang kuat pada siapapun teman tersebut.

Mengapa? Ikatan emosi yang kuat membuat orang mudah menjadi baper, terbawa perasaan, kemudian berekspektasi berlebih kepada teman yang dianggap dapat memenuhi harapan berwujud penyimpangan dari kewajaran pertemanan.  Demikian pula momen-momen bahagia maupun kesedihan, terlebih yang berkaitan dengan masalah keluarga.

Hal yang bersifat pribadi tersebut juga sebaiknya tidak diceritakan. Selain itu, dengan teman maupun kerabat, janganlah mencoba melakukan pelanggaran tata tertib dengan harapan ada teman atau kerabat yang akan membela kesalahan kita. Hal-hal yang masih bisa dihindari sebaiknya tidak dilakukan agar teman maupun kerabat tidak merasa hanya dimanfaatkan.

Berteman adalah jalan menyambung jalinan silaturahim dan hal itu merupakan anjuran positif. Kita hadir dan bertemu dengan teman-teman sesuai dengan masa kanak-kanak dan remaja dahulu.

Masa-masa betapa kita sederajat, berjiwa besar, toleran, mau menanggalkan segala atribut yang telah diraih, semisal status sosial maupun kekayaan, tidak membuat teman merasa rendah diri dengan pertanyaan yang menyudutkan misalnya mengapa belum menikah? Mengapa belum mempunyai anak?

Banyak cerita lucu yang masih bisa disampaikan selain pertanyaan yang menyudutkan, misalnya kenangan saat membolos, menggoda teman, kenangan naksir seseorang yang juga hadir dalam reuni yang mungkin membuat terkejut. Akan tetapi, masa itu tidak bisa diulang karena waktu sudah berlalu.  Kisah itu hanyalah kenangan masa lalu. Hal yang lebih netral biasanya menyanyi bersama.

Adakalanya, dengan teman kita memang ingin iseng bergurau, tanpa maksud lain, misalnya ada teman yang unggahannya lucu. kelucuan yang membuat saya sering berkomentar terutama jika unggahannya menyerempet kepada kenangan masa lalunya tatkala ia masih bersekolah dan pernah dekat dengan teman sekolahnya. Keterbiasaan bergurau di medsos karena unggahan-unggahan lucunya, manakala saya berganti foto profil, ia dengan santainya pun  memuji fotoku.

Tak lama kemudian, isterinya minta berteman pula denganku. Kuterima permintaan pertemanan beliau, tapi saya mulai mengurangi komentar-komentar terhadap unggahan lucu temanku itu, jika tidak benar-benar sedang ingin berkomentar maupun perlu berkomentar, saya tidak lagi melakukannya.

Bagaimanapun, kita memang harus mencoba menghargai perasaan pasangan masing-masing. Jangan ada kelalaian yang menyulut ketidaknyamanan akibat komentar-komentar kita yang sebetulnya sekadar bergurau. Tetap berteman tapi dengan cara yang bijak, bukan hal yang terlarang, Guys.

Bahan bacaan

m. brilio. Net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun