Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aspek Kecerdasan dalam Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Dhiyu (Bagian 2, Tamat)

1 Juli 2020   08:04 Diperbarui: 1 Juli 2020   08:34 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak satria yang datang untuk mengikuti sayembara. Akan tetapi mereka dapat dikalahkan oleh Jambulmangli yang juga menaruh hati kepada sepupunya itu sehingga ia menantang mengalahkannya terlebih dahulu untuk dapat bertemu dengan Dewi Sukesi. Manakala sayembara sudah berjalan beberapa lama dan akan ditutup, raja Alengka itu kedatangan tamu, seorang sahabat lama sang prabu.

Tamu itu adalah Begawan Wisrawa, pertapa dari Negeri Lokapala. Begawan Wisrawa datang ke Alengka, memang dengan niat melamar putri tersebut untuk dijodohkan dengan anaknya, Prabu Danaraja, raja Kerajaan Lokapala. Wisrawa disambut ramah. Mereka bersahabat sejak muda, meskipun Wisrawa berwujud manusia tampan terlebih dalam menjalani Sastra Jendra yang memang sudah sempurna, sedangkan satunya berwujud raksasa kendati puterinya seorang gadis jelita.

Wisrawa menyampaikan maksud kedatangannya untuk mengikuti sayembara. Sebagai mantan raja dan berpengetahuan luas pula, ia memang sangat menguasai ilmu tersebut. 

Akan tetapi, ada larangan tidak tertulis dari para dewa, bahwa siapapun yang mengajarkan ilmu itu harus bersih hatinya. Jika tidak, maka bencana besar akan menghampiri mereka, karena Sastra Jendra adalah ilmu yang tidak boleh diketahui sembarang orang terutama yang belum sanggup menjalaninya. Lain halnya jika telah sanggup memahami serta menjalaninya, pelaku tentu akan memahami rahasia alam semesta dan seluruh kehidupan di dalamnya.

Oleh karena cemas diketahui dan didengar orang lain, ia berniat mengajarkan ilmu tersebut kepada Dewi Sukesi pada malam hari dengan dalih takut kutukan dewa. Dari sinilah masalah bermula. Prabu Sumali senang Wisrawa, kakak seperguruannya, datang melamar anak gadisnya untuk puteranya. Dengan rasa  percaya penuh akan keluhuran budi dan kebersihan hati sang kakak seperguruan, Sumali mengizinkan Sukesi pergi berdua saja dengan Wisrawa ke Taman Argasoka, tempat terpencil dan sepi.  

Kecemasan mereka bahwa penyampaian ilmu tersebut akan didengar oleh makhluk lain, terbukti pula. Sukasa, adik Dewi Sukesi mencuri dengar penyampaian ilmu tersebut. Alhasil, Sukasa yang belum memiliki persiapan nurani yang bersih, belum sanggup mencerna, ilmu yang diperolehnya malah membuatnya berubah menjadi raksasa.

Begitu mendengar informasi bahwa Wisrawa akan mengajarkan ilmu tersebut kepada Dewi Sukesi, para dewa tentu saja tidak berkenan. Batara Guru dari kahyangan Junggringsaloka turun ke bumi diiringi permaisurinya, Dewi Uma, untuk menghalangi niat keduanya. Batari Uma menyusup masuk ke raga Sukesi, sedangkan Batara Guru menyusup ke dalam raga Wisrawa.

Sukesi yang sejak awal hanya mau diperisteri laki laki yang mampu menjelaskan  Sastra Jendra, semakin terpesona kepada Wisrawa. Bahkan ia mengatakan keberatan dijodohkan dengan puteranya karena tidak datang untuk mengajarkan Sastra Jendra kepadanya. Ia tetap menolak dijodohkan dengan Danaraja dan tetap bersikukuh memilih Wisrawa. Wisrawa yang kuat iman dan tinggi pekertinya semula menolak sambil mengingatkan Sukesi bahwa dirinya hanyalah pengemban ilmu Sastra Jendra sekaligus utusan yang mencarikan jodoh untuk anaknya yang juga tampan, Raja Danaraja.

Akan tetapi, dalam kondisi berdua saja antara lelaki dan perempuan yang semula sudah merasakan ketertarikan, ditambah kehadiran Batara Guru dan Dewi Uma yang merasuki tubuh keduanya, diperparah dengan keisengan setan yang selalu mengganggu jika melihat  dua insan berlawanan jenis hanya berdua-duaan di tempat gelap, maka lenyaplah segala macam pertimbangan tentang kebaikan, keburukan, yang salah maupun yang benar.

Yang tersisa dan menyelubungi kemudian hanyalah nafsu. Dewi Sukesi pun hamil. Anehnya, yang dilahirkannya adalah seonggok daging besar yang kemudian terbelah menjadi empat setelah Wisrawa berdoa. Ternyata dari keempat potongan daging tersebut potongan pertama berwujud raksasa. Ia mewakili simbol nafsu amarah yang di dalamnya terselip kejahatan dan kesewenang-wenangan. Ia diberi nama Rahwana.

Potongan daging kedua berwujud raksasa lagi, mewakili nafsu aluamah. Pekerjaannya hanya bermalasan, makan dan tidur, namun berbudi luhur. Raksasa sebesar gunung anakan namun sangat sakti tersebut dinamai Kumbakarna. Kelak, nasibnya seburuk nasib Jambulwangi yang dimutilasi oleh Wisrawa.

Potongan daging berikutnya masih berwujud raksasa, perempuan pula. Ia diberi nama Sarpakenaka --lambang nafsu sufiah, nafsu pelampiasan libido dan suka hura-hura. Suka berpesta dan berganti-ganti lelaki sesukanya asal lelakinya setuju. Kelak, ia akan mengalami nasib tragis dipotong hidungnya oleh Laksmana, adik Rama, karena merayunya setelah gagal merayu Rama yang menolaknya dengan mengatakan sejujurnya bahwa ia telah beristeri, Shinta. Ulah Sarpakenaka yang kecewa atas penolakan Rama dan Laksmana, kelak akan mengakibatkan Rahwana berkeinginan menculik Shinta.

Potongan daging berikutnya berwujud manusia tampan, lelaki yang dinamai Gunawan Wibisana. Ia simbol nafsu mutmainah. Nafsu yang cenderung mengajak menuju kebaikan dan kebenaran. Kelak, karena sering mengingatkan kakaknya, Prabu Rahwana, untuk tidak melakukan perilaku angkara, Wibisana pun  diusir dari istana Alengka. Oleh karena itu, ia bersatu dengan pihak musuh, bergabung dengan Prabu Ramawijaya, menjadi penisehat perang yang tidak dapat dianggap remeh oelh pasukan Rahwana. Di bawah nasihatnya, kejahatan di Alengka berhasil ditumpas tandas.

Pernikahan di luar dugaan dan kewajaran yang dapat ditoleransi sekitar membuat banyak pihak menjadi marah dan kecewa.  Sepupu Dewi Sukesi yang sakti, Jambumangli sangat marah dan ingin membunuh Wisrawa, demikian pula Prabu Danaraja anak Wisrawa yang juga berkeinginan membunuh ayahnya karena merasa dikhianati.

Tatkala Wisrawa ditantang berkelahi oleh Jambumangli, ia memenangi pertandingan. Entah karena sudah kalah mengendalikan hawa nafsu yang berarti tidak lagi sempurna menjalani lelaku sesuai dengan isi Sastra Jendra, Wisrawa sedemikian kejam memperlakukan Jambumangli yang sudah terkalahkan. Tubuhnya dimutilasi, membuat Jambumangli mengutukinya, bahwa kelak salah seorang anaknya yang akan senasib dengannya, tubuhnya dimutilasi lawannya.

Danaraja pun segera datang ke Alengka dengan amarah luar biasa. Niatnya sudah bulat, akan menghukum ayahnya yang telah turun derajat kependetaannya karena terkalahkan oleh hawa nafsunya. 

Selain itu, ia pun kecewa kepada Prabu Sumali yang merestui pernikahan keduanya. Tatkala ayah dan anak tersebut bertemu, terjadilah perdebatan yang isinya Danaraja menyalahkan ayahnya namun yang disalahkan tidak merasa bersalah jika menikahi Dewi Sukesi yang cantik, yang juga mencintainya.

Perang mulut berlanjut dengan adu fisik. Keduanya sama-sama sakti, tak ada tanda ada yang bakal kalah maupun mengalah. Pertempuran yang mengguncang jagat para dewa itu membuat Batara Narada turun ke bumi untuk melerai sambil menyampaikan suratan takdir Dewi Sukesi yang memang digariskan menjadi jodoh Begawan Wisrawa.

Sepenggal kisah yang menarik tentang IQ dan EQ tidak dapat dipisahkan dari sosok Bagawan Wisrawa. Tes IQ yang selama seratus tahun digunakan untuk menentukan seseorang dianggap jenius, pintar, maupun di bawah rata-rata, belakangan ini tes tersebut dianggap tidak lagi relevan pada abad 21 ini. Selain materi uji yang berkisar pada penguasaan bahasa, matematika, pengetahuan umum, dan penyelesaian masalah, belum mencakup tes untuk mengetahui motivasi, kepribadian, maupun kreativitas, juga berbagai tes kecerdasan telah dibuat sepanjang abad ke 20.

Tes yang paling populer adalah tes kecerdasan yang disampaikan oleh Howard Gardner tahun 1983 yang dinamai multiple intelligence. Dalam hal ini ia menyatakan bahwa kecerdasan manusia bukan merupakan konsep tunggal, melainkan kemampuan yang spesifik dan berjumlah lebih dari satu. 

Semuanya itu fungsi bagian-bagian otak yang terpisah, serta hasil evolusi manusia selama jutaan tahun. Sampai saat ini para ahli pun belum menentukan  kesepakatan akan definisi kecerdasan beserta alat ukur dan skor kecerdasan.

Oleh karena itu, para praktisi ilmu psikologi, pendidik, juga sekolah-sekolah tidak lagi menggunakan istilah "tes IQ". Mereka menyebut tes tertentu, semisal tes potensi akademik, tes kecerdasan verbal, dan lain-lain. Akan tetapi, sebagai manusia yang dipercaya dewa untuk memiliki ilmu Sastra Jendra tentulah  Wisrawa memiliki IQ tinggi.

Akan tetapi, IQ ( Intelligence Quotients)  yang tinggi ternyata tidak ditunjang oleh EQ ( Emotional Quotients )  yang juga tinggi. Walaupun para ahli psikologi mengkritik keberadaan tes EQ karena alat ukur tes tidak valid. Alat ukur tes kebanyakan soal pilihan ganda sehingga penjawab bisa saja tidak jujur ketika mengerjakannya. 

Walaupun demikian, sebagai brahmana yang gemar bertapa seharusnya ia bisa menahan diri, apalagi niat semula bertemu Dewi Sukesi adalah untuk mencarikan jodoh anaknya, walaupun sang Dewi memaksa memilih dirinya karena ilmu yang dimilikinya. Demikian pula dengan Prabu Sumali yang sedemikian mudah menuruti kemauan anak gadisnya untuk menuntut ilmu Sastra Jendra padahal ia terlihat masih belum sanggup mencerna ilmu tersebut.

Kelalaian yang berbuntut panjang.  Walaupun kehadiran keempat putera Bagawan Wisrawa memang menjadi inti terjadinya peperangan dalam kisah Ramayana, karena tanpa Rahwana, perang Alengka belum tentu akan terjadi. Peperangan yang berawal dari ketidaksanggupan Bagawan Wisrawa menahan diri mendengar rayuan Dewi Sukesi yang terpesona kepadanya. 

Selain itu, ada pula pesan moral bahwa janganlah terlalu percaya diri merasa sanggup bertahan dari gangguan setan manakala berdua-duaan saja dengan lawan jenis di tempat sepi.  Meskipun pelakunya pertapa berpengalaman bahkan telah menjalani ajaran Sastra Jendra sekaliber Bagawan Wisrawa pun, kelengahan bisa saja terjadi.

Kelalaian yang ditunjukkan dalam kisah di atas bukanlah jalinan cinta antara Dewi Sukesi dengan Wisrawa yang memang ditakdirkan berjodoh, melainkan perilaku keduanya yang tidak sanggup menahan diri untuk tidak melepaskan birahi sebelum terjadinya pernikahan resmi. Aktivitas yang akhirnya memunculkan kelahiran anak-anak berkarakter raksasa seperti Rahwana, Kumbakarna, dan Sarpakenaka.

Bahan Bacaan
kompasiana.com/rindangayu
zenius.net
wikipedia.org
oediku.wordpress.com
wikipedia.org
wiyonggoputih.blogspot.com
kebumen2013.com
kerisnews.com
quipper.com
idntimes.com
akarasa.com
tempo.co
merdeka.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun