Potongan daging berikutnya masih berwujud raksasa, perempuan pula. Ia diberi nama Sarpakenaka --lambang nafsu sufiah, nafsu pelampiasan libido dan suka hura-hura. Suka berpesta dan berganti-ganti lelaki sesukanya asal lelakinya setuju. Kelak, ia akan mengalami nasib tragis dipotong hidungnya oleh Laksmana, adik Rama, karena merayunya setelah gagal merayu Rama yang menolaknya dengan mengatakan sejujurnya bahwa ia telah beristeri, Shinta. Ulah Sarpakenaka yang kecewa atas penolakan Rama dan Laksmana, kelak akan mengakibatkan Rahwana berkeinginan menculik Shinta.
Potongan daging berikutnya berwujud manusia tampan, lelaki yang dinamai Gunawan Wibisana. Ia simbol nafsu mutmainah. Nafsu yang cenderung mengajak menuju kebaikan dan kebenaran. Kelak, karena sering mengingatkan kakaknya, Prabu Rahwana, untuk tidak melakukan perilaku angkara, Wibisana pun  diusir dari istana Alengka. Oleh karena itu, ia bersatu dengan pihak musuh, bergabung dengan Prabu Ramawijaya, menjadi penisehat perang yang tidak dapat dianggap remeh oelh pasukan Rahwana. Di bawah nasihatnya, kejahatan di Alengka berhasil ditumpas tandas.
Pernikahan di luar dugaan dan kewajaran yang dapat ditoleransi sekitar membuat banyak pihak menjadi marah dan kecewa. Â Sepupu Dewi Sukesi yang sakti, Jambumangli sangat marah dan ingin membunuh Wisrawa, demikian pula Prabu Danaraja anak Wisrawa yang juga berkeinginan membunuh ayahnya karena merasa dikhianati.
Tatkala Wisrawa ditantang berkelahi oleh Jambumangli, ia memenangi pertandingan. Entah karena sudah kalah mengendalikan hawa nafsu yang berarti tidak lagi sempurna menjalani lelaku sesuai dengan isi Sastra Jendra, Wisrawa sedemikian kejam memperlakukan Jambumangli yang sudah terkalahkan. Tubuhnya dimutilasi, membuat Jambumangli mengutukinya, bahwa kelak salah seorang anaknya yang akan senasib dengannya, tubuhnya dimutilasi lawannya.
Danaraja pun segera datang ke Alengka dengan amarah luar biasa. Niatnya sudah bulat, akan menghukum ayahnya yang telah turun derajat kependetaannya karena terkalahkan oleh hawa nafsunya.Â
Selain itu, ia pun kecewa kepada Prabu Sumali yang merestui pernikahan keduanya. Tatkala ayah dan anak tersebut bertemu, terjadilah perdebatan yang isinya Danaraja menyalahkan ayahnya namun yang disalahkan tidak merasa bersalah jika menikahi Dewi Sukesi yang cantik, yang juga mencintainya.
Perang mulut berlanjut dengan adu fisik. Keduanya sama-sama sakti, tak ada tanda ada yang bakal kalah maupun mengalah. Pertempuran yang mengguncang jagat para dewa itu membuat Batara Narada turun ke bumi untuk melerai sambil menyampaikan suratan takdir Dewi Sukesi yang memang digariskan menjadi jodoh Begawan Wisrawa.
Sepenggal kisah yang menarik tentang IQ dan EQ tidak dapat dipisahkan dari sosok Bagawan Wisrawa. Tes IQ yang selama seratus tahun digunakan untuk menentukan seseorang dianggap jenius, pintar, maupun di bawah rata-rata, belakangan ini tes tersebut dianggap tidak lagi relevan pada abad 21 ini. Selain materi uji yang berkisar pada penguasaan bahasa, matematika, pengetahuan umum, dan penyelesaian masalah, belum mencakup tes untuk mengetahui motivasi, kepribadian, maupun kreativitas, juga berbagai tes kecerdasan telah dibuat sepanjang abad ke 20.
Tes yang paling populer adalah tes kecerdasan yang disampaikan oleh Howard Gardner tahun 1983 yang dinamai multiple intelligence. Dalam hal ini ia menyatakan bahwa kecerdasan manusia bukan merupakan konsep tunggal, melainkan kemampuan yang spesifik dan berjumlah lebih dari satu.Â
Semuanya itu fungsi bagian-bagian otak yang terpisah, serta hasil evolusi manusia selama jutaan tahun. Sampai saat ini para ahli pun belum menentukan  kesepakatan akan definisi kecerdasan beserta alat ukur dan skor kecerdasan.
Oleh karena itu, para praktisi ilmu psikologi, pendidik, juga sekolah-sekolah tidak lagi menggunakan istilah "tes IQ". Mereka menyebut tes tertentu, semisal tes potensi akademik, tes kecerdasan verbal, dan lain-lain. Akan tetapi, sebagai manusia yang dipercaya dewa untuk memiliki ilmu Sastra Jendra tentulah  Wisrawa memiliki IQ tinggi.