Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Materialisme dan Kebahagiaan

11 Juni 2020   19:13 Diperbarui: 11 Juni 2020   19:31 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Orang materialistis bersandar pada kekayaan untuk kebahagiaan mereka, 6. orang dapat menemukan kebahagiaan dari rewards yang datang kepada kita. Orang materialistis tidak memiliki waktu mengobrol ringan dengan tetangga, bercanda denga anak-anak, dan terakhir, 8) menurut Russel (dalam Rahmat, 2004:173) bahwa berbagai penelitian tentang materialistis menghasilkan temuan yang sama: mereka menderita syndrom dengki, bakhil, dan posesif. Tentu saja, tidak ada kebahagiaan yang akan menghampiri karakter tersebut.

Lalu apakah bahagia itu dalam buku yang berjudul Meraih Kebahagiaan? Seorang anak muda menderita begitu banyak musibah sehingga ia hampir putus asa, lalu memohon izin kepada ayahnya untuk melakukan perjalanan agar dengan kekuatan sendiri ia berhasil mencapai keinginannya, sang ayah pun menasihati bahwa kebahagiaan bukan dicari dengan jerih payah melainkan dengan mengurangi keinginan. 

Kebahagiaan menjadi kata yang tidak sama bagi masing-masing orang jika yang diharapkan adalah merasakan bahagia karena kepuasan. Bukankah kepuasan masing-masing orang pun tidak sama?

Walaupun kata bahagia masing-masing orang berbeda-beda, kita masih dapat mengukur kadar kebahagiaan kita sesuai dengan pendapat Fredickson ( dalam Rahmat,2004: 65) yaitu dengan adanya bukti empat emosi positif yaitu 1. joy ( keceriaan), 2. Interest (ketertarikan), 3. Contentment ( kepuasan), dan 4. cinta.

Pertama, kita mulai mengidentifikasi kebahagiaan ciri kesatu yaitu joy ( keceriaan, keriangan, kegembiraan). Agar lebih teliti, kita mencoba membatasi “joy” secara lebih khusus. Pada abad 16, Jubert ( dalam Rahmat, 2004: 68) mengatakan bahwa tertawa menghasilkan kelebihan aliran darah yang membentuk air muka tampak sehat serta menumbuhkan vitalitas pada wajah. Oleh karena itu, tertawa dianggap memiliki  daya penyembuh sangat penting. 

Walaupun demikian, tertawa acapkali berseberangan dengann moralitas karena dianggap menimbulkan keriangan di atas derita orang lain. Betulkah? 

Selama ini, tak ada tawa yang lebih lepas dan menggetarkan tubuh selain menertawai diri sendiri. Setiap hari, setiap saat, setiap waktu, setiap detik, ada saja kesalahan yang kita lakukan. Lalu dalam perjalanan, ingatan tersebut membuat kita ingin tertawa, paling tidak, tersenyum, menertawai kekonyolan diri sendiri. 

Jika harus dievaluasi, tentu dilakukan demi tidak mengulang lagi kesalahan yang sama. Apabila telah melakukan evaluasi  dan masih saja mengulang kesalahan yang sama, tertawa sebelum melakukan langkah berikutnya terasakan lebih nyaman daripada bersungut-sungut apalagi buru-buru mencari kambing hitam, bukan?

Ciri bahagia berikutnya adalah ketertarikan. Banyak hal menarik dari isi semesta ini. Tetes embun di pagi hari yang menimbulkan bintik bening pada kelopak mawar merah, sanggup membuat pelukis segera menuangnya ke dalam kanvas, penyair segera menuliskannya menjadi sajak indah buat kekasih, kaum wanita memetiknya dan memasukannya ke dalam vas bunga. Kilau embun di hamparan rumput yang tertimpa sinar matahari pagi pun sanggup membuat kita bernapas lega. Kilaunya menerpa bagaikan taburan mutiara di atas hamparan permadani hijau.  Lalu dengan riang kita pun melangkah lagi menapaki waktu meneruskan kehidupan yang tidak kita ketahui sampai kapan akan terhenti.

Kepuasan, merupakan ciri bahagia nomor tiga. Sesungguhnya, siapakah yang sanggup membuat manusia merasa puas? Dalam penelitian (Rahmat, 2004:80) dinyatakan bahwa orang yang berbahagia memiliki pemikiran yang fleksibel, insklusif, kreatif, dan reseptif. 

Emosi positif memang harus diciptakan demi mendatangkan kepuasan. Pemenuhan kepuasan pun akan membahagiaan manakala tidak melanggar moralitas, misalnya  tidak mencarinya dengan cara menikung maupun merampas hak milik orang lain. Dengan demikian, menumbuhkan kepuasan dengan cara menomorsatukan empati pun merupakan kebahagiaan, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun