Kampung Berseri Astra Desa Sidowarno Penghasil Wayang Kulit
Klaten - Bunyi tak tuk tak tuk, sudah menjadi ritme tersendiri bagi warga Dukuh Butuh, Desa Sidowarno, Kecamatan Wonosari, Klaten, Jawa Tengah. Berkat bunyi itulah, Desa Sidowarno menjadi moncer atau terkenal ke seluruh Indonesia.
Tak tuk tak tuk itu tak lain bunyi tatah saat beradu dengan lembaran kulit kerbau untuk dibuat wayang.
Ya, Desa Sidowarno memang tiada duanya dalam menghasilkan wayang. Sampai saat ini, menurut Suraji, Ketua Pokdarwis Desa Sidowarno, ada 80an warga yang masih menekuni pembuatan wayang. Namun yang masuk anggota Pokdarwis baru 50an orang.
Dengan bimbingan dari PT Astra Internasional, lanjut Suraji, perajin wayang yang masuk dalam Kube Bima, lebih berkembang.
Desa Sidowarno yang berada di pinggir Sungai Bengawan Solo tersebut, terpilih sebagai Kampung Berseri Astra (KBA) sejak tahun 2018 sampai bulan Agustus 2023 untuk periode pertama. Karena dinilai masih konsisten menjalankan 4 pilar KBA, PT Astra Internasional memilih lagi Desa Sidowarno menjadi KBA periode ke 2 atau 5 tahun selanjutnya.
Sebagai desa pilihan, PT Astra Internasional selalu mengucurkan dana sebanyak Rp30 juta sampai Rp40 juta untuk menjalankan 4 pilar tersebut, yaitu pilar pendidikan, kewirausahaan, kesehatan, dan lingkungan.
"Kami bekerjasama dengan banyak pihak untuk menjalankan 4 pilar tersebut. Untuk pilar pendidikan misalnya, kami bekerjasama dengan Sekolah Dasar untuk anak-anak latihan menari, latihan tatah sungging, dan lain-lain. Untuk pilar lingkungan, kami bekerjasama dengan warga sekitar agar menjaga lingkungan tetap kondusif dalam menyambut wisatawan, dan lain-lain," kata Suraji yang juga sebagai pengurus KBA seksi Pilar Lingkungan.
Bahkan, berkat PT Astra Internasional, Desa Sidowarno terpilih masuk 75 besar desa terbaik di ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2023 dari Menparekraf. Bahkan Menteri Sandiaga Uno sendiri yang langsung mendatangi desa yang perbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo tersebut.
Sebagai contoh untuk Pilar Kewirausahaan, salah satu keluarga yang menekuni pembuatan wayang (tatah sungging) yaitu Mbah Saiman (64) dan anaknya Pandi Istakanudin (33).
Bisa dikatakan, Mbah Saiman ini sesepuh dalam pembuatan wayang. Dirinya berkiprah sejak tahun 1970an.
"Dulu sebelum banyak yang mahir tatah sungging, saya belajar membuat wayang pada guru saya. Setelah itu, saya tularkan kepada warga sekitar," kata Mbah Saiman, saat ditemui di rumahnya pada Jumat (16/8/2024).
Salah satu putra Mbah Saiman, Pandi, sejak kecil mengaku sudah belajar membuat wayang pada bapaknya.
Namun ia mengaku tidak fokus dalam mengembangkan wayang dan memilih kuliah di jurusan komputer. Setelah lulus kuliah dan mengaku terbentur masalah ekonomi, Pandi mulai serius menekuni tatah sungging.
"Selain ikut terjun membuat wayang, saya juga mengembangkan strategi marketingnya," kata Pandi.
Strategi marketing yang ia terapkan, terbukti ampuh dan tidak tergoyahkan saat corona menyerang.
Pasangan anak dan bapak ini terus memproduksi wayang, meskipun tidak ada yang memesan. Dalam artian, bila ada orang yang mau membeli untuk koleksi, maupun untuk souvenir atau untuk hadiah, di tempatnya selalu ada tanpa harus menunggu lama.
Dengan cara seperti ini, terbukti banyak suruhan pejabat yang datang membeli wayang untuk hadiah perpisahan.
Harga yang ia banderol antara Rp850.000 sampai Rp2 juta.
Beberapa dalang kondang, sudah sering memesan wayang di tempatnya. Seperti Bayu Aji, Cahyo Kuntadi, Seno Nugroho (almarhum), dan lain-lain.
Dari sikap konsistennya, pesanan wayang yang masuk cukup banyak. Agar cepat selesai, pembuatan wayang dibantu beberapa warga, yang dibawa pulang. Ada sekitar 20 orang yang mengambil pekerjaan pembuatan wayang tersebut. Secara langsung, keluarganya sudah menciptakan lapangan pekerjaan untuk orang lain. Sehingga bisa dikatakan, keluarganya berkarya sesuai salah satu pilar KBA yaitu Pilar Kewirausahaan.
Pandi mengatakan, ketika Astra Internasional memilih desanya menjadi Kampung Berseri Astra (KBA), dampak yang dirasakan bagi perajin sangat luar biasa.
Yang semula desanya belum punya joglo, berkat Astra Internasional, sudah berdiri joglo megah sebagai ikon desa sekaligus tempat bertemunya para perajin dan wisatawan.
Perajin muda lainnya, Sugiyarto (39), melakukan hal yang sama. Pria yang pernah bekerja di pabrik setelah lulus SMK tersebut, lebih memilih menekuni dunia wayang.
"Saya bekerja di pabrik selama 2 tahun. Karena lebih tertarik membuat wayang, saya akhirnya keluar dari pabrik sampai sekarang,'' kata bapak berputra satu tersebut.
Sugiyarto mulai serius membuat wayang sejak tahun 2006, saat usianya waktu itu masih 20 tahun. Saat itu, kenang Sugiyarto, banyak teman yang meledeknya.
"Kamu kerja membuat wayang itu penghasilannya berapa sih?,'' kata Sugiyarto menirukan ucapan temannya kala itu.
Namun pendirian Sugiyarto tidak goyah. Ia yang semula belajar menatah wayang pada Mbah Saiman, kini merasa enjoy kerja mandiri di rumah tanpa diatur oleh jam kerja.
"Selain untuk melestarikan budaya leluhur agar jangan punah, sekaligus bisa menghasilkan uang yang lumayan untuk menghidupi keluarga," kata Sugiyarto tersenyum.
(Nanik Hastuti)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H