Amanda tak bereaksi. Tangannya bersedekap di dada. Tak juga menoleh ke arah Inu.
''Turun dulu dong bentar, kita ngobrol di gazebo'', Inu merayu.
Amanda tak bereaksi. Kaki kanannya bergerak-gerak, menginjak pedal.
''Maaaaafff, sekali lagi maaaaffff. Turun dulu dong''.
Amanda tetap tak bereaksi. Kaki kanannya bergerak ke atas. Bukan untuk turun, tapi  untuk menyetater motornya.
''Kita belum ngobrol, mosok mau pergi? Lima menit sajalah. Kamu turun, duduk di gazebo, kita ngobrol lima menit saja. Jangan berdiri seperti sekarang ini'', volume suara Inu lembuuuut banget.
Mesin motor berbunyi. Tangan kanan Amanda yang terbungkus kaos tangan memutar-mutar gas. Pandangannya menunduk. Inu berdiri di depan motor, tangan kanannya menahan.
''Okey? Matikan mesinnya, piss, kita damai'', Inu menunjukkan dua jarinya, persis di depan hidung Amanda.
Sore semakin merambat turun. Suasana kompleks kantor sudah benar-benar sepi. Hanya ada satu dua orang yang lewat, membunyikan klakson mau pulang. Inu membalas dengan anggukan. Personil yang harus piket, masing-masing tetap di pos-nya, di dalam kantor.
Matahari semburat jingga di ufuk barat, semakin menambah kegelisahan hati Inu. Amanda belum menunjukkan tanda-tanda ''jinak''nya. Inu harus bekerja ekstra merayunya, apapun akan ia lakukan.
Tangan kanan Amanda menarik gas, motor melesat maju beberapa meter. Inu masih punya harapan. Motor akan berbalik arah, karena pintu belakang mako ditutup rapat-rapat kalau sore begini. Yang dipergunakan keluar masuk, pintu utama, pintu depan.