''Ikut dong Bang''.
Tidak ada tanda-tanda Bang Hendry-nya itu mempersilakan dia berlalu. Bahkan nada-nadanya, beliau ingin mengajak ngobrol banyak.
''Besok habis nembak, kita makan sop iga bakar di Pak Kumis ya dik? Mau nggak?''.
''Siap Bang''.
''Sudah pernah ke sana, kan?''.
Duh Bang, kita ngomongin tentang sop besok saja ya? Ini ada gadis di belakang gedung yang siap meledak sewaktu-waktu bila dirinya tidak segera ke sana. Gadis itu sangat menakutkan untuk saat ini. Seperti bom waktu, Bang. Kalau meledak, bisa hancur dunia. Setidaknya, duniaku, Bang. Inu mengeluh dalam hati tapi tetap tidak bisa berkutik. Hmm, salah waktu tadi dia turun.
''Pernah sekali aja Bang, saya nggak begitu suka sop iga'', Inu memamerkan deretan giginya, dengan gelisah.
Waka Hendry duduk di kursi panjang, yang berada tidak jauh dari depan anak tangga. Itu pertanda mengajak ngobrol lebih lama lagi. Inu semakin gelisah. Waktu terus berlalu, obrolan basa basi yang sama sekali tidak penting, meluncur. Itu artinya, bom waktu siap meledak di kepala Inu. Sebentar lagi, ya, sebentar lagi.
Inu memberanikan diri menarik obrolan. Ia minta maaf berkali-kali. Waka Hendry mempersilakan. Kaki jenjangnya segera melangkah tergesa, melewati pintu samping. Setengah berlari, ia menuju gazebo yang berada di ujung jalan dekat lapangan baru. Jaraknya lumayan jauh. Kalau memakai mobil, ia harus ke parkir dulu, yang letaknya juga memakan waktu. Berlari-lari kecil di sore hari, tak apa, demi menahan sang bom waktu tidak meledak.
Perasaannya langsung galau mendadak. Amanda terlihat dengan angkuhnya duduk di atas trail hijau, lengkap dengan tas ranselnya, dengan helmed-nya. Pandangannya lurus ke depan. Tak bergerak-gerak. Itu pertanda marah akut.
''Ketemu Pak Waka tadi di ujung tangga, maaf'', Inu menepuk jok trail.