"Aduh bro, kan tadi gue udah ngomong. Pakai pulsa aja yang kuota khusus kaum duafa. Mana mungkin punya uang sebanyak itu. Uang hasil usaha dalam satu bulan kadang-kadang ada kadang-kadang kosong. Kalau ada uang bisa tersenyum bahagia tapi kalau kosong bengong deh lalu bertanya dalam hati,Tuhan apa salahku?"
Wajah brondong berubah seperti di bulan desember, berwarna putih cerah menjadi hitam mendung.
Akhirnya setelah lelah bernegosiasi Brondong memelas," ok lah kawan. Berapa kau punya rupiah pasti ku terima."
Setelah diam sesaat, dengan rasa terpaksa agar si awan mendung segera berlalu saya berikan dua lembar uang seratus ribu rupiah. Syukur deh dia angkat kaki, tanpa ingat berkata terima kasih. Dasar orang stres.
Selanjutnya saya merapat ke suatu warung kopi untuk berusaha melupakan tragedi hari ini. Rasa kopinya mantap. Rasa kopi yang tidak pernah di buat oleh pabrik kopi sekelas kapitalis dunia.
Biasanya rasa kopi terbagi dari rasa kopi hitam murni dan kopi hitam capur susu. Tapi yang ini rasa kopinya belum ada yang mengkopi di mana pun. Kopi rasa surga bercampur dengan hangatnya api neraka, kopi hitam pahit panas menyatu dengan aduhainya rasa pisang goreng pakai cabe rawit tiga biji sekali makan.
Memang enak tinggal di Indonesia. Modal sedikit untung gede.
Tiga puluh menit si awan mendung berlalu saya di hampir lagi oleh kawan satu kelas ketika musim putih abu-abu berlangsung.
 "Oe ! bro," sapa saya rasa bahagia.
"Salam jumpa pejuang!" ucap kawan saya yang punya nama lengkap Brojol.
"Ada berita apa nih? Sepertinya heboh banget," saya merasa penasaran melihat wajahnya seperti orang kecewa.