Terdakwa mengetahui bahwa pada saat menjabat sebagai Sekretaris KKSK sebelum menjadi Ketua BPPN, terdakwa tidak dapat melakukan penghapusan piutang dan penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham serta Surat Keterangan Lunas (SKL), karena Sjamsul Nursalim belum memenuhi tanggung jawabnya atas kesalahan representasi (misrepresentasi) piutang BDNI yang diberikan oleh petambak kepada BPPN dengan syarat membayar sisa utang sebesar Rp 4,58 T. Dengan menerbitkan SKL ini, hak tagih negara kepada Sjamsul Nursalim hilang, sehingga negara dirugikan senilai Rp 4,58 T.
Selain itu, pertemuan di Kantor BPPN antara terdakwa dan Itjih S. Nursalim menunjukkan niat dan keinginan untuk memastikan bahwa Sjamsul Nursalim tidak melakukan misrepresentasi. Selanjutnya, terdakwa dan Dorojatun mengusulkan untuk menghapus utang petambak sebesar Rp 2,8 T, tetapi usulan tersebut tidak disetujui oleh Presiden pada saat RATAS. Meskipun demikian, terdakwa tetap mengirimkan Ringkasan Eksekutif BPPN kepada Dorojatun, Ketua KKSK, untuk memberikan penghapusan utang petambak yang tidak disetujui oleh RATAS. Dorojatun kemudian setuju dan membuat keputusan yang mencabut dua SK KKSK sebelumnya yang memerintahkan tindakan terhadap Sjamsul Nursalim, sehingga menyebabkan hilangnya hak tagih negara atau BPPN kepada Sjamsul Nursalim.
ANALISIS PUTUSAN BEBAS KASASI TERDAKWA SYAFRUDDIN ARSYAD TUMENGGUNG DANÂ JUDICIAL CORRUPTION
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah dasar putusan bebas yang sangat penting dalam proses persidangan terdakwa kasus tindak pidana korupsi. Menurut penulis, putusan bebas tersebut tidak tepat karena, jika melihat urutan peristiwa, semua unsur-unsur dakwaan telah terpenuhi. Selain itu, berdasarkan fakta-fakta hukum yang terbukti, unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam kasus ini sudah sangat jelas.
Tindakan terdakwa sebagai Ketua BPPN yang mengeluarkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham (SKL) telah menyebabkan hak tagih negara terhadap Sjamsul Nursalim hilang dan merugikan negara. Sebelum menjabat sebagai Ketua BPPN, terdakwa adalah Sekretaris KKSK yang terlibat dalam restrukturisasi piutang BDNI pada tahun 2001, yang berarti terdakwa sudah mengetahui adanya masalah dengan piutang tersebut. Setelah menjabat sebagai Ketua BPPN, terdakwa mengeluarkan SKL untuk piutang BDNI kepada petambak udang senilai Rp 4,8 triliun, yang menguntungkan Sjamsul Nursalim karena negara tidak perlu membayar utang tersebut.
Tindak pidana korupsi muncul berdasarkan teori yang telah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu, sangat mungkin bahwa keputusan tersebut tidak direncanakan dengan baik. Tindakan terdakwa dan posisinya seharusnya tidak membebaskannya dari tanggung jawab. Berdasarkan sejumlah fakta yang ada, kebebasan terdakwa dalam proses kasasi ini juga diduga melibatkan elemen korupsi hukum. Diduga ada pertemuan antara hakim di hadapan Majelis Hakim Kasasi dengan Penasihat Hukum terdakwa yang tidak hadir dalam persidangan, yang mengindikasikan bahwa posisi hakim tidak independen. Bahkan, pertemuan ini melanggar kode etik hakim yang menyatakan bahwa hakim tidak seharusnya bertemu dengan pihak manapun, baik dalam maupun luar pekerjaan. Hal ini dapat menimbulkan spekulasi dan stigma negatif mengenai kemungkinan adanya korupsi hukum.
Kesimpulan
Pada tahun 2017 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka dalam kasus korupsi terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada obligor BLBI, Sjamsul Nursalim. KPK menduga bahwa penerbitan SKL ini menyebabkan kerugian negara sekitar Rp4,58 triliun. Lalu pada tahun 2018, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memutuskan bahwa Syafruddin Arsyad Temenggung bersalah dan menjatuhkan vonis hukuman 13 tahun penjara. Putusan ini didasarkan pada bukti bahwa Syafruddin menyalahgunakan kewenangannya sebagai Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dalam penerbitan SKL.
Selanjutnya pada tahun 2019, Syafruddin Arsyad Temenggung mengajukan banding, dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengurangi hukumannya menjadi 15 tahun penjara. Kasasi di Mahkamah Agung (MA), Syafruddin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam putusan kasasi, Mahkamah Agung memutus bebas Syafruddin Arsyad Temenggung pada Juli 2019. Putusan bebas ini mengejutkan publik dan memicu kontroversi karena MA menyatakan bahwa perbuatan Syafruddin bukan merupakan tindak pidana, tetapi merupakan kebijakan administrasi negara.
Putusan bebas dari Mahkamah Agung memicu banyak kritik, termasuk dari pihak KPK. KPK menilai putusan ini tidak sesuai dengan fakta hukum dan bukti yang ada. KPK juga sempat mempertimbangkan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK), tetapi hasil akhirnya tetap mengukuhkan putusan kasasi.
Proses hukum terhadap Syafruddin Arsyad Temenggung telah selesai di tingkat Mahkamah Agung dengan putusan bebas. Meski KPK telah membawa kasus ini hingga pengadilan, akhirnya putusan kasasi Mahkamah Agung membebaskan Syafruddin dari dakwaan tindak pidana korupsi.