4. Expose (Pengungkapan)Â
Terdakwa menjabat sebagai Ketua BPPN sejak tahun 2002 hingga kasus ini dibawa ke pengadilan pada tahun 2018. Selama 16 tahun, Jaksa Agung dan KPK belum menemukan bukti yang cukup untuk membawa kasus ke pengadilan. Kurangnya pengungkapan dan penindakan tegas menyebabkan kasus ini baru sampai ke pengadilan. Dalam hal ini, KKSK sangat penting untuk melakukan pengecekan ulang terhadap SKL yang dikeluarkan oleh Ketua BPPN melalui tim independen, meskipun masih terdapat kekurangan. Perlu dicatat bahwa dalam kasus ini, terdakwa tidak melakukan tindak pidana sendirian, tetapi bersama dengan orang lain, yaitu Ketua KKSK Dorojatun Kuntjoro-Jakti. Penulis menganalisis bahwa semua pihak bekerja sama untuk menghindari hal-hal yang dapat dicurigai oleh penegak hukum lainnya. Bahkan, meskipun beberapa kali terlibat dalam kasus hukum, selalu tidak ada cukup bukti hingga SP3 dikeluarkan.
ANALISIS KASUS SYAFRUDDIN ARSYAD TUMENGGUNG BEDASARKAN TEORI ROBERT KLITGAARD (CDMA Theory)Â
Dalam teori Robert Klitgaard terlihat dari kewenangan terdakwa sebagai Ketua BPPN yang memiliki hak untuk mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap Sjamsul Nursalim, yaitu:
1. Monopoly (Monopoli)Â
Terdakwa adalah Ketua BPPN dan Dorojatun Kuntjoro-Jakti adalah Ketua KKSK. Selama masa jabatan mereka, terdakwa memberikan rekomendasi atau saran kepada KKSK untuk mendapatkan keputusan No. Kep.01/K/KKSK/05/2002, yang berkaitan dengan pengembalian aset piutang petambak udang PT DCD dan PT WM akibat adanya MSAA dari Sjamsul Nursalim. Terdakwa mengeluarkan instruksi melalui memo pada 12 Mei 2002, meskipun mengetahui bahwa Sjamsul Nursalim tidak mau bekerja sama dan selalu menolak mengimplementasikan SK KKSK tanggal 27 April 2000.
Mereka juga mengetahui bahwa, sesuai janji Sjamsul Nursalim dalam MSAA, piutang petambak udang akan digunakan untuk membayar atau mengurangi kewajibannya. Namun, Dorojatun Kuntjoro-Jakti terus menyampaikan dan memberikan tembusan kepada terdakwa. Sebagai Ketua BPPN, terdakwa dan Dorojatun Kuntjoro-Jakti yang melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama, sehingga ada unsur monopoli dalam pelanggaran pidana ini.
Pada 29 Oktober 2003, terdakwa dan Itjih S. Nursalim mengadakan pertemuan di kantor BPPN bersama anggota BPPN dan auditor ERNST & YOUNG. Dalam pertemuan tersebut, mereka membahas materi yang telah dibahas pada rapat tanggal 21 Oktober 2003, dan sampai pada kesimpulan yang sama bahwa Sjamsul Nursalim tidak melakukan misrepresentasi terhadap utang petambak PT DCD dan PT WM.
Terdakwa dan Dorojatun kemudian menghadiri Rapat Kabinet Terbatas pada 11 Februari 2004 dan menyarankan untuk menghapus utang petambak sebesar Rp 2,8 T. Terdakwa tidak menyatakan bahwa Sjamsul Nursalim melakukan misrepresentasi, dan usulan tersebut tidak mendapat persetujuan dari Presiden. Terdakwa kemudian mengirimkan Ringkasan Eksekutif BPPN kepada Dorojatun Kuntjoro-Jakti, yang menyetujui dan sependapat dengan usulan Terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung, dan mengeluarkan Keputusan Nomor KEP.
Dalam Keputusan Nomor 02/K.KKSK/02/2004 tanggal 13 Februari 2004, diketahui bahwa rapat tersebut tidak pernah mengambil keputusan atau menyetujui penghapusan porsi utang petambak. Selain itu, dalam keputusan yang disetujui oleh Dorojatun Kuntjoro-Jakti selaku Ketua KKSK, dua SK KKSK sebelumnya yang memutuskan penagihan terhadap Sjamsul Nursalim dinyatakan tidak berlaku, dan hak tagih negara atau BPPN kepada Sjamsul Nursalim hilang.
2. Accountability (Kurangnya Akuntabilitas)Â
Dana BLBI telah ada sejak era Presiden Soeharto, tepatnya pada tahun 1998, tetapi baru pada era Presiden Habibie menunjukkan kurangnya akuntabilitas. Penulis menganggap audit BPK sebagai tindakan yang terlambat dalam menangani kasus dana BLBI, khususnya dalam menyebarkan dana dan mengidentifikasi para obligor yang menerima dana tersebut. Selain itu, penampilan terdakwa menunjukkan ketidaktanggungjawaban yang jelas karena mengeluarkan SKL dengan mengabaikan hambatan yang ada, bahwa Sjamsul Nursalim tetap harus membayar kepada negara sebesar Rp 4,58 triliun.
ANALISIS KASUS SYAFRUDDIN ARSYAD TUMENGGUNG BEDASARKAN TEORIÂ WILLINGNESS AND OPPORTUNITY TO CORRUPTÂ
Menurut teori ini, korupsi terjadi ketika terdapat kesempatan/peluang (akibat kelemahan sistem, kekurangan pengawasan, dan sebagainya) dan niat/keinginan (akibat kebutuhan dan keserakahan). Sebagaimana ditunjukkan oleh analisis sebelumnya, terdapat peluang dari segi wewenang yang dimiliki oleh terdakwa sebagai Ketua BPPN. Terdakwa akhirnya dapat menghapus piutang BDNI yang dijamin oleh PT DCD dan PT WN, serta mengeluarkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul Nursalim.