Mohon tunggu...
M Ali Fernandez
M Ali Fernandez Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat Konsultan Hukum

S1 Hukum Pidana UIN Jakarta (Skripsi Terkait Tindak Pidana Korupsi) S2 Hukum Pidana Program Pasca UMJ (Tesis Terkait Tindak Pidana Pencucian Uang) Konsultan Hukum/Lawyer (081383724254) Motto : Yakusa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Munas XI KAHMI: Politik Gagasan

25 November 2022   10:52 Diperbarui: 25 November 2022   11:24 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Muhammad Ali Fernandez, SHI., MH. [1] 

 

Korps Alumi Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), wadah berkumpulnya alumni HMI Se-Indonesia menyelenggarakan Munas XI untuk regenerasi kepemimpinan. Alasan KAHMI Nasional memilih Kota Palu, Sulawesi Tengah, sebagai lokasi Munas XI, salah satunya agar dapat membantu membangkitkan perekonomian Palu pasca gempa Tahun 2018. Dibawah kepemimpinan Kanda Sabarudin, sebagai Ketua OC dan Kanda Viva Yoga Mauladi, sebagai Ketua SC, kita semua berharap Munas XI KAHMI, tahun 2022 bukan sekedar suksesi seremonial semata melainkan juga regenerasi gagasan dan ikhtiar membentuk peradaban baru sebagaimana tema Munas XI : "Bangkit, Bersinergi Membangun Negeri Menuju Peradaban Baru". Dengan dukungan penuh Majelis Wilayah KAHMI Provinsi Sulawesi Tengah, Kanda Andi Mulhanan T, selaku Ketua Umum MW KAHMI., semoga Munas XI KAHMI bisa melahirkan pikiran-pikiran brilian untuk bangsa.

Pasca pandemi Covid 19 yang meluluhlantakan sistem ekonomi dan kesehatan global, Indonesia berkejaran dengan waktu, mencoba membangkitkan kembali perekonomian dan memperbaiki sistem kesehatan. Istimewa, bersamaan dengan itu semua, Republik menyongsong Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serentak dengan Pemilu Legislatif pada tahun 2024.

Memang "Ketegangan" politik terjadi setiap menjelang Pemilu. Namun menjelang Pemilu 2024 hal tersebut sedikit berbeda. Bukan saja karena pemegang tiket milik Partai Politik yang memiliki hak mencalonkan kandidat Presiden/Wakil Presiden adalah hasil Pemilu 2019 yang sama-sama sudah kita ketahui, tetapi juga pada 2024 tidak ada petahana (incumbent). Presiden Jokowi tidak dapat mencalonkan lagi sebagai Presiden sebagaimana mandat Pasal 7, UUD 1945 yang menyebutkan, "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan".

 Ketiadaan petahana, ditengah ide besar yang Presiden Jokowi canangkan seperti Ibukota baru (IKN) dan berbagai proyek raksasa lainnya diseluruh Indonesia berpotensi terhalang kebijakan Presiden baru pasca 2024. Karena jika Presiden baru yang terpilih berseberangan dengan ide-ide pemerintahan sebelumnya, bisa jadi ide-ide tersebut ditunda. Belum lagi, jika Parlemen mayoritas dikuasai lawan politik Presiden terpilih, ketegangan bisa menjadi-jadi. Sebagaimana kita tahu, meskipun Indonesia menganut sistem Presidensial (Presiden dipilih rakyat) bukan Parlementer (Presiden dipilih DPR), namun demikian Presiden terpilih kerap harus "tunduk" dan "bernegoisasi panjang" dengan Parlemen.

 Karena itu, di Munas XI ini, KAHMI punya pekerjaan rumah yang tidak sedikit. Melalui wakilnya di Parlemen, bagaimana agar KAHMI dapat membantu memperbaiki sistem politik dan tata negara Indonesia, meskipun hasilnya tidak dicapai dalam waktu singkat. Setidaknya tercatat, ada dua persoalan yang patut mendapat perhatian pada tahun 2024 yaitu : Pertama, Sistem Presidensial quasi Parlementer, Kedua, Pemilihan Kepala Daerah Serentak.

 

Sistem Presidensial Quasi Parlementer 

Indonesia memulai tradisi baik pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung sejak tahun 2004. Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, "Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh Rakyat". Praktiknya, Presiden diusung atau diusulkan oleh Partai Politik dengan presentasi jumlah kursi atau suara tertentu. Ketentuan tersebut telah ada sejak tahun 2003, sebelum Pemilihan Presiden pertama kali berlangsung. Ambang batas tersebut belakangan kita kenal dengan istilah Presidential Treshold, berikut detail ketentuannya :  

  • Pada Tahun 2003, melalui Pasal 5 ayat (4), UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, disebutkan : "Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 % dari jumlah kursi DPR atau 20 % dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR".
  • Pada 2008, melalui Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang berbunyi : "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau 25 % dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden".
  • Pada 2017 melalui UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, berbunyi : "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 % dari suara sah nasional pada Pemilu Anggota DPR sebelumnya".

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla (MJK), meskipun didukung oleh partai-partai kecil, menemukan sejarahnya menjadi Presiden dan Wakil Presiden pertama kali dipilih secara langsung oleh rakyat Indonesia pada tahun 2004. Dimasa-masa awal pemerintahan SBY-MJK, pemerintahan berjalan kurang cepat karena tidak memiliki dukungan mayoritas di Parlemen. Belakangan, Golkar ikut mendukung pemerintahan setelah Wakil Presiden MJK menjadi Ketua Umum Golkar menggantikan Ir. Akbar Tanjung.

Kita tahu sepanjang pemerintahan SBY periode pertama, setiap kebijakan yang digagas mendapatkan kritikan keras dari oposisi. Diperiode kedua, kebijakannya Presiden SBY -yang berpasangan dengan Boediono-, juga tak lepas dari kritikan keras oposisi. Meskipun Presiden SBY "menguasai" kursi mayoritas parlemen tetapi tidak dapat dengan mulus menjalankan kebijakan pemerintahan. Pada 10 tahun periode pertama, kita menemukan pola unik. Betapa Presiden yang nota bene dipilih langsung oleh rakyat, tetap harus "menjaga" DPR yang juga dipilih Rakyat.

 Pada 2014, periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, sejarah seolah berulang. Kita menyaksikan sempat ada semacam "dualisme" pimpinan di DPR. Efeknya, pemerintahan berjalan kurang stabil. Selain itu, kita menyaksikan adanya dualisme kepemimpinan partai politik. Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla bukan hanya bekerja untuk menyelesaikan substansi persoalan negara seperti persoalan perekonomian, kesejahteraan rakyat, kesehatan, keamanan, dll melainkan juga sering repot "mengurusi" Parlemen. Kalau tidak salah, baru ditahun ketiga Pemerintahan Presiden Jokowi stabil ketika Golkar sudah bergabung ke Pemerintahan.

Periode kedua Pemerintahan Presiden Joko Widodo, tampaknya tidak mau kehilangan momentum dengan senantiasa membangun hubungan baik dengan parlemen. Pasca pemilihan, hampir seluruh partai, berada dalam barisan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Kyai Ma'ruf Amin. Belakangan setelah menang, Presiden Joko Widodo, mengajak Jendral (Purn) Prabowo Subianto, yang nota bene adalah saingan dalam dua kali perhelatan pemilu, membantunya dipemerintahan sebagai Menteri Pertahanan. Luar Biasa.

 Berkaca pada sejarah diatas, kita menemukan titik dimana sistem Presidensial versi Indonesia memiliki celah. Presiden yang dipilih oleh rakyat, namun dicalonkan oleh partai politik seolah-olah mempunyai dua tuan. Satu Rakyat, satu lagi Parlemen. Presiden, sekalipun memegang mandat rakyat tidak bebas menjalankan kebijakannya. Ada lubang dalam sistem ketatanegaraan sehingga setiap pemilu, terjadi ketegangan antara eksekutif dan legislatif. Meskipun Presiden mendapatkan dukungan oleh rakyat namun pelaksanaannya harus tetap bernegoisasi dengan parlemen.

 Akibatnya, tahun-tahun pertama pemerintahan tidak berjalan maksimal. Fokus Presiden dan Wakil Presiden menjaga kestabilan politik bukan kesejahteraan rakyat. Di kali kelima, dilangsungkannya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, seyogyanya tidak lagi menjadi persoalan. KAHMI Nasional, memiliki peran potensial untuk merumuskan satu postulat politik dan hukum guna menyelesaikan persoalan tersebut. Harus ada semacam komunikasi dan "kesepakatan" antara partai politik dan semua pemain didalamnya agar Presiden/Wakil Presiden terpilih dapat menjalankan roda pemerintahan dimasa awal. Hal tersebut harus dilakukan jauh-jauh hari, karena pasca pemilihan Presiden sudah menunggu perhelatan akbar yang tidak kalah menyita perhatian dan menguras energi, yaitu : Pemilihan Kepala Daerah Serentak.

          

Pemilihan Kepala Daerah Serentak

Pemilihan Kepala Daerah sama halnya dengan pemilihan Pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Pasangan Gubenur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota, Bupati dan Wakil Bupati juga diusulkan oleh partai politik. Aturannya presentase dukungan berubah-ubah, tapi kisaran antara 15-20% jumlah kursi DPRD, sebagaimana berikut : 

  • Berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, disebutkan :  "Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan".
  • Pasal 40 (1), UU 10 Tahun 2016 (perubahan kedua), menyebutkan bahwa : "Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan". Ketentuan tersebut dituangkan ke dalam aturan teknis, Pasal 5 ayat (2), PKPU Nomor 3 Tahun 2017 Jo. PKPU Nomor 1 Tahun 2020 (perubahan ketiga) tentang Pencalonan Pemilihan Gubenur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, menyebutkan : "Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memperoleh paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu Terakhir".

Pemilihan Kepala Daerah yang membutuhkan mandat partai politik di tingkat pusat, telah menjadi rahasia umum menimbulkan ongkos ekstra. Biaya pemenangan dan kampanye yang besar, ditambah adanya praktik jual beli suara (vote buting/money politics) semakin membuat sistem pemilihan kepala daerah berharga mahal. Di sinilah oligarki politik masuk dan mengambil peran. Akhirnya, siapapun kandidat yang maju dan bertarung melalui jalur partai politik tidak leluasa menjalankan gagasan dan kebijakannya karena tersandera beban modal politik. Ada "beban hutang", dimana pemenang pilkada "wajib" membayar pihak yang telah membiayainya dengan proyek dan/atau jabatan tertentu setelah terpilih. Disinilah, asal muasal korupsi politik birokrasi terjadi. Modal yang telah keluar harus dibayar mahal, berkali-kali lipat. Dalam kasus tertentu, modal diawal didapatkan juga dari proyek-proyek daerah yang sedang berjalan.

Hal ini menyebabkan korupsi politik di daerah menjamur. Akibatnya pemerintahan tidak berjalan maksimal. Anggaran pembangunan dan kesejahteraan kerap jadi bahan bancakan dan pengembalian modal politik. Berdasarkan data KPK RI, sejak 2004 hingga Januari 2022, tidak kurang 22 Gubernur dan 148 Bupati dan Walikota terjerat persoalan korupsi. Ini belum masuk data dari Kepolisian dan Kejaksaan. Ini tentu juga menjadi pekerjaan rumah bagi KAHMI.   

Karena itu, sekali lagi, harus ada jalan keluar agar suksesi kepala daerah bisa lebih murah sehingga semakin banyak warga daerah yang berani memimpin dan memberikan kontribusi terhadap daerahnya masing-masing. KAHMI Nasional yang memiliki jaringan seluruh Indonesia dan tentu saja memiliki wakil di parlemen, memiliki peran yang besar dalam menyelesaikan persoalan ini.

Memang dimungkinkan adanya calon perseorangan, namun hal tersebut terganjal syarat yang ketat dan juga mekanisme pemeriksaan di KPU yang acapkali tidak bisa "ditembus" oleh calon perseorangan. Selain itu, partai juga berkepentingan agar calon perseorangan yang bagus dan memiliki elektabilitas tinggi tidak mencalonkan diri atau tidak lolos persyaratan dukungan. Syarat usulan pencalonan yang sedemikian ketat diketahui dari Pasal 41 UU 10 Tahun 2016 (perubahan kedua) Jo. Pasal 9 dan 10 PKPU Nomor 3 Tahun 2017 Jo. PKPU Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubenur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota :

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, berkisar :

1) Jumlah penduduk DPT 2.000.000,-, di dukung 10% atau minimal 200.000 suara.

2) Jumlah penduduk DPT antara 2.000.000,- s.d 6.000.000,-, di dukung 8,5% atau sekitar 200.000 suara s.d 510.000 suara.

3) Jumlah penduduk DPT antara 6.000.000,- s.d 12.000.000,-, di dukung 7,5% atau sekitar 510.000 suara s.d 900.000 suara.

4) Jumlah penduduk DPT lebih dari 12.000.000,- didukung 6,5% atau sekitar 780.000 suara.

Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota berkisar :

1) Jumlah penduduk 250.000,- didukung 10%, atau minimal 25.000 suara.

2) Jumlah penduduk antara 250.000,- s.d 500.000, didukung paling sedikit 8,5% atau sekitar 25.000 suara s.d 42.500 suara.

3) Jumlah penduduk antara 500.000,- s.d 1.000.000,- didukung paling sedikit 7,5%, atau berkisar antara 42.500 s.d 75.000 suara.

4) Jumlah penduduk lebih dari 1.000.000,-, di dukung paling sedikit 6,5% atau 65.000,-.

 

Dalam konteks perpolitikan daerah, KAHMI Nasional dapat bekerjasama dengan KAHMI Wilayah (Provinsi) atau KAHMI Daerah (Kabupaten/Kota) agar dapat menyelesaikan persoalan biaya politik mahal tersebut. Jika sulit untuk mengubah syarat dukungan, sangat dimungkinkan mendorong tokoh-tokoh KAHMI Provinsi, Kabupaten/Kotamadya untuk berani mencalonkan diri sebagai calon pemimpin di Daerah. Politik daerah yang murah sesungguhnya kunci dari proses kepemimpinan daerah yang efektif dan efisien.

Dengan begitu, kita berharap tidak ada lagi berita pejabat Gubernur, Walikota, Bupati terseret kasus korupsi. Selain itu, lewat jalur perseorangan ini bisa jadi merupakan ikhtiar Insan HMI menggenapi perjuangan menjadi insan pengabdi setelah insan akademis dan pencipta. Selamat Munas XI.

 

1) Advokat, Founder MAF Law Office. Belajar dan dikader oleh HMI Cabang Ciputat. Sekarang menjabat Ketua Bidang Hukum dan Advokasi KAHMI Tangerang Selatan & Ketua Bidang Hukum dan Advokasi HISSI Tangerang Selatan serta Menteri Advokasi  DPP LIRA. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun