Mohon tunggu...
Nandeka Meisya
Nandeka Meisya Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - XII MIPA 6

Tugas Bahasa Indonesia dan Sejarah Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perihal Senja dan Semesta

25 Februari 2022   14:06 Diperbarui: 25 Februari 2022   14:14 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Entah ini perasaanku saja atau bukan, tapi malam ini teramat sangat dingin bukan main. Dingin ini menusuk kedalam tulangku tanpa perasaan seraya angin membelai wajahku tanpa sentuhan. Oh, serangga-serangga pun tidak mau kalah, mereka saling bersahutan seolah menertawakan kegelisahan yang kurasakan. 

Namaku... Senja, aku sedang terduduk sendirian di halaman rumahku tanpa teman. Bilang saja aku aneh karena sudah tahu hawa dingin malam ini teramat sangat liar tapi tetap memilih duduk di luar. 

Senja, nama yang cantik kan? Konon, senja melambangkan pesona dan karisma. Senja juga mengartikan tentang seorang pekerja keras yang memiliki mimpi besar juga semangat yang tidak habis habis! Keren, kan?

Aku juga Senja, tapi mungkin aku tidak terlalu sesuai dengan definisi yang ku sebutkan di atas tadi. Aku memang memiliki mimpi yang besar, namun terkadang aku masih mudah terpatahkan oleh kata kata yang diucapkan oleh orang sekitar. Aku---sedikit lemah. 

Jujur, aku sedang sangat gelisah malam ini dan sumber kegelisahanku adalah diriku sendiri. Aku cukup sering merasa tidak percaya diri terhadap diriku sendiri dan entah aku tidak tau mengapa. Aku sering bertanya pada diriku sendiri, "Aku ini, sebenarnya bisa apa sih?" dan aku masih belum menemukan jawabannya sampai sekarang. 

Terlebih, aku adalah pribadi yang cukup mudah terpengaruhi oleh perkataan orang yang berniat menjatuhkanku. Seperti halnya kejadian yang baru saja terjadi padaku beberapa waktu lalu, kawanku bertanya, namanya adalah Pelita, "Rencana kalian setelah ini apa?" yang dijawab oleh temanku yang bernama Nirwana, "Sesuatu yang sesuai dengan bakatku, aku akan coba untuk membuka sebuah toko roti!" lalu aku menyahut, "Aku sih, ingin menerbitkan sebuah novel, tapi entah itu bagaimana caranya."

Dan saat itu, masih ku ingat jelas, salah satu temanku yang ada disitu---dia Guntur, membalas perkataanku, "Kamu serius? aku bahkan tidak yakin kamu bahkan bisa merangkai kata sampai bisa dibukukan seperti itu." katanya sambil tertawa remeh. Pelita menyela, "Apa salahnya? Seseorang dibebaskan untuk memiliki mimpi yang besar, tidak ada larangan sama sekali!" Nirwana pun ikut menjawab, "Kamu ini siapa sih, berani menghakimi seseorang. Merasa dirimu lebih baik, iya?" sentaknya. 

Aku memutuskan untuk melerai mereka, "Sudah, berhenti. Kalian ini seperti anak kecil saja. Yang dikatakan Guntur memang ada benarnya kok, mungkin, sekarang aku memang belum bisa apa-apa, tapi setidaknya aku masih memiliki niat untuk belajar" ku jawab seperti itu. Mereka semua terdiam. 

Guntur tidak salah, ya mungkin memang betul aku tidak sepandai itu dalam berimajinasi dan merangkai kata, jadi dia meragukanku. Dan jujur saja, perkataannya cukup menggangguku sampai saat ini. Ditambah ada hal lain yang memang sudah lama aku pikirkan, perkataan Guntur seolah kerikil kecil yang tidak sengaja hadir namun kata kata yang ia keluarkan saat itu seolah menghantui pikiranku tiada hentinya. Bilang aku ini berlebihan, tapi itulah yang aku rasakan. 

Dan saat ini pun, selain merasakan kegelisahanku saat ini, aku juga memikirkan tentang perkataan Guntur. Pikiranku berkecamuk. Suara-suara di dalam kepalaku saling bersahutan tiada hentinya. Aku larut dalam pikiranku sendiri sampai aku pun tak sadar bahwa adik-ku sudah duduk disebelah ku sedari tadi, namanya Renjana, biasa dipanggil Ana. Ia menyadarkanku, "Kak, ngapain sih? aku tanya sedari tadi tapi tidak dijawab, malah melamun!" aku tersentak dengan sedikit marah, "Sejak kapan kamu disini, mengagetkanku saja!" 

"Sejak kamu terduduk disini sambil melamunkan entah hal apa itu sampai sampai kamu tidak sadar sudah dipanggil mama sedari tadi." balasnya dengan satu tarikan napas sambil mendelik.

Aku tertawa melihat ekspresi khasnya ketika sedang marah dan itu membuat Ana semakin cemberut. "Anak kecil tidak usah tahu!" kujawab seperti itu sambil menertawakannya, aku memutuskan untuk beranjak dan masuk ke rumah, "Lihat, sekarang malah aku yang ditinggalkan." seru Ana sambil menghentakan kakinya. 

Ana, adikku satu-satunya. Sosok yang sederhana dan ia memang memiliki pribadi yang lebih berani dan berisik dibandingkan aku. Maka dari itu kami saling melengkapi. Ia bahkan terkadang lebih garang dari mama, loh! Namun, dibalik sifatnya, ia dapat memberi rasa sayang yang tulus kepada kami semua---kepada keluargaku, dengan cara apapun. Aku bersyukur memiliki Ana sebagai adikku. 

Aku disambut harumnya masakan Mama saat masuk ke rumah, "Wah harumnya~ mama masak apa?" ku tanya sambil memeluk Mama dari belakang. "Kamu ini darimana saja mama panggil tidak menyahut" "Melamun di luar, Ma!" sela Ana. 

"Menyahut saja kerjaanmu ini, Ana!" balasku. Aku terduduk di meja makan sembari memainkan ponsel dan berselancar di sosial media melihat entah apa saja yang bisa kulihat. Tidak lama setelahnya mama selesai dengan urusan dapurnya dan beliau memerintahkan Ana agar memanggil papa untuk segera makan malam. 

Sambil makan malam kita juga berbincang tentang banyak hal, salah satunya adalah tentang cita-cita dan masa depan kami---Aku dan Ana. Kami selalu terlarut dalam pembahasan yang sedang kita bahas sampai tidak ingat waktu. Suasananya teramat nyaman dan hangat sehingga aku selalu bersyukur setiap harinya karena terlahir di keluargaku ini.

Tidak ada hal yang terlalu spesial selain tetap berkumpulnya kami tanpa kekurangan satu orang pun di meja makan. Makan malam saat ini sama seperti malam-malam sebelumnya yang tidak lepas dari gurauan papa dan protesan Ana kepada papa karena melontarkan gurauan yang sama setiap harinya. Aku dan mama? kita berdua menimpali sedikit dan hanya bagian tertawa saja. 

Makan malam selesai, papa dan Ana kembali ke kamarnya masing-masing karena ada tugas yang harus mereka selesaikan dan disinilah kami---aku dan mama, di ruang tv berdua. Mama sibuk menonton sinetron favoritnya dan aku sibuk dengan ponselku. Karena merasa bosan aku mengikuti mama menonton sinetron itu, dan aku tetap merasa bosan juga tidak tertarik dengan tayangan itu lalu aku memutuskan untuk membaringkan tubuhku di paha mama. 

Suasana hening beberapa saat karena mama fokus pada tayangan kesukaannya dan aku yang mulai diserang perasaan kantuk. Damai, hening, dan sunyi. Mungkin 15 menit lamanya kami sibuk dengan dunia kami masing-masing sampai tak lama mama bertanya, "Kak, mama perhatikan akhir-akhir ini kamu sering melamun dan murung, ada apa dengan anak sulung mama ini?" sambil mengusap rambutku. Aku yang sudah setengah tidur ini kembali bangun mendengar pertanyaan mama yang setelahnya ku jawab, "Mungkin hanya perasaan mama saja, aku tidak apa apa kok, ma" kujawab demikian sambil kembali mengambil posisi tidur

"Anakku... Senjaku yang cantik, kamu hidup dan tumbuh selama ini selalu bersama mama, sayang. Hal yang kamu lakukan, perasaan yang kamu rasakan, sesuatu yang kamu suka ataupun tidak, kurang lebihnya mama tahu. Dan kalau sekarang kamu berusaha menutupi perasaanmu sekarang, kamu gagal." Mama mengalihkan perhatiannya dari televisi itu dan mulai memperhatikanku. 

Ku urungkan niatku untuk kembali tertidur, aku diam tidak mengeluarkan sepatah kata pun, aku tidak membalas perkataan mama... suasana kembali hening. Memang keluargaku ini cukup terbuka untuk satu sama lain dan ini hal yang membuatku bersyukur. 

Tidak ada kebohongan dan rahasia yang kami simpan, kami selalu berpegang dan menguatkan satu sama lain dalam hal apapun. Hal ini juga yang membuat kami tidak memiliki batasan untuk terbuka satu sama lain. 

Terutama aku dan Ana, kami bahkan tidak ragu untuk mengeluarkan apa-apa yang kami rasakan kepada mama dan papa. Jika kami berdua merasa tidak suka terhadap sesuatu atau apapun itu, kami selalu berusaha untuk selalu terbuka dan tidak menutupi apapun kepada mereka. 

Ditambah, kehadiran mama dan papa yang selalu bisa memposisikan dirinya sebagai orang tua, teman bahkan sahabat. Namun, karena papa cukup sibuk bekerja, aku lebih sering bercerita tentang hal apapun itu kepada mama, begitu pula Ana. 

Dan untuk kali ini, aku memang berusaha untuk menutupi dan tidak menceritakan tentang hal yang aku alami saat ini, aku berpikir bahwa aku terlalu sering menyusahkan mereka dan hal ini hanya akan menambah beban pikiran mama dan papa yang pada akhirnya---aku memilih untuk diam. 

Aku mencoba untuk menyelesaikan permasalahan yang bersarang di dalam kepalaku sendirian, sudah kucoba berbagai cara namun belum bisa menyelesaikan apa-apa. 

Lama diam, mama melanjutkan perkataannya, "Mama selalu berpesan kepada anak-anak mama, terutama kakak untuk selalu terbuka dan tidak ragu untuk menceritakan hal yang sedang kamu alami, kan?" Aku menjawab, "Iya, ma" mama terdiam sambil terus mengelus rambutku dengan halus, "Banyak sekali yang mengatakan bahwa ikatan batin antara ibu dan anaknya itu sangat kuat, dan mama percaya itu. Apa yang kamu rasakan, mama juga bisa merasakannya."

"Tapi ini bukan sesuatu yang serius kok ma, bukan sesuatu yang harus dipikirkan begitu dalam. Ini hanya masalah ringan yang sedikit mengganggu pikiranku, tidak perlu mama pikirkan juga, ya?" Aku menjawab dengan posisi kepala mendongak berusaha untuk berucap sambil menatap mata mama. Mama tersenyum---sangat cantik. Beliau pun ikut menatap mataku sambil tidak hentinya mengelus rambutku ini. 

"Semua rasamu itu valid, nak. Tidak peduli seberapa ringan ataupun seberapa berat masalahmu, tolong bagi bersama, ya? Mungkin mama tidak bisa selalu membantu kamu, tapi mama disini bersedia mendukung apapun keputusanmu. Mama tau anak mama ini kuat dan hebat, namun mama juga tetap ingin selalu dijadikan sandaran oleh Senja anak mama---sampai kapanpun" ucap mama. Mama terdiam sebentar lalu melanjutkan perkataannya. 

"...atau Senja sudah tidak percaya mama lagi, ya?" Lanjut mama.

Aku tersentak mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan mama. Sungguh, aku sama sekali tidak pernah terpikirkan akan hal itu. Lalu aku terdiam, jujur saja aku adalah orang yang cukup sensitif dan mudah menangis. Saat ini pun aku sedang menahan turunnya air mataku dari tempatnya. "Tidak! Sama sekali tidak ma... aku hanya takut menambah beban pikiran mama, aku terlalu sering merepotkan mama selama ini" dengan suara sedikit gemetar menahan tangis.

Karena memang pada nyatanya, mama adalah salah satu orang yang paling aku percaya selama ini. Selalu mama. 

"Senja, mama sama sekali tidak pernah merasa dibebankan oleh kamu. Barang sekali pun tidak pernah. Mama malah senang kalau kalian, anak-anak mama ini selalu bercerita tentang apapun pada mama, itu artinya kalian percaya mama, kan?" Aku mengiyakan perkataan mama dengan tegas. 

"Jangan pernah merasa sendiri ya, Senja anakku. Kalau kamu pikir tidak ada orang yang mendukungmu barang satu pun. Ingat, kamu punya mama. Mama akan selalu berusaha untuk selalu mendukung dan tetap berada di sisi Senja---sampai kapanpun."

Betul, mama selalu berpesan agar aku tidak terpuruk sendirian dalam kesedihan yang dalam. Lama setelahnya aku mulai menceritakan apa-apa saja yang mengganggu pikiranku saat ini. Aku mulai menceritakan apa yang menganggu pikiran ku saat ini, apa yang aku takuti, apa yang saat ini sedang ku perjuangkan, dan kemungkinan apa yang mungkin saja tidak bisa aku hadapi. 

Ku ceritakan semuanya tanpa kurang dan lebih... sejujur-jujurnya sesuai apa yang hatiku rasakan. Aku ceritakan semua hal yang membuatku tidak percaya pada diriku sendiri dan hal mengganggu lainnya. Dan sesuai dengan apa yang aku kira... tangisku pecah---terjun bebas. 

Mama selalu mengajarkan kami untuk selalu menatap  dan memperhatikan siapa yang kami ajak dan siapa yang mengajak kami bicara, sebagai bentuk menghargai lawan bicara kami. 

Dan ya, mama tidak lagi menonton tayangan sinetron itu, beliau mendengarkanku dengan seksama, perhatiannya ia pusatkan padaku---selalu seperti itu. Sambil menangis aku luapkan semua hal yang aku sembunyikan, tentang keresahan pada diriku sendiri, tentang ketakutan dan kegelisahanku akan masa depan yang belum tentu terjadi. 

Aku tidak bisa menahan isak tangisku. Suasana malam ini dipenuhi tangis dan kesedihan yang sengaja ku luapkan. Aku tidak memperdulikan apapun selain perasaanku, saat ini. Mama belum mengeluarkan sepatah kata pun dan memilih membiarkanku menangis sampai aku merasa puas. 

Aku berhenti karena sudah menangis cukup lama dan lelah, tenggorokanku pun mulai kering. Satu hal yang aku rasakan setelah meluapkan semuanya hanya satu, lega. 

Perasaan lega dan malu mendominasi suasana kali itu, setelah aku menangis. Aku malu karena aku merasa menangis terlalu berlebihan... tapi tidak apa apa. 

Aku tertawa sembari menatap mama dan dengan segera ia merengkuhku ke dalam pelukannya dengan sayang, mengusap rambutku dan tidak lupa memberikan kalimat penenang untukku. Diusapnya sisa air mata yang menggenang di pipi lalu mama berkata, "Senja-ku yang hebat, terimakasih karena sudah bersedia menceritakannya pada mama ya. Kamu hebat dan akan selalu seperti itu," mama berucap dengan nada lembut. 

"Tidak apa apa untuk merasa demikian, rasa takut, rasa gelisah, dan semua rasa-rasa yang kamu rasakan saat ini itu normal dan tidak salah sama sekali," Lanjutnya. "...namun mama harap, tolong jangan berlarut dalam rasa itu, ya? Ayo bangkit, jika kamu kesusahan untuk memulai semuanya, mama akan membantumu dan memapahmu dari awal, mama akan selalu mendukungmu, dan mama akan berusaha membantumu bangkit." aku kembali menangis dan mama malah menertawakanku. 

Yang mama lakukan setelah mendengar ceritaku adalah, tentunya memberikan nasihat. Nasihat mama tidak pernah ada yang salah, aku selalu mengingatnya satu satu karena aku tau, mama tau apa yang terbaik untukku dan anak anaknya. Lalu, tidak lupa mama juga memberikan solusi, mama selalu bisa untuk tidak menghakimi-ku akan segala rasa yang aku alami, tidak pernah sama sekali mama menghakimi apa yang kami rasakan.

Mama selalu memvalidasi segala rasa yang anak-anaknya rasakan. Beliau juga selalu memberi nasihat dengan tutur kata yang baik dan hal itu selalu benar-benar bisa membantuku. Mama juga membantu menyadarkanku akan segala hal hebat menurut mama, yang sudah aku lakukan selama ini.

"Ma, terimakasih karena selalu mengerti perasaanku." mama tersenyum dengan masih setia merengkuhku di pelukannya. "Sudah tugas mama, sayang." ku tenggelamkan lagi lebih dalam pelukanku pada mama, hangat dan nyaman. Perasaan terbaik yang pernah aku rasakan selama hidupku adalah pelukan mama. Aku tidak berbohong. 

"Setelah ini, kita coba untuk menghilangkan pikiran negatifmu tentang masa depan ya, nak?" ajak mama. "Ayo kita lihat dunia ini dari sisi lain, kita tanamkan pada pikiran kita bahwa segala sesuatu terjadi dan ada karena suatu alasan. Dunia itu indah jika kita memandangnya dengan indah juga. Coba untuk mengahadapi segala permasalahan dengan positif ya, Senjaku" mama menatapku sebentar lalu kembali membawaku dalam dekapnya. 

Mendengar nasihat mama dan bagaimana cara ia memberikan padangan tentang dunia dari sisi lain padaku, aku bertekad akan melaksanakan nasihat mama dan mencoba fokus pada cita-citaku, tidak akan mendengarkan perkataan buruk dari orang lain. 

"Anggaplah itu sebagai angin lalu dan ambil saja hikmahnya." kata mama saat itu. Dan ya, memang betul. Cita-cita dan harapan kita itu bergantung pada diri kita sendiri, bukan bergantung pada orang lain. Kita yang menjalani dan yang akan menghadapi konsekuensi yang akan kita dapat juga adalah diri kita sendiri. 

Dan, peran penting dalam hidupku salah satunya adalah keluarga---terutama mama. Mama selalu menjadi penolong dan penyembuhku di setiap masalah. Papa yang selalu siap sedia jika aku membutuhkan sesuatu, dan Ana---adikku satu-satunya yang selalu bisa menghidupkan suasana bahagia dikeluarga kami. 

Dan pada akhirnya, ku temukan jawaban tentang luka-ku ini yang bisa aku temukan solusinya jika aku bersama mama, bersama keluargaku. Aku pikir aku sudah cukup dewasa... maka dari itu aku mencoba untuk menyembunyikan masalahku dan mencoba menyelesaikannya sendiri, namun caraku salah. Aku tentu bisa untuk menyelesaikan masalahku sendiri, namun dalam hal tentang perasaan seperti ini, aku selalu butuh peran keluarga untuk menyembuhkannya.

Aku memang sempat kehilangan rumahku kemarin, aku tidak tahu kepada siapa aku akan bercerita, kepada siapa aku bisa membagi keluh kesahku, dan kepada siapa aku bisa bersandar. Dan kali ini ku temukan lagi rumahku yang memang selama ini menjadi satu-satunya tempat ku pulang, yaitu Keluarga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun