Ilmu adalah pengetahuan yang tersusun secara sistematis, diperoleh melalui metode penelitian, mencakup perilaku sosial, budaya, serta fenomena alam yang dapat diukur dan diamati (Sarjuni, 2018). Karl Pearson menyebutkan dalam bukunya Grammar of Science bahwa ilmu pengetahuan adalah gambaran yang lengkap dan konsisten mengenai fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana. Oleh karena itu, menuntut ilmu adalah proses menuju hal-hal positif.
Dalam Islam, pendidikan dipahami sebagai transformasi ilmu yang bertujuan untuk menciptakan individu yang beriman dan bertaqwa. Proses belajar mengajar dalam Islam dikenal sebagai at-Ta’lim, yang mengajarkan ilmu pengetahuan agama untuk menghasilkan pemahaman yang baik pada peserta didik, sehingga melahirkan sikap positif seperti keikhlasan, percaya diri, ketaatan, kemampuan berkorban, dan keteguhan pendirian (Susanto, 2009).
Hamka membagi pendidikan menjadi dua jenis: pendidikan jasmani, yang berkaitan dengan pertumbuhan dan kesempurnaan fisik serta kekuatan jiwa dan akal; dan pendidikan rohani, yang bertujuan untuk mencapai kesempurnaan manusia melalui pengalaman dan ilmu yang didasarkan pada agama. Kedua unsur ini saling mendukung dalam perkembangan ilmu pengetahuan, karena pendidikan adalah sarana yang efektif untuk mengembangkan kedua aspek tersebut (Susanto, 2009).
 Pentingnya Menuntut Ilmu Menurut Hamka
Hamka, dalam karyanya yang dikutip oleh Susanto dalam buku *Pemikiran Pendidikan Islam*, menekankan bahwa menuntut ilmu tidak hanya bertujuan untuk mencapai kehidupan yang baik. Dengan pengetahuan, manusia dapat mengenal Tuhan, memperbaiki akhlak, dan berusaha mendapatkan ridho Allah. Melalui pendidikan seperti ini, individu akan merasakan ketenangan.
Dalam pandangan Islam, menuntut ilmu bukan hanya sekadar anjuran, tetapi merupakan kewajiban bagi setiap Muslim. Al-Qur'an dan Hadis banyak membahas pentingnya menguasai ilmu dan segala hal yang terkait dengan kewajiban tersebut. Salah satu hal yang membedakan Islam dari agama lain adalah penekanan yang besar terhadap ilmu. Al-Qur'an dan Hadis mendorong umat Islam untuk selalu mencari pengetahuan. Ilmu dianggap sebagai keistimewaan yang membuat manusia lebih unggul dibandingkan makhluk lain dalam menjalankan peran sebagai khalifah. Keduanya menegaskan bahwa umat Islam yang berilmu memiliki kedudukan yang lebih tinggi (Ulum, 2007).
Imam al-Ghazali berpendapat bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda. Setiap individu diharuskan untuk menuntut ilmu sesuai dengan bakat, kemampuan, dan situasi mereka. Ini menunjukkan bahwa menuntut ilmu adalah tanggung jawab setiap Muslim dan Muslimah tanpa memandang gender, yang dikuatkan oleh dalil dari Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad SAW (Ali, 2010).
 Hadis tentang Kewajiban Menuntut Ilmu
Hadis yang menjelaskan kewajiban menuntut ilmu terdapat dalam riwayat Ibnu Majah No. 224, dari Anas bin Malik ra, yang disahihkan oleh al-Albani dalam *Shahih al-Jaami ash-Shaghir* No. 3913. Dalam hadis tersebut, Rasulullah SAW bersabda, "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim" (al-Qazwani, 2000). Kewajiban ini berlaku untuk semua Muslim, baik pria maupun wanita. Ketika Allah menetapkan perintah, kita harus mematuhinya, yang diperkuat oleh firman Allah dalam QS. An-Nur ayat 51.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Zaid ibn Tsabit, ia menceritakan bagaimana Rasulullah SAW memintanya untuk belajar tulisan Yahudi. Zaid mempelajari bahasa tersebut dengan tekun, dan setelah menguasainya, ia menjadi perantara komunikasi antara Nabi dan orang Yahudi (Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa, 1975). Mempelajari bahasa asing sangat penting, karena dapat membantu dalam berdiskusi dan menyebarkan dakwah Islam.
Hadis lainnya menjelaskan bahwa amal seseorang terputus ketika ia meninggal, kecuali tiga hal: sedekah yang terus mengalir, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakan orang tuanya (an-Naisaburi, tt). Ini menunjukkan bahwa ilmu yang bermanfaat memiliki keutamaan dan kedudukan tinggi baik di dunia maupun di akhirat.