Ponselku bergetar, sebuah pesan whatsapp dari nomer yang tidak ku kenal masuk ke dalam daftar riwayat perpesananku. "Assalamu'alaikum." Tidak ada foto profil, namun kudapati sebuah keterangan nama pengguna , Albi Bahtiar!. Dia  teman dekatku, kita pernah akrab karena satu organisasi di sekolah, tapi pertemanan kita menjadi renggang ketika seseorang memberitahu bahwa ia menyimpan rasa padaku.
Sudah lama kami tidak berkomunikasi, tepatnya sejak kami berpisah untuk menekuni langkah masing-masing. Albi memilih menjadi penghafal Quran di salah satu pesantren di Semarang, sedang aku menekuni pendidikan di salah satu universitas ternama di Ibukota.
Aku merasa sungkan untuk membuka pesannya, sejak ia memutuskan menjadi penghafal Al-Quran, aku memilih menjauh darinya karena ku ingin dia hanya mencintai Al-Quran, tanpa dicampuri siapapun.
Tak segan-segan aku mengingatkannya untuk tetap dengan Al-Quran "Bi, lupakan aku, kamu harus bersungguh-sungguh menjaga Al-Quran, jadikan cintamu hanya Dia, jangan sampai keberadaanku di hatimu menghalagi kamu mendapat kebaikannya."
Kata-kata itu menjadi perpesanan terakhirku dengannya sekitar dua tahun lalu, tepat ketika ia pamit untuk pergi ke pesantren. Aku sering mendengar nasehat dari guru-guruku, bahwa Al-Quran sangat mulia untuk dijaga, maka ketika seseorang memilih untuk menjaganya, sudah sepatutnya ia menghempaskan kesenangan yang lain, apalagi kesenangan mencintai seseorang yang bukan mahramnya.
Selang beberapa lama setelah pesan itu masuk, aku tergerak untuk menjawab salamnya. Bukankah salam wajib dibalas?, akhirnya kubuka pesan itu untuk menjawab salam yang ia berikan. "Wa'alaikumussalam warohmatullah wabarokatuh, maaf dengan siapa ya?." Aku memastikan seseorang yang mengirimiku pesan ini adalah temaku sendiri, bukan orang lain.
Tak sampai lima detik pesanku kembali dibalasnya, "ini Albi, Dinda apa kabar?." aku lega, ternyata benar. Haruskah aku membalas pesannya lagi karena ini sebuah pertanyaan, atau biar saja ku tinggalkan karena kedatangannya tiba-tiba di tengah ketenanganku seperti ombak yang menciptakan gemuruh.
Aku sedang tidak menyukai siapapun, juga tidak ingin memikirkan tentang kehadiran lelaki dalam hidupku. Aku memintamu melupakanku, bukan berarti ada yang lain di hati, aku masih sendiri hingga kini. Meski banyak lelaki yang datang padaku, aku belum bisa menerima mereka, kesibukan telah mengalihkan perhatianku tentang lelaki, apalagi aku masih menyimpan harapan semoga kita disatukan dalam ikatan suci, tentu setelah kau berhasil menuntaskan hafalanmu, aku siap menjaganya bersama-sama. Â
Tak ingin larut dalam pertimbangan, segera ku balas pesannya dengan singkat. "Baik, alhamdulillah." Dengan harapan dia mengerti, dan tidak mengirimiku pesan lagi. Ternyata dugaanku salah, dia semakin bersemangat. Pesanku langsung terbalas sebelum ku tutup perpesanannya, "Bagaimana hafalanmu?."
Aku terpukul, menyadari hafalanku yang terabaikan, merenungi diri sendiri dan mengingat betapa semangatnya kami dahulu berusaha menghafal Al-Quran di sekolah. Aku melirik ponselku, ada pesan baru dari albi. "Kenapa? Kamu keberatan ya aku nanya gitu?."
Aku semakin malu. "Gapapa kok, seharusnya aku yang nanya hafalanmu Bi, hehe, gimana hafalanmu?." Tiba-tiba Albi menghilang, foto profilnya terhapus setelah nomernya ku simpan, status whatsappnya pun tidak lagi ku temukan, kenapa dia?
Aku merasa bersalah, apa ada yang salah dengan kalimatku? Ku baca ulang pesan yang telah ku kirimkan, lalu membaca pula riwayat perpesanan kita, tidak ada kalimat apapun yang menyakiti hati. Justru pertanyaannya tentang hafalanku yang sempat mengusik hati ini. "Bi, kenapa?" tanda pesan belum diterima, dia telah mematikan paket datanya, pikirku. Aku tak mau terlarut dalam pikiran mengapa dia begitu.
***
"Woy!." Agus membuyarkan lamunanku, aku tersenyum. "Kamu bengong aja sih akhir-akhir ini?." Agus memperhatikanku. "Eh iya gus, biasa orang labil banyak pikiran." Aku meninggalkan agus dan bergegas untuk mengambil air wudhu dan bersiap sholat maghrib berjamaah.
Aku merasa sedang tidak baik-baik saja. Hafalan Al-Quran yang harus ku emban semakin banyak, sedang ujian bertubi-tubi datang padaku, beberapa hari lalu pak yai memintaku segera mengkhatamkan hafalan dan mengkhitbah putrinya. Aku bingung, sedang aku merasa tak pantas berada diantara keluarga pesantren.
Aku merasa resah, karena itu aku teringat kamu satu-satunya orang yang bisa membuatku tenang, sudah lama aku menaruh hati padamu, kau hangat, tapi mendadak dingin ketika kabar aku jatuh hati sampai padamu. Aku merasakan bagaimana canggungnya kita selama ini, hingga kau berpesan, "kamu harus bersungguh-sungguh menjaga Al-Quran, jadikan cintamu hanya Dia". Aku masih menyimpan pesan ini, lalu ku sematkan di layar depan ketika ponselku terkunci.
Sore tadi, ketika aku menghadap pak Yai untuk setoran hafalanku, tiba-tiba aku lupa, berkali-kali pula aku keliru, pak Yai menegurku. "Hafalanmu gak nambah-nambah, banyak yang keliru, kamu kenapa?." Aku menundukkan kepala, beberapa minggu ini pikiranku tengah kacau.Â
Entah apa penyebabnya, aku seperti tidak bisa memahami diriku sendiri, mungkin ini yang disebut kehampaan. Hari-hariku memang diisi dengan Al-Quran, siang dan malam selalu bersanding dengannya, tapi mengapa kehampaan ini bisa menghampiriku, berkali-kali aku merenungi sebab dari kegundahan ini, tidak juga ku pahami mengapa.
Aku hanya mengingat engkau, sekarang kita jauh, meski bisa saja aku menghubungimu melalu ponselku, tapi aku berusaha menjagamu, sebagaimana engkau pun menjagaku. Entah apa jadinya jika bertahun-tahun lalu kau mengiyakan nafsuku untuk menjadikanmu kekasih, mungkin aku tidak akan sejauh ini bersama dengan kalam ilahi.
Di tengah kehampaanku, aku khawatir kau telah dimiliki yang lain, apalagi di ibu kota bisa dengan mudah kau temui lelaki yang jauh lebih baik dariku, kau tertarik denganya, atau dia tertarik denganmu, kalian saling mencintai, ah, pikiranku semakin keruh. Sebaiknya ku beranikan diri untuk menghubungimu, bukan hendak melanggar batasan antara kita, aku ingin memastikan kau baik-baik saja.
Aku mendapat kontak whatsapp mu dari Vani, dia heran mengapa kita tidak pernah saling menyapa, hal itu hanya kita yang tau, sulit untuk dijelaskan. Memang kini media untuk berkomunikasi tidak lagi terbatas, tapi jiwa kami yang membatasinya sendiri. "Assalamu'alaikum", pesan pertama yang ku kirim setelah bertahun-tahun tak menyapamu, aku rindu, apa kau pun demikian atau malah melupakanku.
Aku menunggu balasan darimu, setidaknya salamku dijawab, itu sudah cukup. Pesanku sudah kau terima, diiringi tanda online di bawah nama kontakmu.
Beberapa lama kemudian kau membalas, "Wa'alaikumussalam warohmatullah wabarokatuh, maaf dengan siapa?" hatiku tiba-tiba merasakan kegembiraan, kau mau membalas pesanku, tapi kau tak tahu dengan siapa kau sedang berbalas pesan. Sayang sekali, aku harus menjelaskan kau sedang berbalas pesan dengan kawan lamamu, terimalah.
Saat berbalas pesan dengamu, aku menyadari, bahasa yang kau gunakan tak lagi hangat, meski ku tahu kau berusaha memperlakukanku dengan baik, aku masih melihat keramahanmu, tidak ada yang hilang.
Tapi aku menangkap sikapmu berusaha menghindar dari obrolan panjang denganku, tidak apa-apa, aku pantas mendapatkan itu. Kamu menghindar karena ada orang lain, kan?, apalagi kulihat postingan instagrammu penuh dengan kegiatan sosial, sedang aku di sini hanya berusaha berdamai dengan Al-Quran dan kehidupan pesantren. Maafkan aku, malam ini juga aku memblokir kontakmu dan menghapusnya, agar tidak menghantui kehidupanku lagi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H