Mohon tunggu...
Nanda Sholihah
Nanda Sholihah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan bahasa Inggris

Menulislah untuk keabadian-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dzonn

12 Mei 2020   15:21 Diperbarui: 8 April 2022   07:21 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku merasa bersalah, apa ada yang salah dengan kalimatku? Ku baca ulang pesan yang telah ku kirimkan, lalu membaca pula riwayat perpesanan kita, tidak ada kalimat apapun yang menyakiti hati. Justru pertanyaannya tentang hafalanku yang sempat mengusik hati ini. "Bi, kenapa?" tanda pesan belum diterima, dia telah mematikan paket datanya, pikirku. Aku tak mau terlarut dalam pikiran mengapa dia begitu.

***

"Woy!." Agus membuyarkan lamunanku, aku tersenyum. "Kamu bengong aja sih akhir-akhir ini?." Agus memperhatikanku. "Eh iya gus, biasa orang labil banyak pikiran." Aku meninggalkan agus dan bergegas untuk mengambil air wudhu dan bersiap sholat maghrib berjamaah.

Aku merasa sedang tidak baik-baik saja. Hafalan Al-Quran yang harus ku emban semakin banyak, sedang ujian bertubi-tubi datang padaku, beberapa hari lalu pak yai memintaku segera mengkhatamkan hafalan dan mengkhitbah putrinya. Aku bingung, sedang aku merasa tak pantas berada diantara keluarga pesantren.

Aku merasa resah, karena itu aku teringat kamu satu-satunya orang yang bisa membuatku tenang, sudah lama aku menaruh hati padamu, kau hangat, tapi mendadak dingin ketika kabar aku jatuh hati sampai padamu. Aku merasakan bagaimana canggungnya kita selama ini, hingga kau berpesan, "kamu harus bersungguh-sungguh menjaga Al-Quran, jadikan cintamu hanya Dia". Aku masih menyimpan pesan ini, lalu ku sematkan di layar depan ketika ponselku terkunci.

Sore tadi, ketika aku menghadap pak Yai untuk setoran hafalanku, tiba-tiba aku lupa, berkali-kali pula aku keliru, pak Yai menegurku. "Hafalanmu gak nambah-nambah, banyak yang keliru, kamu kenapa?." Aku menundukkan kepala, beberapa minggu ini pikiranku tengah kacau. 

Entah apa penyebabnya, aku seperti tidak bisa memahami diriku sendiri, mungkin ini yang disebut kehampaan. Hari-hariku memang diisi dengan Al-Quran, siang dan malam selalu bersanding dengannya, tapi mengapa kehampaan ini bisa menghampiriku, berkali-kali aku merenungi sebab dari kegundahan ini, tidak juga ku pahami mengapa.

Aku hanya mengingat engkau, sekarang kita jauh, meski bisa saja aku menghubungimu melalu ponselku, tapi aku berusaha menjagamu, sebagaimana engkau pun menjagaku. Entah apa jadinya jika bertahun-tahun lalu kau mengiyakan nafsuku untuk menjadikanmu kekasih, mungkin aku tidak akan sejauh ini bersama dengan kalam ilahi.

Di tengah kehampaanku, aku khawatir kau telah dimiliki yang lain, apalagi di ibu kota bisa dengan mudah kau temui lelaki yang jauh lebih baik dariku, kau tertarik denganya, atau dia tertarik denganmu, kalian saling mencintai, ah, pikiranku semakin keruh. Sebaiknya ku beranikan diri untuk menghubungimu, bukan hendak melanggar batasan antara kita, aku ingin memastikan kau baik-baik saja.

Aku mendapat kontak whatsapp mu dari Vani, dia heran mengapa kita tidak pernah saling menyapa, hal itu hanya kita yang tau, sulit untuk dijelaskan. Memang kini media untuk berkomunikasi tidak lagi terbatas, tapi jiwa kami yang membatasinya sendiri. "Assalamu'alaikum", pesan pertama yang ku kirim setelah bertahun-tahun tak menyapamu, aku rindu, apa kau pun demikian atau malah melupakanku.

Aku menunggu balasan darimu, setidaknya salamku dijawab, itu sudah cukup. Pesanku sudah kau terima, diiringi tanda online di bawah nama kontakmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun