Politik luar negeri Indonesia selama era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menandai babak baru dalam sejarah hubungan internasional negara. Dalam periode ini, Indonesia mengadopsi pendekatan yang berlandaskan prinsip liberalisme, yang menekankan pentingnya kerja sama internasional, perdamaian global, dan keuntungan bersama.
Liberalisme dalam politik luar negeri berpandangan bahwa kolaborasi antarnegara dan institusi global merupakan kunci untuk mengatasi berbagai tantangan dunia, seperti konflik, ketimpangan ekonomi, perubahan iklim, dan ancaman terhadap stabilitas regional.
Era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) mampu menciptakan perubahan baru melalui semboyan "Million Friends Zero Enemy". Strategi tersebut mampu memberikan perubahan besar dalam politik luar negeri Indonesia.
Istilah "Zero Enemy" diperkenalkan oleh Presiden SBY pada periode kedua pemerintahannya, yaitu tahun 2009-2014. Kebijakan tersebut dibuat di tengah keadaan dunia yang semakin kompleks dan multi sektor.
Semboyan "Million Friends Zero Enemy" berhasil memperkuat posisi Indonesia pada keikutsertaan dalam menciptakan perdamaian dunia. Semboyan tersebut mampu membangun hubungan perdamaian tanpa memprioritaskan pihak manapun.
Pada era globalisasi, hampir seluruh negara membutuhkan kerja sama yang erat dan saling keterkaitan. Pemerintah Indonesia era SBY melihat peluang bahwa semboyan zero enemy mampu menjadi strategi dalam memperkuat posisi Indonesia pada kancah internasional.
Kebijakan "Tanpa Musuh" sesuai dengan prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Prinsip tersebut menekankan sifat netralitas dalam menghadapi konflik global, guna menciptakan perdamaian dunia.
Presiden SBY menggambarkan keadaan dunia sebagai "Samudra Bergejolak" yang membutuhkan navigasi dengan teliti dan hati-hati untuk menghindari terjadinya konflik. Pandangan tersebut tercipta atas dasar kerja sama dan persahabatan universal.
Melalalui strategi SBY tersebut, Indonesia berusaha menjadi pihak yang netral dengan tidak berpihak kepada negara manapun. Hal tersebut dapat dilihat sebagai taktik dalam menghadapi berbagai isu global dan regional.
Upaya yang pernah dilakukan Indonesia, salah satunya adalah berperan aktif dalam proses mediasi Thailand-Kamboja pada tahun 2011. Mediasi tersebut menggambarkan peran aktif Indonesia dalam menjaga stabilitas Kawasan ASEAN.
Presiden SBY melakukan berbagai upaya pendekatan, salah satunya adalah multilateralisme, yaitu strategi dengan melibatkan beberapa pihak dalam menyelesaikan konflik. Upaya pendekatan tersebut menjadi alat diplomasi dalam mewujudkan "Zero Enemy".
Bentuk perwujudan dari multilateralisme adalah Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan penting KTT ASEAN pada tahun 2011 dan pertemuan G20 di Bali pada tahun 2013. Indonesia juga memperkuat hubungan bilateral dengan berbagai negara selama periode 2009-2014 dengan menjalin hubungan diplomatik lebih dari 10 negara.
Perubahan menuju era liberalisasi informasi membawa perubahan baru dalam politik luar negeri. Berkembangnya teknologi informasi mampu mempercepat penyebaran berita dan opini publik, baik positif maupun negatif.
Pemerintahan preseiden SBY menggunakan semboyan "Zero Enemy" untuk memperbaiki reputasi Indonesia di mata dunia. Sebelum era pemerintahan SBY, Indonesia kerap terpandang negatif dengan maraknya kasus korupsi, pelanggaran HAM, dan radikalisme.
Melalui perkenalan Indonesia sebagai negara Islam moderat dan demokratis, pemerintah berusaha menarik perhatian dunia. Strategi ini terbukti berhasil, dilihat dari pengakuan internasional terhadap kepemimpinan Indonesia pada pertemuan ASEAN dan G20.
Meskipun memiliki visi yang jelas, "Zero Enemy" mendapatkan kritik asertif dalam menghadapi isu-isu tertentu. Salah satunya adalah kasus yang tidak tertangani dengan baik, sehingga terjadi insiden serius, seperti hukuman mati terhadap TKI di Arab Saudi.
Pemerintahan era SBY juga mendapat kritik isu kedaulatan. Pelanggaran batas wilayah di perairan Pulau Bintan pada 2010, mendorong Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa memperkenalkan konsep "dynamic equilibrium" untuk mendukung kebijakan "Zero Enemy".
Indonesia berperan aktif dalam menjaga stabilitas kawasan, khususnya di wilayah ASEAN. Pemerintah era SBY berperan dalam mediasi konflik Laut Cina Selatan yang melibatkan Tiongkok dan beberapa negara di ASEAN.
Upaya tersebut mengindikasikan bahwa "Zero Enemy" bukan hanya filosofi, tetapi juga strategi praktis. Dengan menjadi mediator, Indonesia mampu memperkuat posisinya sebagai pemimpin regional.
Pemerintahan SBY menyadari akan pentingnya membangun citra positif untuk meningkatkan pengaruh internasional. Oleh karena itu, reputasi menjadi salah satu asset kebijakan yang berharga.
Konsep "paradox of plenty" yang diperkenalkan oleh Joseph Nye relevan dalam konteks informasi. Joseph Nye berargumen bahwa kelebihan informasi dapat menciptakan kelangkaan perhatian, sehingga citra menjadi alat yang penting.
Melalui "Zero Enemy", Indonesia mampu mempromosikan citra sebagai negara yang toleran, damai, dan demokratis. Hal tersebut memberikan keuntungan dalam forum internasional, seperti KTT Asia-Afrika dan pertemuan PBB.
Selama periode SBY, Indonesia mengalami peningkatan peran di kancah internasional. Indonesia pernah ditetapkasn sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB pada 2007-2008 dan 2019-2020.
Indonesia juga berhasil memimpin ASEAN sebagai ketua pada tahun 2011. Selama kepemimpinan tersebut, Indonesia memprakarsai sejumlah inisiatif penting, termasuk kesepakatan dalam cetak biru ASEAN 2025.
Dalam konteks bilateral, hubungan Indonesia dengan negara-negara besar, seperti Amerika Serikat dan Tiongkok, terus membaik. Perdagangan antara Indonesia dan Tiongkok meningkat hingga mencapai lebih dari USD 60 miliar pada pada tahun 2013.
Meskipun demikian, tidak semua pihak sepakat dengan pendekatan ini. Beberapa kritik menilai kebijakan ini terlalu fokus pada pencitraan dan kurang memperhatikan substansi kebijakan.
Kritik tersebut mengacu pada respon Indonesia terhadap insiden di Laut Cina Selatan. Indonesia dinilai kurang tegas dalam menanggapi aktivitas militer Tiongkok di wilayah tersebut.
Terdapat pula kekhawatiran bahwa kebijakan ini mengorbankan kepentingan nasional demi menjaga hubungan baik dengan negara lain. Isu-isu seperti perlindungan TKI dan sengketa perbatasan menjadi sorotan dalam kritik tersebut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI