Mohon tunggu...
Andesna Nanda
Andesna Nanda Mohon Tunggu... Konsultan - You Are What You Read

Kolumnis di Kompas.com. Menyelesaikan S3 di Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Horor Artikel Utama

Rumah Tua di Ujung Jalan

17 Juni 2024   18:10 Diperbarui: 4 Juli 2024   23:23 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah desa kecil yang terpencil, terdapat sebuah rumah tua yang terkenal angker. Penduduk setempat menyebutnya sebagai "Rumah Setan" karena banyak cerita menyeramkan yang beredar tentangnya. Konon, siapa pun yang masuk ke dalam rumah itu tidak akan pernah keluar lagi.

Ardi, seorang pemuda pemberani yang skeptis terhadap hal-hal mistis, memutuskan untuk membuktikan bahwa semua cerita itu hanyalah takhayul. 

Bersama dua temannya, Budi dan Tika, mereka mendekati rumah itu pada suatu malam yang dingin dan berangin. Dengan membawa senter dan keberanian yang didorong oleh rasa penasaran, mereka membuka pintu rumah yang berderit, seolah-olah rumah itu menolak kedatangan mereka.

Di dalam, suasana begitu suram dan dingin. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan coretan aneh dan gambar-gambar usang yang hampir tidak terlihat. 

Tiba-tiba, lampu senter mereka mulai berkedip-kedip dan mati, meninggalkan mereka dalam kegelapan total. 

Tika merasakan sesuatu yang dingin menyentuh bahunya. “Ada yang menyentuhku!” teriaknya panik. Ardi segera menyalakan kembali senter, tetapi yang mereka lihat hanyalah bayangan hitam yang bergerak cepat di sudut ruangan. Nafas mereka tertahan.

Mereka mendengar suara langkah kaki mengelilingi mereka, semakin dekat dan semakin cepat. 

Mereka memutuskan untuk keluar, tetapi pintu yang mereka masuki kini tertutup rapat dan tidak bisa dibuka. Panik mulai menguasai mereka.

“Ini tidak mungkin terjadi!” Ardi berteriak sambil mencoba mendobrak pintu. 

Tiba-tiba, sebuah suara serak dan mengerikan terdengar, “Kalian tidak seharusnya datang ke sini…”

Suara itu berasal dari bayangan yang kini berdiri di tengah ruangan, wujudnya samar namun sangat menakutkan. 

Wajahnya tidak bisa dilihat dengan jelas, tetapi mata merahnya menatap tajam ke arah mereka.

Dengan ketakutan yang mencekam, Tika jatuh pingsan. Budi mencoba membangunkannya, tetapi tubuhnya tidak bergerak. 

Ardi, dengan sekuat tenaga, berusaha mencari cara untuk keluar. Tiba-tiba, bayangan itu mendekat ke arah mereka dan berbisik, “Keluar dari rumahku…”

Dalam keputusasaan, Ardi akhirnya menemukan pintu kecil di belakang ruangan yang tertutup tirai usang. 

Dengan penuh keberanian, dia membuka pintu itu dan terkejut menemukan jalan keluar. 

Dia segera memanggil Budi dan menggendong Tika, mereka berlari secepat mungkin meninggalkan rumah itu.

Namun, ketika mereka keluar dan berlari menjauh dari rumah, mereka dikejutkan oleh suara klakson mobil. 

Ternyata, mereka berada di tengah jalan raya yang sibuk di kota yang ramai. 

Rumah tua itu kini tampak seperti gedung tua yang biasa saja, dikelilingi oleh hiruk-pikuk kota.

Semua mendadak gelap.

Mereka terbangun dalam ruangan yang tampak seperti laboratorium canggih, mereka mendapati diri mereka terhubung ke perangkat VR yang rumit dan sangat nyata. 

Layar-layar di sekitar mereka menunjukkan data otak mereka yang terkait dengan respons terhadap stimulasi visual dan sensoris dari simulasi.

Para ilmuwan, yang mengenakan seragam laboratorium dan terlihat sangat serius, muncul di depan mereka. 

Mereka meminta maaf atas ketakutan yang mereka alami, menjelaskan bahwa semua yang mereka alami adalah bagian dari studi untuk menguji reaksi manusia terhadap ketakutan yang dihasilkan oleh teknologi VR yang sangat maju.

“Kami membutuhkan data tentang bagaimana orang bereaksi dalam situasi yang menakutkan,” kata seorang ilmuwan, suaranya tenang namun penuh penyesalan. “Kami memastikan keamanan dan kesejahteraan kalian selama eksperimen ini, meskipun kami mengakui bahwa pengalaman ini mungkin sangat mengganggu.”

Ardi, Budi, dan Tika merasa lega mendengar penjelasan ini, meskipun mereka masih merasakan getaran dari pengalaman yang baru saja mereka lalui. 

Mereka mengetahui bahwa mereka tidak benar-benar berada dalam bahaya nyata, tetapi pengalaman itu tetap membuat mereka merasa tertekan.

“Apakah kita bisa keluar sekarang?” Tanya Tika, suaranya gemetar. Ilmuwan itu mengangguk dan membuka kunci perangkat VR mereka satu per satu, mengakhiri simulasi yang intens tersebut.

Namun, ketika Ardi, Budi, dan Tika tiba di luar laboratorium, suasana di sekitar mereka terasa aneh dan sunyi. Mereka melihat bahwa ruangan sekitar mereka terlihat tidak terawat dan kosong. Tidak ada tanda-tanda aktivitas manusia yang biasanya ada di sana.

Ardi menghampiri penjaga yang tiba-tiba muncul di depan mereka dengan langkah-langkah ragu. "Maaf, kami baru saja menjalani sebuah eksperimen di dalam laboratorium ini," ucapnya dengan nada mencari kepastian. "Kami ingin tahu lebih lanjut tentang apa yang baru saja terjadi."

Penjaga itu menatap Ardi, wajahnya tampak bingung. "Maaf, kami tidak memiliki catatan eksperimen semacam itu di sini," jawabnya.

Wajahnya tampak bingung. “Saya tidak tahu apa yang sedang Anda bicarakan.”

Ketika mereka mencoba menjelaskan apa yang mereka alami, penjaga itu tampak semakin bingung. “Kami tidak pernah melakukan eksperimen semacam itu di sini,” ulang penjaga dengan tegas.

Langit di atas mereka tiba-tiba gelap, meskipun sebelumnya cuaca cerah. Angin berhembus kencang, menggoyangkan pepohonan di sekitar mereka dengan ganas. Di kejauhan, kilatan cahaya petir menyambar tanah, menggetarkan bumi di sekitar mereka.

"Apa yang sedang terjadi?" seru Tika dengan gemetar.

Tika yang masih terhuyung-huyung berbisik pada Ardi, "Kamu dengar suara itu?" Ardi menggeleng. "Suara apa?" Tika menelan ludah, "Suara berbisik...

 "Keluar dari rumahku..."

Tiba-tiba sinar terang yang memancar dari langit malam membelah kegelapan. Sayap-sayap besar berdiri di atas mereka, memancarkan cahaya yang suci dan menenangkan.

"Malaikat..." bisik Tika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun