Mereka terbangun dalam ruangan yang tampak seperti laboratorium canggih, mereka mendapati diri mereka terhubung ke perangkat VR yang rumit dan sangat nyata.
Layar-layar di sekitar mereka menunjukkan data otak mereka yang terkait dengan respons terhadap stimulasi visual dan sensoris dari simulasi.
Para ilmuwan, yang mengenakan seragam laboratorium dan terlihat sangat serius, muncul di depan mereka.
Mereka meminta maaf atas ketakutan yang mereka alami, menjelaskan bahwa semua yang mereka alami adalah bagian dari studi untuk menguji reaksi manusia terhadap ketakutan yang dihasilkan oleh teknologi VR yang sangat maju.
“Kami membutuhkan data tentang bagaimana orang bereaksi dalam situasi yang menakutkan,” kata seorang ilmuwan, suaranya tenang namun penuh penyesalan. “Kami memastikan keamanan dan kesejahteraan kalian selama eksperimen ini, meskipun kami mengakui bahwa pengalaman ini mungkin sangat mengganggu.”
Ardi, Budi, dan Tika merasa lega mendengar penjelasan ini, meskipun mereka masih merasakan getaran dari pengalaman yang baru saja mereka lalui.
Mereka mengetahui bahwa mereka tidak benar-benar berada dalam bahaya nyata, tetapi pengalaman itu tetap membuat mereka merasa tertekan.
“Apakah kita bisa keluar sekarang?” Tanya Tika, suaranya gemetar. Ilmuwan itu mengangguk dan membuka kunci perangkat VR mereka satu per satu, mengakhiri simulasi yang intens tersebut.
Namun, ketika Ardi, Budi, dan Tika tiba di luar laboratorium, suasana di sekitar mereka terasa aneh dan sunyi. Mereka melihat bahwa ruangan sekitar mereka terlihat tidak terawat dan kosong. Tidak ada tanda-tanda aktivitas manusia yang biasanya ada di sana.
Ardi menghampiri penjaga yang tiba-tiba muncul di depan mereka dengan langkah-langkah ragu. "Maaf, kami baru saja menjalani sebuah eksperimen di dalam laboratorium ini," ucapnya dengan nada mencari kepastian. "Kami ingin tahu lebih lanjut tentang apa yang baru saja terjadi."
Penjaga itu menatap Ardi, wajahnya tampak bingung. "Maaf, kami tidak memiliki catatan eksperimen semacam itu di sini," jawabnya.