Mohon tunggu...
Andesna Nanda
Andesna Nanda Mohon Tunggu... Konsultan - You Are What You Read

Kolumnis di Kompas.com. Menyelesaikan S3 di Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengingat Kembali Bahaya Hoax Pasca-Pandemi

10 Desember 2022   19:49 Diperbarui: 11 Desember 2022   07:56 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Nijwam Swargiary on Unsplash   

Tanpa disadari di saat bencana gempa bumi di Cianjur yang menurut update resmi BNPB 29 November 2022 menyebabkan 327 orang meninggal dunia ternyata dihantui dengan banyak sekali hoax yang berupa video palsu yang beredar di masyarakat. 

Pun, gempa bumi yang baru saja terjadi di Garut 3 Desember 2022 yang lalu juga tidak luput dari banyaknya video hoax yang kemudian menyebabkan disinformasi untuk masyarakat.

Sebenarnya hoax atau informasi palsu bahkan sudah ada di masa lalu. Lantas apa yang membuat hoax berbeda saat ini? 

Yang berbeda sekarang adalah kemudahan pembuatannya dan penyebarannya mengingat komunikasi modern khususnya media sosial membuat hoax dengan sangat mudah disebarluaskan

Tidak dipungkiri setiap kali masyarakat menghadapi momen penting apakah itu bencana atau proses politik, hoax selalu membayangi kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Namun, ternyata masih banyak orang yang tidak sadar betapa berbahayanya hoax ini yang bukan hanya akan memecah belah tapi di titik ekstrim juga akan menyebabkan distorsi informasi yang sangat mengkhawatirkan.

Akhir-akhir ini bahkan tampaknya masyarakat tanpa sengaja (atau bahkan) disengaja menyebarkan hoax sesuka hati tanpa merasa bersalah. 

Konten yang dimanipulasi bisa berupa berita atau video yang direkayasa tetapi dibagikan sebagai kenyataan. Informasi palsu tersebut kemudian cenderung dibagikan tanpa diperiksa. 

Ironisnya, hal ini menjebak semua strata sosial dan pendidikan. Miris memang, namun itulah kenyataan saat ini, di mana ketika orang-orang yang menyebarkan hoax ini kemudian ditegur alih-alih menerima dengan lapang dada malah kemudian marah dan menyalahkan orang lain.

Masalahnya adalah, masyarakat secara umum tidak mengetahui bahwa itu adalah hoax sebelum mereka menyebarkannya. 

Secara logika, ini berarti hoax yang memanipulasi konten di luar konteks dan informasi yang salah dengan mudah mendorong kebohongan yang mereka ingin orang percayai.

Dalam konteks kesehatan nalar, hoax mengenai apa yang sebenarnya tidak terjadi akan menciptakan realitas palsu yang tidak hanya diterima oleh satu atau dua orang, tetapi ribuan dan bahkan jutaan, dan ini menciptakan realitas yang dapat dimanipulasi oleh mereka yang membuat hoax menjadi apa pun yang mereka inginkan. 

Kebohongan tersebut, jika terus dilakukan, dapat mematikan nalar dan mendistorsi akal. Selain itu dengan mudahnya memercayai hoax secara perlahan fungsi otak akan meredup dan daya nalar menjadi hilang.

Solusi untuk hoax sebenarnya sederhana, yaitu dengan mau sedikit saja berusaha untuk mencari tahu dari berbagai macam sumber mengenai fakta sebuah narasi. 

Hal yang sesungguhnya tidak sulit di era media sosial dan digital seperti saat ini. 

Faktanya justru tidak demikian, dengan era internet dan media sosial saat ini hoax justru dengan mudahnya disebarkan melalui media sosial dan kelompok-kelompok di berbagai aplikasi perpesanan.

Menimbang Kembali Peran Pemerintah dan Institusi Pendidikan

Hoax dan disinformasi yang saat ini demikian canggih sangat bermasalah untuk kesehatan mental. Orang yang terlalu sering terpapar hoax akan besar kemungkinan untuk selalu cemas dan stres. 

Bahkan, di titik yang ekstrim hoax bisa memicu kekerasan yang menjurus pada kejahatan.  

Perlu ada diskursus tentang bagaimana mengatasi masalah ini tanpa merusak manfaat media digital yang seharusnya menjadi katalisator perubahan yang baik. 

Oleh karena demikian, untuk mempertahankan keterbukaan informasi yang bertanggung jawab, pemerintah harus bekerja sama dengan semua pihak untuk memecahkan masalah ini. 

Pemerintah harus mempromosikan literasi dan edukasi pada masyarakat mengenai bahaya hoax tersebut.

Photo by Roman Kraft on Unsplash   
Photo by Roman Kraft on Unsplash   

Pemerintah harus mendorong semua pihak untuk terus memberikan edukasi dan tindakan preventif dengan cara membangun kepercayaan publik dan mengoreksi berita bohong dan disinformasi sesegera mungkin sebelum hoax tersebut viral dan membunuh nalar serta merusak mental. 

Selain pemerintah, Institusi pendidikan juga harus menjadikan sosialisasi kepada masyarakat tentang literasi berita sebagai prioritas utama dan membentuk generasi cerdas logika yang tidak dengan mudah terjebak hoax. 

Namun pada akhirnya harus diakui bahwa kewajiban setiap individu untuk berpikir kritis dalam mengikuti keragaman sumber berita, dan bersikap skeptis terhadap apa yang mereka baca dan tonton.

Pentingnya Kapasitas Berpikir Kritis di Era Media Sosial

Karena lanskap media sosial secara keseluruhan telah berubah, ada beberapa perkembangan yang suka atau tidak harus dihadapi ketika terjadi bencana. 

Alih-alih menggunakan alat digital untuk menginformasikan berita secara benar, beberapa individu yang patut dipertanyakan moralitasnya telah memanfaatkan platform sosial dan digital untuk menipu, menyesatkan, atau merugikan orang lain dengan membuat atau menyebarkan hoax dan disinformasi yang jelas bertujuan untuk keuntungan pribadi atau kelompok.

Hoax dihasilkan oleh individu atau kelompok yang memang berniat menyesatkan dan menipu publik terhadap konteks suatu kejadian. 

Ketika kegiatan ini beralih dari upaya sporadis dan serampangan menjadi upaya terorganisir dan sistematis, individu dan kelompok ini akan berpotensi mengganggu tidak hanya Kesehatan mental segelintir orang namun bisa menghancurkan mental seluruh anak bangsa ini.

Photo by Merakist on Unsplash   
Photo by Merakist on Unsplash   

Kecepatan media sosial memang membuat keinginan untuk segera menekan layar sentuh “'teruskan” dan “bagikan” menjadi berlipat-lipat. 

Padahal sangat penting untuk berhenti sejenak untuk melakukan klarifikasi ulang mengenai berita atau video-video yang belum tentu benar. 

Seringkali, berita dan video palsu mengklaim menjadi 'berita terkini' mengemas ulang konten di masa lalu untuk kemudian dilakukan reproduksi seakan-akan hal tersebut benar adanya.

Sejak munculnya media sosial dan kemudahan penyebaran pesan, foto, dan video, semakin penting untuk mengembangkan keterampilan menemukan informasi yang tidak akurat dan mempelajari beberapa cara sederhana untuk verifikasi ulang apa yang dilihat dan didengar. 

Mampu berpikir kritis adalah salah satu solusi yang dapat diterapkan secara luas pada masyarakat di era kebenaran palsu saat ini. 

Dengan mampu berpikir kritis maka kemampuan dan mendeteksi hoax akan juga meningkat dengan mampu menciptakan konteks yang akan mengarah pada penalaran yang lebih baik. Kemampuan penalaran inilah yang akan mampu meletakkan sudut pandang pemikiran secara tepat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun