Secara logika, ini berarti hoax yang memanipulasi konten di luar konteks dan informasi yang salah dengan mudah mendorong kebohongan yang mereka ingin orang percayai.
Dalam konteks kesehatan nalar, hoax mengenai apa yang sebenarnya tidak terjadi akan menciptakan realitas palsu yang tidak hanya diterima oleh satu atau dua orang, tetapi ribuan dan bahkan jutaan, dan ini menciptakan realitas yang dapat dimanipulasi oleh mereka yang membuat hoax menjadi apa pun yang mereka inginkan.Â
Kebohongan tersebut, jika terus dilakukan, dapat mematikan nalar dan mendistorsi akal. Selain itu dengan mudahnya memercayai hoax secara perlahan fungsi otak akan meredup dan daya nalar menjadi hilang.
Solusi untuk hoax sebenarnya sederhana, yaitu dengan mau sedikit saja berusaha untuk mencari tahu dari berbagai macam sumber mengenai fakta sebuah narasi.Â
Hal yang sesungguhnya tidak sulit di era media sosial dan digital seperti saat ini.Â
Faktanya justru tidak demikian, dengan era internet dan media sosial saat ini hoax justru dengan mudahnya disebarkan melalui media sosial dan kelompok-kelompok di berbagai aplikasi perpesanan.
Menimbang Kembali Peran Pemerintah dan Institusi Pendidikan
Hoax dan disinformasi yang saat ini demikian canggih sangat bermasalah untuk kesehatan mental. Orang yang terlalu sering terpapar hoax akan besar kemungkinan untuk selalu cemas dan stres.Â
Bahkan, di titik yang ekstrim hoax bisa memicu kekerasan yang menjurus pada kejahatan. Â
Perlu ada diskursus tentang bagaimana mengatasi masalah ini tanpa merusak manfaat media digital yang seharusnya menjadi katalisator perubahan yang baik.Â
Oleh karena demikian, untuk mempertahankan keterbukaan informasi yang bertanggung jawab, pemerintah harus bekerja sama dengan semua pihak untuk memecahkan masalah ini.Â
Pemerintah harus mempromosikan literasi dan edukasi pada masyarakat mengenai bahaya hoax tersebut.