Mari kita urai satu per satu benang merah empathy gap ini dengan logis agar kita bisa terhindar dan tetap bisa bergerak maju.
Apa Itu Empathy Gap?
Beberapa definisi muncul dari riset-riset mengenai empathy gap ini, jika disimpulkan adalah bias yang muncul karena otak kita salah mengambil respon terhadap pengaruh berbagai keadaan mental pada perilaku kita sendiri dan membuat keputusan yang hanya memuaskan emosi, perasaan, atau keadaan kita saat itu (referensi 1).
Bias ini dikenal juga dengan bias hot-cold empathy gap. Hot disini merujuk pada terjemahan secara metafora "panas", yaitu kondisi emosi kita yang sedang marah, lapar, sakit, lapar (seperti contoh cerita saya di atas) yang mempengaruhi logika dan tingkat rasionalitas kita. Â (referensi 2).Â
Cold di sini merujuk kepada kondisi emosi kita yang sedang adem atau tidak dalam kondisi marah dan yang lainnya di atas. Ketika kita dalam kondisi cold maka titik ini akan mampu membuat kita berpikir dengan jernih.
Kenapa mengetahui hal ini menjadi penting? Alasannya adalah dengan kita tahu cara kerja empathy gap ini maka kita bisa berpikir dan misalnya duduk sejenak menarik nafas sebelum kita mengambil keputusan.
Saya pikir banyak orang yang tidak sadar kondisi mental dan emosi mereka ketika sedang dalam proses pengambilan keputusan. Yang sering terjadi adalah penyesalan di kemudian hari.
Misalnya, kita tiba di rumah dalam keadaan senewen karena kena omelan atasan, kemudian anak kita berlari-lari menyapa dan mendekati kita dengan maksud mengajak bermain, respon yang muncul dari kita malah amarah.
Setelah kita marah-marah ke anak kita dan dia menangis baru kita menyesali setelah mata kita menatap mata anak kita. Dia hanya ingin bermain dengan kita.
Tiga orang peneliti yaitu George Loewenstein, Ted O’Donoghue dan Matthew Rabin memberikan pandangan bahwa kondisi mental kita pada saat tertentu tersebut akan menjadi panduan bagi perilaku kita pada saat tertentu itu pula.